Wednesday, August 05, 2009

Menyeimbangkan Pendidikan

-- Ki Supriyoko*

SEBAGAI salah seorang wakil presiden dari suatu organisasi pendidikan tingkat internasional, Pan-Pacific Association of Private Education (PAPE), yang bermarkas di Tokyo, saya memiliki banyak teman yang mengelola sekolah dan perguruan tinggi di Jepang, khususnya Tokyo. Bukan itu saja, "dapur" beberapa sekolah dan perguruan tinggi di Jepang pernah saya kunjungi.

Dari beberapa kali berinteraksi dengan masyarakat Jepang, khususnya masyarakat pendidikan, ada satu hal yang membedakan karakter kaum intelektual Jepang dengan kaum intelektual di negara-negara lainnya termasuk Indonesia, yaitu tentang sikap kesantunannya. Jangankan siswa dan mahasiswa, dosen berpredikat doktor dan profesor pun senantiasa bersikap santun terhadap orang lain. Profesor Hideo Moriyama dari Kyushu University dan Horikoshi dari Ichigaya-co adalah contoh konkretnya. Meskipun mereka adalah orang terkenal, memiliki kedudukan terhormat, dan disegani banyak orang, tetapi sikapnya senantiasa santun terhadap orang lain termasuk kepada mahasiswanya.

Kalau kita mau jujur, masalah kesantunan, yang kelihatannya sederhana, seperti itulah yang sekarang ini mulai menghilang dari khasanah pendidikan nasional kita. Secara historis kesantunan dan kejujuran sangat ditekankan oleh Kaisar Matsuhito atau yang lebih dikenal dengan sebutan Meiji Tenno. Meski pada 1868, ketika diangkat sebagai kaisar masih berusia belasan tahun, Sang Kaisar sudah bertekad akan merebut teknologi Barat dan mengkombinasikannya dengan kesantunan dan kejujuran yang dimiliki Jepang.

Di Jepang, kesantunan dan kejujuran merupakan buah pendidikan, sehingga berimplikasi nyata dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Kalau di kereta api ada orang tua yang berdiri maka secara otomatis orang yang lebih muda akan memberikan tempat duduknya. Kalau dalam lift ada beberapa orang maka yang memencet tombol lift adalah orang yang lebih muda, sementara kalau mau keluar lift orang yang tua dipersilakan melangkah terlebih dulu; dan sebagainya. Hal-hal seperti ini merupakan implikasi sikap kesantunan dalam kehidupan sehari-hari.

Bagaimana dengan kejujuran? Bangsa Jepang dikenal sangat jujur. Bila seseorang melakukan ketidakjujuran maka taruhannya adalah bunuh diri. Kesantunan dan kejujuran seperti itulah yang sekarang hilang atau seti-daknya makin menipis dalam pendidikan nasional kita. Di kota-kota besar sekarang, banyak siswa yang tidak mengenal gurunya; dan atas ketidak-kenalannya tersebut rasa kesantunan memudar. Jangankan mau menekankan tombol lift atau membukakan pintu, berpapasan di jalan pun sang siswa bersikap acuh tak acuh dan enggan bertegur sapa.

Bagaimana dengan kejujuran? Kalau kita amati para koruptor di negeri ini banyak kaum terpelajar yang notabene lulusan sekolah atau perguruan tinggi. Kebiasaan tidak jujur, ketika di sekolah dan perguruan tinggi, misalnya, menyontek dalam mengerjakan soal-soal ujian, ternyata dalam jangka panjang telah berakibat fatal bagi kehidupan berbangsa dan bernegara dengan maraknya kasus korupsi yang dilakukan pejabat yang adalah alumnus sekolah dan perguruan tinggi kita.

Perlu Diseimbangkan

Sekarang, banyak siswa kita bangga kalau mampu menembus sekolah berstandar internasional (SBI).

Orangtua beserta keluarganya pun sangat memberikan dorongan dan dukungan agar putra-putrinya berhasil meraih kursi di SBI. Hal itu sangat mudah dimaklumi, karena SBI memang sedang ngetrend meskipun untuk bisa memasukinya harus mengeluarkan dana yang tidak sedikit.

Di tingkat perguruan tinggi, para mahasiswa sangat bangga kalau lem-baganya diakui oleh masyarakat dunia sebagai universitas berkelas dunia atau world class university (WTU). Apalagi, perguruan tinggi di Indonesia yang mampu meraih predikat WTU relatif sangat sedikit jumlahnya. Membanggakan SBI (yang benar-benar SBI) dan WTU (yang benar-benar WTU) tentunya sah dan tidak salah. Memutukan diri melalui lembaga yang berkualitas internasional tentu saja lebih banyak manfaatnya.

Masalahnya, pengembangan SBI dan WTU di Indonesia kurang memperhatikan kesantunan dan kejujuran. Jangan heran kalau banyak siswa SBI dan mahasiswa WTU yang sikapnya egois, kurang perhatian, tidak toleran, merasa pintar sendiri, mengabaikan keunggulan orang lain, dan sikap-sikap destruktif lainnya.

Menyeimbangkan kecerdasan dan keterampilan dengan kesantunan dan kejujuran mutlak diperlukan untuk mengembangkan pendidikan nasional Indonesia. Di tangan presiden terpilih, semuanya akan dapat direalisasikan kalau didasari dengan semangat yang tulus dan penuh kesungguhan.Nah, Bapak SBY, bersiaplah menjalankan amanah rakyat Indonesia untuk menyeimbangkan pendidikan nasional kita!

* Ki Supriyoko, Direktur Program Pascasarjana Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta dan Wakil Presiden Pan-Pacific Association of Private Education (PAPE) yang bermarkas di Tokyo, Jepang

Sumber: Suara Pembaruan, Rabu, 5 Agustus 2009

No comments: