-- Munawir Aziz*
KORUPSI menjadi polemik dan bencana dan ruang kehidupan bangsa ini. Menghadapi polemik ini, sastra bertugas memberi wawasan segar dan pencerahan kreatif kepada publik luas, agar menghindar dari jerat korupsi. Virus korupsi seolah menggerakkan energi iblis untuk melahirkan setan-setan baru yang menghancurkan negara dan tatanan kehidupan. Masa depan bangsa ini dihimpit suramnya badai korupsi. Di tengah badai, sastra bertugas menangkis korupsi dengan menginspirasi pembaca sebanyak-banyaknya agar menghindar dari terjangan korupsi.
Karya sastra yang lahir untuk mencerdaskan bangsa ini, hendaknya menempatkan antikorupsi sebagai wacana yang terus dikampanyekan. Tanggung jawab sosial sastrawan adalah mengupayakan perbaikan hidup dengan menjelaskan kondisi kritis yang merenggut masa depan bangsa ini. Maka, karya sastra yang menggambarkan perlawanan terhadap tradisi korupsi patut didukung dengan pemikiran dan gerakan kongkret.
Melawan korupsi berarti menyiapkan mental dan diri menggempur kemapanan birokrasi. Kritik sosial semacam ini, akan meletup dalam diri sastrawan yang tak mau dikekang kejumudan. Sastrawan dan seniman yang menghamba pada kemapanan birokrasi hanya akan menghasilkan dengan nafas pendek. Kampanye antikorupsi dalam karya sastra mengharuskan konsistensi dalam pikiran dan tindakan. Kampanye antikorupsi yang meletup akan menjadi perjuangan kreatif penuh risiko, namun menjadi panggilan hidup dan refleksi penting. Puisi antikorupsi merupakan jalan kreatif untuk mengutuk kebusukan birokrasi dan mengimpikan masa depan cerah bangsa ini.
Perjuangan kreatif inilah yang akan menjadikan nama penyair terekam dalam keabadian. Sebaliknya, ketika penyair hanya terdiam menghadapi badai krisis sosial, menjadi epigon, dan makelar sastra, maka karya yang lahir hanya akan singgah sejenak pada beranda sejarah, selanjutnya tenggelam dan diterpa arus tren baru yang lebih relevan. Penyair yang setia pada penciptaan puisi, berfungsi sebagai aktor yang mengendalikan lorong komunikasi dalam jengkal syairnya, dengan menampilkan nilai-nilai baru (new values) yang bermanfaat bagi masa depan sastra negeri ini. Untuk itu, penggalian terhadap tema-tema sosial hendaknya melalui filter kontemplasi dari ruang batin.
Sudah selayaknya lorong puisi negeri ini memunculkan karya kreatif yang tak tunduk pada kanon sastra yang lazim diikuti, atau setelah ditahbiskan sebagai "selera zaman". Perjuangan menemukan celah kreatif yang tak sekadar berbeda, tetapi menyuguhkan jalan dan bentuk baru dalam khazanah sastra negeri ini.
Jalan sunyi yang ditempuh penyair, merupakan perjuangan kemanusiaan dengan sayap kreatif luar biasa. Penyair yang setia menampilkan kritik sosial dan jejak kreatif dalam derap sajaknya, akan tercatat dalam naskah sejarah kesastraan. Hal inilah, yang menjadikan Widji Thukul—penyair dan aktivis sosial—dari Solo, sajaknya menjadi "lagu wajib" bagi aktivis mahasiswa, hingga detik ini. Widji THukul melancarkan sajak-sajak kritik sosial, hingga menjadikan dirinya "lenyap" tak berbekas, ketika hegemoni Orde Baru masih menancap di bumi pertiwi. Dengan demikian, bukan dentuman karya yang menjadi "air bah" dalam panggung sastra, akan tetapi subtansi dan kecemerlangan karya, yang akhirnya memberikan kontribusi penting bagi perkembangan kehidupan. Pada konteks inilah, ucapan Heidegger (dalam Urterwegs zur Sprache) bahwa "setiap penyair besar hanya menghasilkan sebuah syair" menjadi kalimat penting.
Wacana korupsi
Dalam letupan puisi di panggung sastra negeri ini, wacana antikorupsi yang sublim dalam deretan sajak penyair disuarakan secara lantang. Adalah F. Rahardi, penyair dan wartawan, menulis kumpulan sajak "Catatan Harian sang Koruptor" (1985). Dalam buku ini, F. Rahardi merangkum 48 sajak yang penuh dengan kritik sosial dan refleksi realitas kehidupan.
