-- Budiarto Shambazy
HUBUNGAN Indonesia-Malaysia tegang hanya karena satu alasan, yakni kehadiran sekitar dua juta TKI di negeri jiran itu. Selama problem klasik ini tak diselesaikan secara serius, ketegangan ala konfrontasi itu menjadi bahaya laten yang mudah termanifestasi menjadi konflik serius.
Tesis ini saya sampaikan dalam pertemuan Eminent Persons Group (EPG) kedua negara yang berlangsung di Jakarta belum lama ini. EPG Indonesia diketuai mantan Wakil Presiden Try Sutrisno, pihak Malaysia ketuanya Datuk Tun Musa Hitam. Tujuan EPG mempererat kembali tali persaudaraan kedua bangsa melalui lajur berbagai profesi, termasuk wartawan.
Sekitar setahun lalu saya berkunjung ke Kuala Lumpur, bertemu berbagai kalangan seperti pengusaha, wartawan, ilmuwan, dan pejabat. Dari hasil kunjungan muncul kesan, mereka risau sejak munculnya ketegangan di Ambalat karena lebih kurang mirip dengan apa yang terjadi sebelum Konfrontasi 1963.
Tanggal 12 April 1963 pemberontak di Brunei Darussalam terlibat kontak senjata melawan pasukan Inggris di Kalimantan Utara. ”Pemberontak” personel TNI, sukarelawan Indonesia, dan oposisi Brunei melancarkan subversi terhadap kesultanan yang dianggap boneka Inggris. Kontak senjata itu yang pertama kalinya terjadi sepanjang konfrontasi yang berlangsung sampai 1965, yang dipicu oleh rencana Inggris tetap bercokol di bekas jajahannya dengan membentuk Federasi Malaysia yang terdiri atas Malaysia, Borneo (Sabah dan Serawak), Brunei, dan Singapura.
Rencana itu ditentang Jakarta, dan Menlu Subandrio mengumumkan konfrontasi 20 Januari 1963. Presiden Soekarno curiga pembentukan federasi merupakan pintu masuk untuk menguasai Asia Tenggara. Apalagi, London telah menggelar sebuah brigade, dua batalion, dan unit- unit angkatan udara serta laut yang total terdiri atas 60.000 personel. Sudah ada pula pakta militer ANZUS (Australia, New Zealand, and United States). Namun, itu semua masih kurang: Inggris ingin mendirikan pangkalan militer di Singapura.
Isu pangkalan militer di Singapura yang membuat Presiden Soekarno berang. Ia enggan meluaskan konfrontasi jadi perang frontal melawan Inggris karena pasti kalah, lebih suka mengobarkan konflik terbatas sambil melancarkan berbagai tekanan diplomatis terhadap Malaysia, dan itulah sebabnya ia mendukung pemberontakan di Brunei.
Dengan atau tanpa konfrontasi, Malaysia menganggap kedua negara bagai dua saudara yang kadang kala bertengkar. Kakak berharap adiknya bersikap hormat, sebaliknya adik merasa kakak cepat naik pitam. Jika disimpulkan, separuh kalangan di Malaysia mungkin merasa Indonesia sebagai kiblat historis dan kultural yang layak dicontoh, separuhnya lagi tak begitu peduli dengan ketegangan-ketegangan yang terjadi.
Sebaliknya, tak sedikit kalangan di Indonesia yang mudah terprovokasi dengan isu-isu bilateral yang membuat kondisi bagaikan api di dalam sekam, seperti kasus Ambalat, batik, dan lagu Rasa Sayangé. Dan, salah satu kalangan yang menyulutkan api ke bensin adalah justru pers Indonesia. Dalam kurun waktu Mei-Oktober 2007 terdapat hampir 5.000 berita media cetak tentang ketegangan bilateral. Hanya lima persen yang bernada positif, selebihnya menjelek-jelekkan Malaysia.
