-- Bambang Q-Anees*
DI tengah situasi akhir-akhir ini, apakah yang mendorong kita untuk tetap optimistis?
Agak susah menjawabnya. Semua ihwal seperti mendesak kita untuk terpuruk dalam ketidakberdayaan. Politik kini hanya ritus tanpa perjuangan, (organisasi) agama terlihat linglung menemukan umatnya tanpa kendali ditelan krisis, ekonomi semakin tak berdaulat, alam raya semakin menunjukkan kemarahannya, sementara itu pendidikan pun seperti lumpuh.
Rabindranath Tagore pernah menulis puisi, pada setiap anak yang dilahirkan ada pesan khusus dari Tuhan: kehidupan akan terus berlangsung. Puisi ini mirip dengan petuah orang tua ketika anaknya ragu akan kemampuan membiayai hidup barunya setelah memiliki anak, "Terima saja, setiap anak akan membawa rezekinya sendiri, kita hanya dititipi amanah Tuhan untuk mengurus, sisanya serahkan pada Gusti Allah". Begitu simpel, lalu kehidupan berjalan begitu saja.
Sungguh. Pada saat genting seperti ini, ingin sekali memiliki pola pikir sederhana seperti orang-orang di kampung. Misalnya, ketika beras tak ada, beberapa orang kreatif di kampung -tanpa protes dan mengeluh- menciptakan beras dari jagung, singkong, ubi, bahkan dari nasi bekas. Semuanya itu bagi saya adalah kreativitas yang lebih hebat daripada analisis kecukupan gizi atau pemerataan ekonomi.
**
MUNGKIN benar analisis para penolak modernisme bahwa dosa utama pemikiran modern adalah mengajarkan prinsip yang terlalu optimis. Di depan sana, dengan merujuk Hegel, secara pasti akan ada keberhasilan, kegemilangan umat manusia dalam kemajuan yang tak terbayangkan sebelumnya. Kita terlalu pintar dengan ilmu modern, semuanya dapat dipahami, kemudian dirancang dan bila perlu dimanipulasi sesuai dengan apa yang kita anggap "harus".
Bila saja kepala kita tidak menggunakan kacamata modern, melainkan kacamata tradisi yang "menyesuaikan diri" dengan gerak alam, kepesimisan tak bakal hadir dan menghancurkan benak kita. Lihatlah prinsip orang Baduy, pendek jangan disambung, panjang jangan dipotong, semua ada manfaatnya masing-masing. .
**
MENOLAK keoptimisan bukan berarti pesimis. Seorang teman, Khairul di website SEPIA, mengajukan sinergi antara optimis dan pesimis, yaitu opsimis. Merujuk pada buku Man`s Search for Meaning karya Victorl F. Frankl ditemukan fenomena bahwa mereka yang terlalu optimis dalam menjalani penderitaan mengalami nasib naas: putus asa. Sementara mereka yang masih menjaga api pesimisme di tengah keoptimisan dapat bertahan hidup lebih lama.
Opsimisme adalah optimisme yang diimbangi kemampuan menerima kenyataan sehari-hari yang mengkhawatirkan. Opsimisme adalah sikap optimis untuk keadaan jangka panjang sekaligus pesimis untuk realita saat ini. Opsimisme adalah sikap seorang panglima perang yang begitu yakin akan kemenangan perjuangannya (optimis), namun ia selalu berusaha menyusun strategi dan berjuang keras untuk kondisi yang dihadapinya (pesimis).
Maka di tengah situasi yang maha melemahkan ini, satu-satunya pilihan adalah bersikap opsimis. Karena diam-diam, saat ini, kita dipenuhi oleh orang-orang yang begitu saleh.
Untuk mengentalkan sikap opsimisme, mungkin kita harus berguru pada Muhammad Yunus (pendiri Grameen Bank). Pada pidatonya di upacara wisuda di Massachusetts Institute of Technology (6 Juni 2008), ia menyatakan beberapa catatan mengenai membangun perekonomian di tengah krisis.
Pertama, tidak memercayai analisis pesimis dari teori-teori, "dalam menjalankan Grameen Bank saya melanggar prinsip dasar kapitalis -maksimalisasi laba". Prinsip ini menyatakan bahwa kebahagiaan bisnis terkait pada besarnya laba yang diperoleh, uang menjadi tujuan sekaligus sarana. Namun, bagi Yunus, bagi manusia yang-hidup-nyata memperoleh uang adalah sarana, bukan tujuan. Oleh karena itu, Yunus memberikan pinjaman pada orang-orang yang disingkirkan oleh bank, kini bank itu berkembang pesat - bank ini memiliki 130 juta nasabah di seluruh dunia.
Kedua, memfokuskan diri pada upaya-upaya sederhana untuk mengatasi masalah sosial di tingkat yang terbatas. Yunus menyatakan, "Mengatasi persoalan besar tidak selalu harus lewat tindakan raksasa, atau inisiatif global atau bisnis besar."
Bagi Yunus, krisis adalah peluang untuk mengundang semua orang menjadi manusia penuh kasih sayang. Yunus menambahkan, "Sengeri apapun tampaknya persoalan ini, janganlah kalian mengkerut dikalahkan oleh ukuran mereka. Persoalan besar seringkali hanyalah pelebih-lebihan persoalan kecil. "
Mari kita optimis....eh opsimis!***
* Bambang Q-Anees, dosen Filsafat dan Teologi UIN Bandung dan Mahasiswa S-3 UPI Bandung.
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, 19 April 2009
No comments:
Post a Comment