Sajak F. Rahardi sarat dengan kritik sosial terhadap keserakahan, wajah pemerintah, paradoks keadilan, dan perilaku koruptor yang melukai hati rakyat. Sebagaimana dalam puisi "Tentang Tikus" ini; Tikus tikus jorok itu melubangi kebun rakyat/ dan mencuri cek lembar demi lembar/ Dan menumpuknya dalam gudang 75 cm/ di bawah permukaan tanah. Kukerahkan herder/ kusiapkan sekop/ kubongkar dan kutumpas tikus-tikus yang bodoh dan memalukan. Bagiku,/ cek, bini muda, mobil/gedung atau karet KB/semuanya bernyawa dan punya kaki/ mereka tak pernah kukejar/ kucari-cari atau kucuri/ mereka semua datang sendiri/ tiap hari sebagai upeti. Sajak ini, walaupun ditulis puluhan tahun lalu, akan tetapi masih relevan dengan konteks sosial politik yang terjadi saat ini. Korupsi menjadi hantu yang membayangi kehidupan dan merasuki tubuh pejabat negeri ini, hingga mencederai amanat rakyat.
Suara hati F. Rahardi menjadi penanda (sign) betapa virus korupsi begitu parah merasuk dalam kehidupan bangsa ini. Dalam sajaknya yang lain, F. Rahardi merefleksikan situasi dalam ruang pengadilan yang penuh dengan muslihat. Seperti petikan sajak "Pledoi di Meja Hijau": Tuan Hakim Ketua dan Anggota/ Saudara Jaksa/ Rekan Saya Pembela/ Dan Hadirin semua. terlebih dahulu/ kenalkan: aku ini hewan kurban/ —bukan koruptor—/ seperti tuduhan jaksa/ atau pers Indonesia. Penyair F. Rahardi menuliskan perenungannya akan kondisi hukum negeri ini, dengan perspektifnya sebagai penyair, sekaligus wartawan yang setiap hari bergelut dengan problem politik dan hukum. Selanjutnya, Korupsi itu/ kalau toh dianggap ada/ mustahil bisa dibasmi dari muka bumi/ termasuk negeri ini/ tapi dalam hal ini upaya saudara jaksa/ bagaimanapun juga sangat saya hargai. Ungkapan ini menjadi sentilan kepada lembaga hukum negeri ini, ketika menghadapi kasus korupsi sekan berbelit-belit. Selain itu, sajak ini mengungkapkan paradoks keadilan di negeri zamrud khatulistiwa.
Di ranah hukum, koruptor yang merugikan negara dalam jumlah besar, sekan bebas mempermainkan, sedangkan warga kecil dengan balutan kemiskinan menjadi pesakitan ketika tertimpa kasus hukum. Selain F. Rahardi, belakangan ini muncul ratusan penyair yang menggemakan kritik antikorupsi dalam deretan sajak.
Riuhnya kritik sosial dalam panggung sastra, semoga menjadi inspirasi bagi berbagai elemen bangsa untuk memperbaiki negeri ini. Kritik sosial yang menguar dari lubuk sastra, akan menjadi ekpresi kehidupan yang sesungguhnya. Hal ini senada dengan analisis Nyoman Kutha Ratna (2005) bahwa kaitan antara sistem estetika dan sistem sosial tampak apabila karya sastra dilihat melalui dimensi-dimensi sosiokulturalnya. Artinya, karya sastra dianggap melalui manifestasi intensi-intensi struktur sosial tertentu, baik sebagai afirmasi (pengakuan), restorasi (pengembalian pada semula), dan inovasi (pembaruan), maupun negasi (pengingkaran). Melalui medium bahasa, karya sastra menampilkan ekspresi kolektivitas tertentu, sebagai pandangan dunia. Hal ini menjadi spirit penyajian refleksi melalui lorong sastra.
Kampanye antikorupsi dan kritik sosial lain yang menggema dalam karya sastra, diharapkan menjadi inspirasi terbukanya ruang kesadaran elite politik negeri ini untuk memperbaiki kinerja dan mengayomi rakyat. Dengan demikian, cita-cita negara kesejahteraan (welfare state) akan tergapai. Dan lewat panggung sastra, spirit inilah yang terus dikobarkan.***
* Munawir Aziz, Koordinator Divisi Riset Sampak "Gus Uran" dan peneliti di Cepdes, Jakarta.
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 5 April 2009
No comments:
Post a Comment