Sunday, April 05, 2009

Wacana: Teks, Pembaca, Interpretasi

-- Bandung Mawardi*

PEMIKIRAN Roland Barthes dalam The Death of the Author (1968) mengandung implikasi bahwa pembaca menemukan otoritas besar memainkan interpretasi dalam membaca atau mencari-merumuskan otonomi pembaca tanpa beban hantu pengarang. Otoritas pembaca dengan kematian pengarang itu memberi risiko atas mekanisme dan parameter kesahihan interpretasi. Risiko membaca terkadang menentukan nasib teks sastra dalam konteks eksistensi dan esensi.

Provokasi keras Roland Barthes adalah ikhtiar mengembalikan posisi tulisan untuk masa depan dengan membalik mitos: Kelahiran pembaca harus diimbangi kematian pengarang.

A. Teeuw dalam buku Membaca dan Menilai Sastra (1983), mengisahkan kesalahan-kesalahan pembaca menafsirkan puisi-puisi Indonesia modern karena kelemahan dalam konvensi-konvensi membaca, yakni pengetahuan sastra, bahasa, dan budaya. A. Teeuw menjatuhkan vonis, tafsiran-tafsiran para pembaca (mahasiswa dan dosen) atas puisi-puisi Indonesia modern kurang atau tidak sahih. Vonis itu mengacu pada parameter konvensi interpretasi dan otoritas pembaca.

Teori besar untuk menentukan nasib pembaca memiliki nama sebagai resepsi sastra (rezeptionaesthetik atau asthetic of reception). Di sini, pembaca memberikan interpretasi atau pemaknaan atas suatu teks sastra. Pengertian itu menjadi kompleks ketika ada konvensi-konvensi tertentu yang berlaku dalam jalinan hubungan penulis, teks, dan pembaca.

Hans Robert Jausz dan Wolfgang Iser menjadi pemikir mumpuni mengenai nasib pembaca dalam teori resepsi pembaca. Jausz identik dengan rumusan horison penerimaan oleh pembaca (horison of expetation), dengan taktik keterlibatan atau partisipasi aktif membaca dengan pamrih teks sastra jadi hidup dan membuka sekian kemungkinan sistem pemaknaan.

Iser merumuskan keterlibatan aktif dengan pemunculan kesan-kesan tertentu dalam membaca teks sastra memungkinan ada interaksi hakikat secara relasional antara teks dalam dan teks luar, mengacu pada strategi membaca hermeneutik. Membaca menjadi laku untuk konkretisasi makna teks sastra.

Nasib pembaca memang rentan dengan kesalahan atau dosa mengacu pada konvensi pola hubungan penulis, teks, pembaca pada suatu konteks ruang-waktu tertentu. Pembaca dalam pengertian pragmatis menentukan nasib sesuai dengan otoritas dan iman tertentu. Penentuan nasib itu menghadirkan pembedaan dengan label pembaca mumpuni, pembaca awam, pembaca kritis, pembaca naif, pembaca fanatik, pembaca ideal, atau pembaca sesat.

Salah atau dosa bisa menghantui pembaca ketika membaca dan menilai teks sastra. Hantu itu mungkin untuk ditakuti atau justru dimatikan dengan argumentasi bahwa pembaca memiliki hak atau kebebasan interpretasi. Otoritas pembaca menjadi penting dalam mekanisme produksi makna suatu teks sastra. Membaca menjadi laku dengan pamrih produksi makna, dengan pengertian menghidupkan teks sastra dan realisasi eksistensi pembaca. Salah atau dosa dalam membaca dan produksi makna itu risiko.

***

Wacana pembaca memang secara eksplisit belum menjadi perhatian besar dalam kesusastraan Indonesia modern. Fakta itu mungkin menjadi sambungan dari tradisi interpretasi klise dan pewarisan makna secara ketat dan hierarki. Fakta itu memang identik dengan sastra tradisi lalu menjadi prototipe dalam sastra modern.

Sistem interpretasi dan produksi makna dalam sastra tradisi cenderung mengacu pada pusat dan konvensi-konvensi ketat. Pembaca cenderung menempati peran sebagai "pembaca turut" terhadap pemilik otoritas interpretatif pada kelompok "pembaca atas" sesuai dengan kapasitas intelektual, keturunan, kesaktian, atau kharisma. Makna-makna dalam teks sastra tradisi dalam mekanisme itu tentu cenderung memiliki sistem baku, tetap, dan tertutup.

Hasil dari kerja tukang kritik sastra menemukan pengesahan dan pembesaran dalam dunia pendidikan dan institusi sastra. Guru atau dosen cenderung mengimani interpretasi dari para tukang kritik sastra untuk jadi pijakan atau referensi babon yang sahih untuk diajarkan pada murid atau mahasiswa. Mekanisme itu membuat otonomi pembaca dalam kondisi gawat.

Kesusastraan Indonesia modern telanjur kurang memberi perhatian untuk memerkarakan nasib pembaca. Pembaca terus mengalami nasib buruk tanpa ada janji sorga atas ibadah membaca karena tuduhan dan vonis. Nasib buruk pembaca itu pantas untuk menjadi pertanyaan ulang dalam keramaian wacana sastra mutakhir. Begitu.

* Bandung Mawardi, Peneliti Kabut Institut (Solo)

Sumber: Lampung Post, Minggu, 5 April 2009

No comments: