-- Suryadi*
• Judul: ”Muslims and Matriarchs: Cultural Resilience in Indonesia Through Jihad and Colonialism” • Penulis: Jeffrey Hadler • Penerbit: Cornell University Press, Ithaca, London, 2008 • Tebal: xii + 211 halaman. Buku ”Muslims and Matriarchs: Cultural Resilience in Indonesia Through Jihad and Colonialism” adalah publikasi terbaru tentang sejarah lokal Indonesia, tepatnya mengenai masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat.
Tilikan akademis Jeffrey tentang masyarakat Minangkabau baru benar-benar dapat diketahui publik 15 tahun kemudian ketika pada tahun 2000 ia berhasil mempertahankan disertasinya ”Places Like Home: Islam, Matriliny and the History of Family in Minangkabau” di Cornell University. Disertasi tersebut, setelah direvisi, akhirnya diterbitkan dalam bentuk buku yang kita bicarakan ini.
Dewasa ini mayoritas umat manusia menganut sistem patriarkat yang menempatkan kekuasaan di tangan laki-laki dan menarik hubungan keturunan dari garis bapak.
Ini berbeda dari temuan arkeologis dan sumber tradisi lisan kuno yang masyarakatnya kebanyakan menganut sistem matriarkat (nasab ibu) yang menempatkan kekuasaan di tangan kaum perempuan dan menarik hubungan keturunan dari garis ibu.
Kini satu-satunya kelompok masyarakat matriarkal beragama Islam terbesar di dunia yang masih tersisa adalah etnis Minangkabau.
Seperti para peneliti lain, di antaranya PE de Josselin de Jong, Franz von Benda-Beckmann, Christine Dobbin, Elizabeth E Graves, Joel S Kahn, Tsuyoshi Kato, Jane A Drakard, Evelyn Blackwood, Joke van Reenen, Peggy Reeves Sanday, dan Marcell Vellinga, Jeffrey juga sangat tertarik kepada sistem kekeluargaan (kinship) masyarakat Minangkabau yang unik dan khas: mereka menganut sistem matriarkat sekaligus memeluk agama Islam yang patriarkal.
Banyak kajian ilmiah yang telah dibuat mengenai dampak sosial dan psikologis penggabungan kedua sistem yang memiliki prinsip dasar bertentangan itu dalam kebudayaan Minangkabau. HHB Saanin Dt Tan Pariaman dalam Kepribadian Orang Minangkabau dan Psikopatologinya (1980) menyebut istilah ”keduaan” (split personality) untuk menggambarkan kepribadian Minangkabau yang menurut dia potensial menimbulkan penyakit jiwa tertentu, mulai dari rasa cemas sampai skizofrenia akibat berbagai paradoks yang dihadapi dan dipraktikkan orang Minangkabau. Mochtar Naim (1979) menunjukkan, dialektika antara sistem matriarkat dan Islam menjadi salah satu faktor pendorong munculnya budaya merantau yang kuat di kalangan orang Minangkabau.
Jeffrey menganalisis bagaimana sistem matriarkat Minangkabau mampu melakukan resistensi terhadap serangan dua ideologi asing pada abad ke-19 dan ke-20: Islam dan kolonialisme (Belanda).
Di tempat lain di dunia, sistem matriarkat punah karena serbuan berbagai ideologi dari luar dan pernah diramalkan akan terjadi juga di Minangkabau. Ternyata, sebaliknyalah yang terjadi: sistem matriarkat Minangkabau mampu bertahan. Jeffrey bertanya, Why does matriarchy persists?—has been dodged by scores of researchers who have been lured to Minangkabau by the seeming paradox of a matrilineal Muslim society (hal 8).
Alih-alih melakukan studi kasus seperti dilakukan banyak peneliti lain (misalnya Kato 1982; Reenen 1996; dan Sanday 2002), Jeffrey menjawab pertanyaan di atas dengan membandingkan dinamika dan transformasi kebudayaan etnis Minangkabau dan masyarakat matriarkal lain yang juga pernah dikolonisasi Barat, khususnya Negeri Sembilan di Malaysia dan orang Kerala di India.
Konsep rumah dan keluarga
Jeffrey membongkar fakta di balik kolonialisme dan nasionalisme dengan memfokuskan pada tema kultural: perubahan konseptualisasi rumah (house) dan keluarga (family); gagasan modernitas yang berhubungan dengan budaya Minangkabau sendiri, agama Islam, dan kebudayaan Eropa; serta persaingan antara kekuasaan dan pendidikan.
