Sunday, April 19, 2009

Kebudayaan Urban: Bharata

-- Bre Redana

DIPIKIR-PIKIR, kelompok Wayang Orang Bharata di Jalan Kalilio, Senen, Jakarta Pusat, tak pernah kehilangan pesonanya. Setidaknya pesona romantik kesenian tradisional, yang di tengah jantung kota besar tempatnya bermarkas, barangkali bau keringatnya pun terasa lain: lebih natural daripada bau minyak wangi Bvlgari.

Nyatanya, sejumlah kelompok masih suka menggaulinya. Di tengah kondisi rombongan wayang yang didirikan tahun 1972 dan kini terseok-seok itu, kelompok-kelompok dengan individu-individu beken dan makmur di belakangnya masih mencoba menimang Bharata. Taruhlah untuk menyebut beberapa seperti dilakukan oleh bekas Menteri Sosial Nani Soedarsono dulu dengan kelompok Sekar Budaya, Ratih Dardo Subroto dengan Paguyuban Wayang Orang Putri Kunti Nalibroto, tak ketinggalan istri pengusaha kaya Atilah Soeryadjaya dan teman-temannya dengan Mitra Wayang Orang Indonesia. Mereka memanjakan Bharata dengan cara dari menyantuni sampai ikut naik panggung bersama anak-anak wayang itu.

Dalam tradisi kesenian, memang dikenal istilah maecenas—artinya lebih kurang patron yang murah hati. Ketika sebagai patron ibu-ibu itu ikut naik panggung, pertunjukan menjadi ramai. Jika pada pertunjukan rutinnya di Senen WO Bharata hanya bisa mengumpulkan 10-20 penonton yang menonton sambil makan mi goreng, di Gedung Kesenian Jakarta tampil bersama ibu-ibu tadi arena parkir disesaki mobil-mobil mewah. Karcis pertunjukan yang harganya 10 kali lipat sold out.

Sayangnya, gebyar seperti itu hanya menjadi sesuatu yang insidental. Setelah itu, para awak Bharata kembali ke kerutinan pertunjukannya yang sepi di Senen atau kembali ke kehidupan sehari-hari yang sulit seperti umumnya dialami para anak panggung, di rumah-rumah petak mereka di Sunter.

Atraksi turis

Melihat nasib anak wayang itu, jadi ingat beberapa traditional troop atau kelompok-kelompok kesenian rakyat di negeri lain. Di Beijing, China, ada kelompok Opera China—satu pertunjukan kesenian rakyat dengan nyanyi dan tari yang memukau termasuk salto-saltonya—yang tampil setiap malam di sebuah kelenteng kuno.

Sebagian kelenteng difungsikan menjadi semacam ruang serbaguna bagi turis untuk melihat pertunjukan ini. Meja dan kursi diatur di depan panggung. Sebelum pertunjukan, orang-orang yang hadir menikmati wine, bir, ataupun makanan-makanan kecil yang harganya jauh lebih mahal dibandingkan harga di luar. Hanya tampaknya tak ada yang berkeberatan. Ini kesempatan langka. Tanpa reservasi beberapa hari sebelumnya, mustahil Anda bisa mendapatkan tiket.

Pukul delapan malam pertunjukan dimulai. Dari malam ke malam ceritanya biasanya seperti itu, misalnya kisah Sun Go Kong. Tradisi film silat China bisa dilacak di sini, termasuk salto, ginkang, dan permainan toya-nya. Pertunjukan tak berlangsung berlarat-larat, hanya satu jam. Setelah itu penonton bubar, nyangkut dulu melihat-lihat kios-kios cendera mata sebelum kemudian diangkut oleh bus-bus besar pengangkut turis.

Beberapa kota besar di Asia memiliki atraksi seperti itu. Jangankan Beijing yang menjadi salah satu episentrum Asia sekarang. Bahkan, Hanoi di Vietnam pun, yang keadaannya seperti Jakarta tahun 1980-an, dengan sadar menempatkan kesenian tradisionalnya sebagai atraksi gaya hidup masa kini untuk kebutuhan turis.

Di jantung Hanoi di dekat danau yang indah, terdapat gedung kuno tempat dipertunjukkannya wayang air—wayang khas Vietnam. Dengan kesadaran atas waktu di benak masyarakat masa kini, pertunjukan wayang air di Hanoi juga hanya berlangsung sekitar satu setengah jam. Pertunjukan berlangsung sampai tiga kali dalam sehari, yakni pukul 16.00, 19.00, dan 21.00. Meski sudah berlangsung tiga pertunjukan sehari (khusus hari Minggu ditambah matinee pukul 11.00), toh tetap tidak gampang untuk memperoleh tiket. Reservasi sebaiknya dilakukan beberapa hari sebelumnya.

Gaya hidup

Lalu, bagaimana dengan Jakarta? Seandainya ada tamu atau kenalan dari negara lain ingin melihat kesenian tradisional kita, mau kita bawa ke mana mereka? Bu Ratih dan Mbak Atilah belum tentu setahun sekali naik panggung. Ke Kalilio Senen, Bharata hanya main setiap malam Minggu. Belum tentu pula kita sreg mengajak tamu ke situ, dengan panggung yang telah mulai reyot dan lingkungan yang cenderung kumuh. Tempat ini dengan pertunjukan yang berlangsung panjang sampai hampir tengah malam hanya menarik bagi penulis yang kangen dengan romantisme kesenian rakyat masa lalu. Panggung Bharata tidak dalam ke-kini-an gaya hidup masyarakat mutakhir.

Banyak orang memalingkan kepala ke pemerintah kalau sudah bicara nasib kesenian rakyat seperti ini. Mereka berpendapat, pemerintah seharusnya melestarikan, mengembangkan, atau apalah pokoknya pemerintah yang dianggap harus bertanggung jawab.

Khusus untuk Bharata, Pemerintah Provinsi DKI sebenarnya sudah berbuat sesuatu. Gedung itu milik Pemprov DKI. Rumah-rumah petak yang dihuni para anggota Bharata di Sunter juga sumbangan Pemprov DKI. Dana tahunan juga disediakan.

Menurut saya, pemerintah semata-mata disuruh membikin kelompok semacam Bharata menjadi moncer adalah mustahil. Ada potensi terserak di sana-sini, yang tak kalah mampu mengangkat kesenian rakyat semacam itu dalam panggung gaya hidup masa kini.

Siapa mereka? Tidak lain wanita-wanita ayu dan wangi kota besar itu, yang di panggung pun kualitas lipstick-nya berbeda dari yang dipakai para pemain wayang umumnya. Kurang apa lagi? Yani Arifin, Astari, dan Tuti Roosdiono pasti bukan hanya bisa menari. Mereka punya modal lain, termasuk gaya hidup, yang bisa menyedot orang andai mereka tak sekadar menari, tetapi menempatkan Bharata dalam strategi konsumsi masa kini. Pekerjaan yang lebih serius, tapi manfaatnya bakal lebih besar bagi perkembangan budaya urban.

Sumber: Kompas, Minggu, 19 April 2009

No comments: