• Judul: Syair Panjang Aceh (Syahie Panjang Aceh)
• Penulis: Sunardian Wirodono
• Penerbit: DIVA Press, Yogyakarta, 2009
• Tebal: 416 halaman
SEBELUM pemberontakan Aceh Merdeka meletus pada 1976, di Medan sudah masyhur dua lelucon tentang seorang Aceh yang pergi tamasya untuk pertama sekali ke kota itu.
Kata yang punya cerita, si tokoh Aceh tak lupa membawa dua rencong untuk melindungi diri. Medan asing sekali dan jangan lupa Medan adalah kota keras. Tetapi, malang benar, dua rencong di pinggangnya itu tak kuasa melindungi dompetnya dari pencopet.
Lelucon di atas kemudian bertaut dengan lelucon lain, ketika orang Aceh hendak menonton bioskop. Saat orang Aceh itu menyerahkan karcis ke tangan petugas, dia tak habis pikir kenapa tiketnya dirobek? Kembali lagi dia ke loket. Mungkin sudah untuk kesekian kali karcis dirobek. Baru ketika herannya tumpas dan dia bertanya, penjelasan pun didapat, tetapi sial sekali film yang hendak dia tonton sudah selesai….
Pesan dari dua lelucon di atas cukup jelas, yaitu Medan sebagai salah satu kota niaga paling penting di Indonesia dan disulap Orde Baru sebagai pusat kemajuan di Pulau Sumatera, pernah jauh sekali dari Aceh, asing dan tak dikenali sehingga kerap membuat pengunjung dari Aceh takjub. Atau bisa juga kita lihat dari sudut lebih ekstrem, pandangan peninggalan Hindia Belanda awal abad ke-19: tak banyak yang diketahui orang luar tentang Aceh dan orang-orangnya, kecuali bayangan samar tentang kawasan penuh rawa yang dihuni tukang tenung dan perompak. Mereka kolot, tak bisa dipercaya serta fanatik, dengan demikian terbelakang.
Pandangan ini kemudian menjadi salah satu dalih etis bagi Hindia Belanda menyeret Aceh agar lebih dekat dengan peradaban lewat perang yang mahal dan melelahkan.
Namun, perang 40 tahun itu tak membuat Aceh menjadi lebih dekat dengan Hindia. Setidaknya Snouck Hurgronje percaya, para penghafal nahu dipercayai orang-orang Aceh dapat berbicara dengan pepohonan adalah bukti betapa muskilnya sekadar membujuk orang Aceh merengkuh peradaban dan meninggalkan ilmu gaib warisan nenek moyangnya.
Perlu kehati-hatian
Setelah Indonesia berdiri dan Aceh berada di dalamnya, apakah Aceh menjadi lebih terang untuk dilihat dan diketahui dari sejumlah sudut yang lain?
Dalam novel ini—romantika kehidupan dan pengalaman Fikri, gerilyawan muda GAM yang kerap terlibat dalam perdebatan fundamental dan ideologis kenapa Aceh menuntut merdeka baik dengan dirinya maupun sesama anggota GAM atau kadang saat mengalami halusinasi didatangi Cut Nyak Dhien menjelang ditandatanganinya perjanjian damai antara GAM dan Indonesia—terasa sekali usaha menembus kepekatan itu. Setidaknya saya menemukan ada dua cara yang ditempuh penulis buku.
Pertama, kerja keras penulis dapat kita lihat dari pemberian catatan kaki untuk penerjemahan bahasa Aceh ke Indonesia serta penjelasan istilah dan kutipan, daftar rujukan, dan foto tentang Aceh masa silam. Itu ditambah penegasan penulis dalam pengantar: dalam ranah kreatif, saya kira tidak menjadi persoalan ketika seorang Sunda melahirkan karya novel mengenai mitos dan tradisi Papua (hal 12).
Penulis novel adalah orang Yogyakarta. Saya setuju dengan penandasan itu, tetapi apa boleh buat pada lead, halaman dan frasa pertama saya langsung berjumpa dengan kesalahpahaman etnografi. Sebuah syair seudati: alaikom salam adue’ puteh di/ Saleum gatabri mameh lon rasa/ Sijuk ban ie lam pucok on, dijadikan lead untuk prolog. Dan frasanya sebagai berikut: Fikri kaget terbangun oleh suara didong yang mengiang-ngiang di telinganya (hal 15)—maksudnya adalah oleh syair seudati di atas.
Saya tidak akan peduli apabila alih aksara bahasa Aceh itu ke dalam bahasa Indonesia tidak terlalu tepat, sama halnya saya akan mengabaikan kalau penulis di dalam catatan kakinya menyebut didong adalah salah satu syair Aceh—dan memang kedua ketidaktepatan itu yang terjadi. Masalahnya, bahasa Aceh berbeda dengan bahasa Gayo.
Sebuah teks, sekalipun dulunya adalah risalah propaganda yang penuh kebencian, kebohongan, atau kabar palsu untuk mengecoh persepsi musuh, di masa depan teks tersebut dibenarkan untuk dilihat sebagai arsip sejarah. Hanya kehatian-hatian dan ketelitian penafsirlah yang dapat menyelamatkannya dari kesimpulan.
Penulis tampaknya tidak ada pilihan lain sebab Aceh terlalu gelap dan jauh. Maka, penulis mencoba membingkai novel ini dengan informasi sejarah di Aceh beserta tokoh-tokohnya. Dengan melekatkan senarai informasi tersebut dengan baik pada sekujur pikiran tokoh-tokoh di dalam novel ini bisa dilihat sebagai usaha kedua bagi penulis untuk menembus kegelapan Aceh. Juga atas kegelapan yang menudungi riwayat Muzzakir Manaf.
Dulu Tengku Muzzakir Manaf adalah bekas Panglima Tinggi Angkatan Gerakan Aceh Merdeka (AGAM). Kini dia memimpin Partai Aceh. Tidak banyak yang saya ketahui tentang dirinya kecuali secara umum Manaf salah seorang dari generasi Libya terpuji serta tidak pernah mengalami pembuangan politik di Eropa. Sementara dalam novel ini Muzzakir Manaf sebagai panglima tinggi AGAM diceritakan sempat mengasingkan diri ke Swedia (hal 75).
Lalu apakah keberadaan Manaf sejauh yang saya ketahui menjadi lebih penting daripada informasi terbaru yang saya dapat dalam novel ini? Sebab, dalam masa perang yang penuh pengacauan informasi dan propaganda bisa saja informasi yang saya terima tidak sepenuhnya tepat, mungkin saja Manaf memang tinggal di Eropa, dan kabar yang saya ketahui tentang dia yang pernah mengendalikan ribuan tentara AGAM di hutan Aceh adalah bagian dari propaganda tentang dirinya dan gerakannya. Dan, bukankah yang sedang kita hadapi adalah novel? Dan, novel adalah fiksi, sementara semua fakta baik tentang tokoh maupun latar tempat di dalam karya fiksi kalis dari anggapan apakah memang benar adanya atau beradanya. Mungkin itu sebabnya untuk mencegah betapa berbahayanya informasi yang dikutip dari propaganda perang pada mukadimah novel ini penulis sudah menjelaskan hal itu: sesungguhnya, meski berdasarkan fakta-fakta, cerita ini adalah fiksi belaka (hal 9).
Terhadap sejumlah informasi sejarah dan etnografi ini barangkali yang membuat Nano Riantiarno pada endorsement buku menyebut, buku dipersiapkan dengan observasi sangat detail. Tetapi, tak ayal observasi sangat detail (tetapi belum tentu cermat) ini menjadi beban bagi tokoh-tokoh novel.
Tokoh utama Fikri, misalnya, tidak hidup dengan pikirannya, melainkan dihidupi seluruh informasi sejarah yang bersinggungan dengan Aceh. Rujukan sejarah, baik yang dipikirkan Fikri maupun yang dia terima dari tuturan orang kedua (tentu yang lebih tua) yang kemudian disanggah atau dia benarkan, bahkan membuat Fikri tidak berdaya mematikan televisi. Padahal, di dalam deskripsi jelas disebutkan berulang-ulang, suara TV sangat cerewet (hal 20, 36, 37 dan 39). Barangkali hal ini bukan masalah bagi Fikri yang beruntung didatangi arwah Cut Nyak Dhien, seperti halnya laku sufi yang lazim kejatuhan ilham di tengah riuh-rendahnya suasana pasar.
Jadi, terhadap tokoh yang tidak mampu membunuh bunyi yang mengganggu gendang telinganya menjadi sangat sulit memberi alasan kepada dirinya tentang kenapa dia bisa terlibat dalam perang yang kejam, tetapi sebaliknya dia dapat menyanggah ayahnya dengan tangkas waktu mereka berdebat tentang faedah apa yang dapat dipetik dari perang yang lama.
* Azhari, Pedagang Buku di Toko Buku Dokarim Banda Aceh
Sumber: Kompas, Minggu, 26 April 2009
No comments:
Post a Comment