Jakarta, Kompas - Penyair dan dramawan WS Rendra, yang tenar dijuluki ”Si Burung Merak”, kini terbang selamanya. Setelah lebih dari sebulan dirawat akibat serangan jantung koroner di sejumlah rumah sakit, budayawan bersuara lantang ini meninggal di RS Mitra Keluarga, Kelapa Gading, Jakarta Utara, Kamis (6/8) pukul 22.10.
Ekspresi WS Rendra dengan "seribu wajahnya" dalam acara pembacaan sajak-sajak "Penabur Benih" di Teater Terbuka TIM, 25-26 Juli 1992.
Rendra, menurut keterangan pihak keluarga, akan dimakamkan setelah shalat Jumat hari ini di TPU Bengkel Teater Rendra, Cipayung, Citayam, Depok.
Sebelumnya, seniman kelahiran Solo tahun 1935 ini dirawat di Rumah Sakit Cinere sejak 25 Juni. Namun, karena kondisinya tak kunjung membaik, Rendra lalu dirujuk dirawat di RS Harapan Kita di Jakarta Barat, sebelum akhirnya ke RS Mitra Keluarga, Kelapa Gading.
Mas Willy, panggilan akrab penyair yang bernama lengkap Willibrordus Surendra Broto Rendra, tetapi kini bernama resmi Wahyu Sulaiman Rendra, gara-gara sakitnya, tak bisa menghadiri pemakaman teman karibnya, Mbah Surip. Penyanyi eksentrik ini mendahuluinya meninggal dan dimakamkan di Kompleks Pemakaman Bengkel Teater, Citayam, Depok, Selasa lalu.
Selain dikenal garang dan lantang menentang ketidakadilan, penyair dan dramawan WS Rendra juga sering kali mengadakan gerakan-gerakan penyadaran kebudayaan, antara lain Perkemahan Kaum Urakan di Parangtritis, Yogyakarta, pada sekitar tahun 1975.
Ia juga sering menyampaikan Pidato-pidato Kebudayaan yang sering dikutip orang. Seperti ketika ia mengatakan bahwa posisi seorang budayawan yang ideal itu tidak berpihak kepada apa pun dan siapa pun, tetapi kepada kebenaran. Rendra menyebut kelompok ideal seperti ini sebagai ”mereka yang berumah di atas angin”.
Proses kreatif Rendra
Dan inilah yang jarang diketahui orang. Proses kreatif Rendra atau Mas Willy, menurutnya dalam sebuah pidato, diperoleh dari kedisiplinan menjalani hidup.
”Adapun disiplin dan cara yang saya maksud itu saya peroleh berkat ajaran yang saya dapat dari Mas Janadi, sejak saya berumur empat setengah tahun,” kata Rendra, dalam pidatonya saat memperoleh Penghargaan Achmad Bakrie tahun 2006.
Janadi, menurut Rendra, adalah pembantunya, kiriman kakeknya. Meski hanya pembantu, Rendra mengaku ia adalah guru pribadinya. ”Ketika saya berada di kelas lima sekolah dasar, Mas Janadi wafat,” ungkap Rendra dalam pidatonya tersebut.
Mengaku lahir dari keluarga Jawa, ajaran Mas Janadi itu menurut Rendra juga mengangkat tradisi Jawa, khususnya Suluk Demak. Bukan tradisi Jawa Mataram Islam.
”Secara ringkas, disiplin dan cara olah kreatif itu dirumuskan dalam kalimat Manjing ing kahanan, nggayuh karsaning Hyang Widhi, yang dalam bahasa Indonesia kontemporer berarti 'Masuk ke dalam kontekstualitas, meraih kehendak Allah'.”
Masuk ke dalam kontekstualitas itu, menurut Rendra, bekalnya adalah rewes dan sih katresnan. Rewes adalah kepedulian. Sih katresnan adalah cinta kasih (karisma).
”Maka seorang yang kreatif harus selalu berusaha agar ia selalu mempunyai kepedulian terhadap lingkungan yang mengelilingi dirinya, dari saat ke saat. Mulai dari lingkungan yang terdekat: baju-bajunya, meja tulisnya, lemarinya, negaranya, segenap flora dan faunanya, tetangganya, bangsanya, bumi, langit, samudra, alam semesta raya,” kata Rendra.
”Mas Janadi menganjurkan kepada saya bagaimana mengolah kesadaran pancaindra, kesadaran pikiran, kesadaran naluri dan kesadaran jiwa untuk bisa lebih cermat dalam memedulikan lingkungan.”
”Segenap kesadaran harus dilatih dan dididik agar bisa membeda-bedakan hal dan perkara. Mas Janadi berkata, sikap bijaksana itu artinya bisa membedakan hal dan perkara dalam mempertimbangkan masalah,” kata Rendra dalam pidatonya tahun 2006 itu.
Rendra, yang dikenal melalui penampilan-penampilannya dalam drama seperti Panembahan Reso (1986) ataupun Perjuangan Suku Naga, juga mengaku belajar berbahasa secara baik dari guru bahasa Indonesianya, Ignatius Sunarto.
”Ia berpesan, jangan bosan belajar sintaksis (tata bahasa). Barangsiapa bisa membedakan perkara, tanda ia cerdas,” tuturnya dalam pidato waktu itu.
Latihan peduli
Bukan tanpa proses jika seorang Rendra dulu memiliki kepedulian. ”Latihan kepedulian dan kecermatan kepedulian ini harus menjadi usaha sehari-hari sehingga bisa menghasilkan banyak pengetahuan akan detail, dan juga bisa memperdalam dan memperluas wawasan kesadaran jiwa dan pikiran,” kata Rendra.
”Disiplin kepedulian ini harus dilanjutkan dengan langkah ngerangkul, artinya merangkul, yaitu keikhlasan untuk terlibat. Latihan keterlibatan ini harus mulai dari keterlibatan kepada lingkungan terkecil sampai ke lingkungan yang jauh melebar,” kata Rendra pula.
”Mas Janadi selalu memerhatikan, apakah kalau lantai kamar kotor, saya segera menyapunya? Apakah tempat tidur saya selalu teratur rapi? Apakah kalau saya tahu ibu saya memerlukan air di dapur, saya segera mengambil air dari sumur untuknya? Apakah saya ikhlas mengorbankan tabungan saya untuk beli bola bagi klub sepak bola kami yang bolanya tengah rusak? Apakah saya cukup sabar menggendong adikku ke gedung bioskop karena ia sangat ingin menonton film Tarzan, Monyet Putih? Begitu seterusnya.”
Entah secara kebetulan atau apa, menurut pihak keluarga, Mas Willy sebenarnya ingin kembali ke bengkelnya di Depok untuk merayakan tujuh hari meninggalnya Mbah Surip, sahabatnya. Ternyata, ia malah menyusul sang sahabat.
Selamat jalan, Mas Willy. Selamat jalan penyair idola. Selamat jalan, selamat jalan.... (THY/ED/ISW/IAM/CAN/SHA/NAL)
Sumber: Kompas, Jumat, 7 Agustus 2009
No comments:
Post a Comment