Dia menggunakan banyak sumber lokal: surat kabar, majalah, buku pelajaran, novel, pamflet, dan tumpukan teks schoolschriften peninggalan mantan siswa Sekolah Radja di Fort de Kock (Bukittinggi) koleksi Universiteitsbibliotheek Leiden yang jarang dimanfaatkan peneliti lain.
Bab 1 (”Contention Unending”) membahas sejarah ringkas Perang Paderi (1803-1837), yaitu usaha panglima Paderi yang kontroversial Tuanku Imam Bonjol (TIB) menggantikan sistem matriarkat di Minangkabau dengan model masyarakat Islam yang ketat merujuk pada Al Quran dan hadis.
TIB berusaha mencari kompromi antara adat Minangkabau dan hukum Islam yang kemudian dikenal sebagai doktrin adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Keputusannya itu membentuk debat berterusan di Minangkabau sepanjang abad ke-19 dan ke-20. Belanda keluar sebagai pemenang dan menggabungkan Sumatera Barat ke dalam Hindia Belanda.
Bab 2-4 menguraikan perdebatan bentuk fisik rumah, konsep keluarga, dan pendidikan untuk anak-anak. Sepanjang abad ke-19 Minangkabau mengalami transformasi dari masyarakat agraris tradisional yang menempatkan perempuan sebagai pengontrol institusi rumah dan sawah (oleh karenanya mereka memiliki kekuasaan besar) ke masyarakat kolonial tempat negara partiarkal memberi otoritas kepada lelaki untuk berkuasa.
Pemerintahan kolonial memaksakan kekuasaan patriarkal kepada masyarakat Minangkabau. Perempuan Minangkabau dipaksa mengikuti tradisi yang sekarang justru digunakan menentang kuasa mereka sendiri, ”mengikat” mereka di rumah gadang, membatasi akses meraih berbagai peluang baru, dan membatasi ruang gerak mereka.
Bab 5 (”Intimate Contention”) menganalisis berbagai gagasan moral dan peran perempuan Minangkabau awal abad ke-20 ketika kata pergerakan menjadi tren dan partisipasi politik orang Minangkabau meluas di kancah lokal maupun nasional, tetapi sedikit konsensus yang diperoleh. Petisi wanita Koto Gadang untuk bebas memilih jodoh (Mei 1924) adalah contoh derasnya transformasi sosial di Sumatera Barat pada awal abad ke-20.
Bab 6 (”Earthquake”) dan Bab 7 (”Families in Motion”) membahas politisasi budaya Minangkabau dalam dekade 1910-an dan 1920-an, masa ketika kontroversi publik mengenai matriarkat, ideologi Islam reformis, dan gagasan mengenai kemajuan mewarnai dunia pergerakan dan masyarakat Minangkabau.
Perempuan Minangkabau pun terseret ke dalam gerakan yang disulut benturan ketiga ideologi itu. Mereka terjun ke dunia jurnalisme dan politik, berenggang dengan tradisi karena ikut ambil bagian dalam budaya migrasi kaum lelaki ke rantau, meninggalkan (dunia) rumah gadang yang menjadi simbol kuasa nasab ibu.
Dalam kesimpulan akhir (”Victorious Buffalo: Resilient Matriarchate”) Jeffrey menulis, konflik dan interaksi antara sistem matriarkat, Islam reformis, dan negara kolonial telah membuat elemen paling esensial dalam kebudayaan Minangkabau mengalami destabilisasi, menyebabkan orang Minangkabau merasa kampung halaman sendiri bukan lagi tempat ”aman”. Kontribusi yang tidak sepadan dibandingkan jumlah mereka yang kecil yang telah diberikan etnis Minangkabau kepada politik nasional Indonesia adalah akibat langsung destabilisasi itu (hal 180).
Pengalaman sejarah telah menempa hidup orang Minangkabau dalam dialektika kritis antara nilai adat, ide Islam reformis, dan gagasan pembaruan Barat. Berkaca pada konflik berdarah selama Perang Paderi dalam menghadapi ketiga ideologi yang bertentangan itu, masyarakat Minangkabau lebih sering menempuh jalur kompromi ketimbang memilih konflik berdarah lagi.
Dalam paragraf terakhir, Jeffrey menulis: ”The history of West Sumatran politics is of recurring defeat. But the story of Minangkabau culture is one of survival” (hal 180). Agaknya kata-kata Jeffrey itu tidaklah berlebihan.
* Suryadi, Dosen dan Peneliti pada Opleiding Talen en Culturen van Indonesië, Faculteit Geesteswetenschappen, Universiteit Leiden, Belanda
Sumber: Kompas, Minggu, 19 April 2009
No comments:
Post a Comment