Pemimpin redaksi sebuah harian nasional di Kuala Lumpur mengatakan, media Malaysia justru cenderung menyembunyikan berita-berita yang menyulut emosi. Sebagai negeri yang pernah diserbu pasukan Indonesia, mereka paham pemberitaan yang memanas-manasi sama sekali tidak menguntungkan.
”Wartawan kami sejak dulu terbiasa tutup mulut, enggan memberitakan hal-hal di Indonesia,” kata dia.
Kultur konfrontasi
Masih ingat kasus penganiayaan pelatih karate Donald Colopita? Banyak kalangan di dalam negeri yang marah. Namun, uniknya, jarang ada yang marah jika TKI tewas atau menjadi korban ketidakadilan di luar negeri, termasuk di Malaysia.
Grafik hubungan RI-Malaysia naik turun sejak konfrontasi awal 1960-an. Kedua bangsa memang serumpun, tetapi sejarah dan sistem politiknya bagai siang dan malam.
Malaysia dijajah Inggris yang sistem kolonialismenya ”bagus” dibandingkan Belanda yang ”kejam”. RI berjuang untuk merdeka, tanggal kemerdekaan Malaysia mesti dapat persetujuan dari Inggris dulu.
Malaysia sebuah monarki konstitusional, Yang Dipertuan Agung menjadi simbol dan pemerintah dipimpin perdana menteri. Indonesia sebuah republik yang merebut kemerdekaan melalui perjuangan dan diplomasi. Konstitusi Malaysia menyebut Islam sebagai agama resmi, tetapi judi diizinkan di Genting Highland meskipun hanya untuk warga Malaysia non-Islam dan warga asing. Sementara UUD 1945 secara implisit menyebut Indonesia sebagai negara sekuler.
Politik di Malaysia bergantung pada hubungan antarpuak yang hipersensitif karena perimbangan etnis nyaris setara antara Melayu, China, dan Tamil. Kerusuhan 1969 menewaskan ribuan puak China yang mendominasi ekonomi.
Sejak itu tak ada lagi kerusuhan berkat stabilitas yang dikendalikan ”kartel parpol” Barisan Nasional. Ekonomi Malaysia sukses karena, misalnya, praktis tak terlalu terganggu krisis moneter 1998.
Diplomat Orde Baru dididik menjadi jago drafting sidang-sidang internasional. Semuanya senang bicara politik luar negeri bebas aktif dan merasa bangga Indonesia menjadi ketua forum ini atau itu. Namun, mereka enggan mengurusi TKI. Telah terbukti di pengadilan, diplomat (dan juga petugas-petugas keimigrasian) mengorupsi upah yang diperoleh mati-matian oleh para TKI.
Kondisi obyektif memperlihatkan Malaysia mempunyai kapal-kapal selam modern, sementara Indonesia menjadi negeri bahari yang tak mampu menjaga lautannya sendiri. Kuala Lumpur mencampur skuadron jet tempurnya dari mancanegara, militer Indonesia langsung pincang jika Amerika Serikat memberlakukan embargo.
Tak pelak lagi, masalah sentral adalah TKI (baik legal maupun tidak) di Malaysia. Jumlah resmi lebih dari sejuta orang, jumlah tak resmi mungkin dua kali lipatnya.
Hampir separuhnya bekerja sebagai pembantu rumah tangga yang diperlakukan sebagai saudara oleh keluarga Malaysia. Sisanya pekerja ladang kelapa sawit, buruh industri dan infrastruktur, atau karyawan perusahaan barang serta jasa.
Total uang yang dikirim jutaan TKI di mancanegara kepada keluarga mereka di sini mencapai sekitar Rp 13 triliun per tahun. Bisa dibayangkan krisis yang terjadi andai Malaysia memulangkan mereka. Tak bisa dimungkiri di masa depan masih akan banyak peristiwa pro dan kontra yang melibatkan TKI di Malaysia yang meluber ke ranah politik dan dimanfaatkan oleh elite politik untuk pengalihan perhatian dari berbagai kesulitan ekonomi di dalam negeri. Kultur konfrontasi masih ada di antara kita.
Sumber: Kompas, Jumat, 17 April 2009
No comments:
Post a Comment