Bandung, Kompas - Bentuk pengajaran sastra Indonesia di sekolah sebaiknya dievaluasi. Saat ini, sistem pengajarannya lebih condong mementingkan teori ketimbang praktik.
”Akibatnya, pemahaman siswa pada sastra Indonesia sangat dangkal. Mereka sekadar bisa berbahasa Indonesia, tetapi kesulitan mendalami karya sastra,” kata Rektor Universitas Padjadjaran Bandung Gandjar Kurnia dalam Konferensi Internasional Kesusastraan XX yang bertema ”Membaca Ulang Fungsi Sosial Sastra dalam Menumbuhkan Nilai dan Sikap Kebangsaan” di Bandung, Rabu (5/8).
Gandjar mengatakan, porsi pengajaran sastra Indonesia tidak berimbang. Sebanyak 80 persen masih berupa pengajaran aspek teori, di antaranya sekadar memperkenalkan karya sastra dan siapa pengarangnya. Hanya sekitar 20 persen materi pelajaran yang digunakan untuk mendalami, membuat, dan mempraktikkan karya sastra. Contohnya, pendalaman pembuatan cerita pendek, puisi, hingga pementasan drama sastra.
Guru besar Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, Riris Sarumpaet, mengatakan, pengajaran sastra di Indonesia masih sekadar hafalan dan berorientasi nilai akhir. Akibatnya, pemahaman tentang arti dan kualitas sastra menjadi terabaikan. Seorang siswa akan mendapatkan nilai akhir yang baik apabila bisa menghafalkan judul karya sastra dan memperoleh nilai sempurna dalam ujian teori.
Pengamat bahasa dari Universitas Pendidikan Indonesia, Chaedar Alwasilah, mengatakan, pemahaman tentang pentingnya karya sastra belum dimiliki akademisi dan ilmuwan Indonesia.(CHE)
Sumber: Kompas, Kamis, 6 Agustus 2009
No comments:
Post a Comment