-- Sjifa Amori
KEINGINAN mengisi “ruang kosong” menuntun Athena pada pencarian spiritual yang memberikan kemampuan penyihir yang membahayakan.
Sejauh mana pencarian terhadap diri sendiri akan membawa kita pergi? Akankah perjalanan tak berujung itu menghabiskan seluruh hidup kita? Apakah untuk mendapatkan jawabannya seseorang perlu membahayakan dirinya sendiri, seperti juga Athena yang mengantarkan nyawanya pada pencariannya.
Berawal dari sebuah “ruang kosong” dalam kehidupan. Athena dan sebagian tokoh dalam novel berjudul The Witch of Portobello (Sang Penyihir Dari Portobello) menganggap bahwa kehidupan mereka secara umum sudah sempurna. Meski begitu, kegelisahan terus hinggap dalam hati dan memaksa mereka melakukan semacam perjalanan spiritual dalam rangka mengisi “ruang kosong” tersebut.
Dalam kasus Athena, perjalanannya juga terjadi secara fisik. Untuk mengisi “ruang kosong” hidupnya, Athena berhenti kuliah dan menikah. Daripada menjalin kehidupan rumah tangga normal, gadis yang belum genap 20 tahun ini berambisi melahirkan anak. Akibatnya sang suami merasa dimanfaatkan, dan mereka pun bercerai.
Petualangan Athena dimulai dengan menjalani semacam persatuan mistis dan fisik dengan Tuhan. Ia mempraktikkan tarian “Pencarian Vertex”. Vertex dianggap sebagai titik kulminasi, yakni ketika seseorang bisa menemukan cahaya yang memancar dari hati. Tarian ini diwarisi dari tradisi sebuah suku di desa terpencil di Siberia.
“Menarilah hingga kau begitu kehabisan napas sampai seluruh organmu terpaksa mencari oksigen dengan cara lain, dan saat itulah pada akhirnya, kau akan kehilangan identitasmu dan pertalianmu dengan ruang dan waktu,” kata Pavel Podbielski, pemilik apartemen yang disewa Athena, dalam testimoninya kepada sang pewawancara misterius.
Selama bertahun-tahun Athena yakin gerakan yang cepat diperlukan supaya manusia bisa bersentuhan dengan diri mereka. Keyakinan Athena ini runtuh ketika menyadari bahwa kesabaran juga bisa membawanya pada Vertex, misalnya dalam membuat seni kaligrafi.
“Caraku mendekati Allah-terpujilah nama-Nya- adalah melalui kaligrafi, dan pencarian arti sesungguhnya dari setiap kata,” kata Nabil Alaihi yang mengajari Athena cara mendidik jemari untuk memanifestasi setiap sensasi dalam jiwanya.
Sayangnya, menurut Nabil, meski Athena sudah menguasai seni kaligrafi , dia dianggap belum menguasai ruang kosongnya. Kenyataan ini menyesakkan hatinya dan menuntunnya untuk kembali dalam pencarian. Kali ini ia berkeras untuk menjumpai ibu kandungnya, seorang gipsy dari Romania.
Semakin jauh Athena melangkah, berdua dengan anaknya, semakin jauh penguasaannya akan pemahaman spiritualitas. Dia pun tahu bahwa keadaan trans bisa dicapai tidak hanya melalui tarian, tapi juga segala sesuatu yang membiarkan si pelaku memusatkan perhatian dan memisahkan tubuh dari jiwa. Dengan kemampuan itu, Athena semakin tak bisa dikendalikan. Ia terus belajar tanpa ada yang menemani dan memberitahukan batas-batas. Ia mulai membiarkan sekelompok kecil orang mendatangi rumahnya untuk berguru. Lama-lama kumpulan ini berkembang hingga membentuk komunitas yang menyembah apa yang mereka sebut sang Dewi Ibu. Di sinilah orang-orang merasakan ajaran yang mementingkan cinta kasih daripada larangan dan tabu yang biasa.
Athena mendadak dikuduskan orang-orang yang memisahkan diri dari agama konvensional yang punya banyak aturan ketat. Ia menjadi nabi mereka, namun digolongkan sebagai penyihir oleh kalangan gereja di Inggris.
“Kalau begitu…,” kata aktris Andrea McCain, salah seorang murid Athena yang tidak begitu menyukainya, “…kenapa dia tidak masuk biara dan mengabdikan diri melayani orang miskin. Itu mungkin lebih berguna untuk dunia ini dan jauh lebih tidak berbahaya dibanding menggunakan musik dan ritual untuk menimbulkan reaksi intoksikasi pada orang yang mempertemukan mereka dengan sisi terbaik dan terburuk -masing.”
Memang berbahaya jalan hidup yang dipilih Athena. Begitu berbahayanya hingga ia ditemukan terbunuh dengan keadaan terpotong-potong.
Siapakah kiranya yang merasa terganggu dengan peranan Athena sebagai orang kudus sekaligus penyihir? Apakah karena dalam perjalanannya Athena telah begitu menyinggung banyak pihak. Seperti para pendeta yang “gerah” dengan kemunculan “Sekte Setan di Jantung Inggris.” Belum lagi rasa sakit hati orang yang “dilukai”nya. Seperti Andrea yang menganggap Athena hanya menggunakan topeng spiritual untuk menutupi segala yang berdosa pada diri manusia, termasuk yang terkait seksualitas, demi merayu lawan jenis yang kebetulan adalah kekasih Andrea.
Mampukah orang misterius yang mewawancarai seluruh kenalan, keluarga, dan mantan suami Athena menguak tabir ini? Ataukah wawancara ini hanyalah bentuk lain penulisan sebuah biografi?
Penulis Paulo Coelho menjadikan kesaksian dan pandangan beberapa tokoh sebagai wujud deskriptif terhadap Athena dan perjalanannya. Dari satu mulut ke mulut yang lain menceritakan pada pewawancara misterius mengenai berbagai kisah tentang tokoh utama. Potongan-potongan testimoni ini lalu dijadikan sebuah narasi. Alurnya maju mundur. Ada ibunya yang menceritakan latar belakang adopsi dan masa kecil Athena, ada pula yang menceritakan tahapan-tahapan proses berguru Athena. Setiap tokoh dalam buku ini, dalam satu atau lebih bagian, berfungsi sebagai si pencerita, kecuali Athena sendiri.
Sama menariknya dengan The Alchemist, dalam buku ini Coelho berhasil mengajak pembaca terpaku dengan misteri yang disajikan pewawancara misterius sekaligus mengajak pembaca menyelami penelusuran spiritual yang dipilih oleh tokoh utamanya. Termasuk agama-agama bumi dengan upacara gaya penyembahan berhala untuk menuju keadaan trans.
Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 19 Apr 2009
No comments:
Post a Comment