Jakarta - Seorang siswa SMU di Surabaya membaca novel setebal 600 halaman dalam satu malam. Sebagian dari kita mungkin terkagum-kagum. Namun, jika mengetahui novel itu adalah Winnetou, empat karya terakhir Karl May, kita menjadi maklum.
Novel yang berisi petualangan seorang laki-laki Jerman yang dikenal sebagai Old Shatterland dengan sahabat Indiannya, Winnetou, itu membuat pembacanya, termasuk remaja, tidak terhenti membaca di tengah jalan.
Latar itu juga yang membuat penerbit Pustaka Primatama bekerja sama dengan Paguyuban Karl May Indonesia (PKMI) menerbitkan kembali kisah-kisah petualangan Old Shatterhand dan Winnetou untuk remaja. Karya yang diterbitkan kembali itu adalah seri Winnetou, yang terdiri dari Anak Pemburu Beruang, Hantu Llano Estacado, Harta di Danau Perak, Raja Minyak, dan Mustang Hitam.
Para remaja itu tengah membutuhkan cerita petualangan dengan sosok pahlawan yang dapat ditiru.
Di usia remaja, menurut profesor dari Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Riris K Toha-Sarumpaet, muncul desakan untuk menemukan jati diri. “Maka setiap remaja mendambakan pahlawan, bahkan menjadikan dirinya pahlawan,” katanya.
Menurut pengajar yang telah menekuni cerita anak sejak 30 tahun lalu ini, Karl May punya pola bercerita yang sama, mengangkat tema-tema kepahlawanan dan petualangan. Pada novel Anak Pemburu Beruang, misalnya, ada tokoh protagonis bernama Martin, putra dari seorang pemburu beruang, yang mendengar kabar bahwa ayahnya ditangkap suku Indian dan segera dibunuh. Ada motif balas dendam di situ.
“Ia begitu cintanya pada ayah dan adiknya yang mati terbunuh, ia ingin membalas dendam, ia justru mencari perdamaian. Itu dia yg sulit kita terjemahkan dan membuat kita, selama ratusan tahun, akan kembali pada karya ini,” ujar Riris yang menjadi pembicara dalam peluncuran novel-novel tersebut di Wisma Antara, Jakarta, Selasa (31/3) lalu.
Cara bercerita yang seperti itu menjadikan tokoh-tokoh pada karya Karl May, seperti Winnetou, Old Shatterhand, atau Kara Ben Nemsi, adalah seorang pahlawan. Cerita petualangan, menurut Riris, sangat identik dengan cerita kepahlawanan. Cerita-cerita seperti itulah yang disukai remaja.
Kemanusiaan
Bukan hanya kepuasan karena bisa mengidentikkan diri sebagai pahlawan di cerita-cerita Karl May, tetapi juga nilai kemanusiaan. Menurut Riris, karya laki-laki kelahiran Chemnitzer Land, Jerman (25 Februari 1842—30 Maret 1912), ini memunculkan tokoh-tokoh yang telah menjadi ayah, ibu, adik, sahabat, orang asing, bahkan menjadi pahlawan yang kita perlukan sebagai manusia.
Novel-novel itu ditulis pada abad ke-19, keadaan yang sangat berbeda dengan abad ke-21 saat ini. “Kita hidup dengan televisi, tidak bisa terpisah dari handphone, hiruk-pikuk di sekitar kita, kehidupan serbainstan, serta kegilaan kita pada pentingnya idola semu yang ditawarkan para artis, politikus, dan para selebritas itu menurut saya mengharuskan kita kembali membaca dan memahami hakikat pahlawan dalam kemanusiaan kita. Dan itu hanya dapat kita temukan pada buku-buku bermutu seperti ini, karya yang kuat menggambarkan pergumulan manusia dan dapat memancing perhatian, perasaan, dan imajinasi kita. Dengan karya-karya ini kita berharap semua pembaca dapat mengalami betapa keberanian menjadikan kita pantas untuk terus hidup. Beginilah karya sastra membangun peradaban, mempertahankan kehidupan, dan memberlakukan kebaikan, ” ujar Riris menjelaskan. (mila novita)
Sumber: Sinar Harapan, Sabtu, 4 April 2009
No comments:
Post a Comment