Friday, April 17, 2009

Fokus: Hangat Suam-suam Kuku

-- Pudentia MPSS

SETELAH bekerja selama lebih dari enam bulan, Eminent Persons Group (EPG) Indonesia-Malaysia akhirnya menelurkan sejumlah rekomendasi bersama untuk kedua negara. Rekomendasi yang mencakup berbagai bidang tersebut sudah diserahkan kepada kedua kepala negara pada 17 Maret 2008 di Istana Negara, Jakarta.

Sejak dilantik oleh kedua kepala negara, Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Malaysia (ketika itu) Abdulah Ahmad Badawi, pada 8 Juli 2008 di Kuala Lumpur, EPG memang telah bersepakat mengidentifikasi permasalahan/isu yang mendasar dalam hubungan antarbangsa serumpun ini. Guna menyiapkan rekomendasi ini EPG mengadakan pertemuan satu bulan sekali, berselang-seling di kedua negara.

Tugas utama EPG dalam periode satu semester pertama memang untuk menghasilkan rekomendasi yang akan digunakan oleh pemerintah kedua negara. Tugas lain yang tak kalah penting adalah melakukan kajian dan penilaian terhadap: (1) isu-isu yang mengganggu hubungan Indonesia-Malaysia; (2) melakukan langkah-langkah untuk meningkatkan hubungan bilateral yang lebih erat dan saling menguntungkan kedua negara di segala bidang; (3) memperkuat kontak personal (people-to-people contact) di antara kedua negara; dan (4) membina kesepahaman serta saling pengertian di berbagai bidang dan lapisan masyarakat di antara kedua negara.

Untuk mempertajam beberapa isu dan merumuskan rekomendasi, EPG telah melakukan beberapa kali pertemuan, beberapa kali rapat kelompok kerja khusus. EPG Indonesia bahkan telah menggelar Focus Group Discussion (FGD) secara terbatas di bidang kebudayaan, tenaga kerja, dan ekonomi, yang melibatkan berbagai instansi terkait, akademisi, serta lembaga swadaya masyarakat. Fokus forum EPG adalah mengembangkan hubungan people-to-people, khususnya yang tidak atau belum ditangani secara formal oleh lembaga-lembaga pemerintah kedua negara.

Kontak personal

Peningkatan kontak personal dirasakan amat mendesak. Ini mengingat akar permasalahan yang ada khususnya melibatkan masyarakat kedua negara, bukan di tingkat formal. Secara umum, hubungan Indonesia-Malaysia cukup hangat, tidak memanas sampai ke arah konfrontasi misalnya. Akan tetapi, disadari bahwa hangatnya hubungan yang ada itu hanya di tingkat formal, seperti hubungan bilateral antarkedua negara atau hubungan antarkepala negara, antarmenteri, antardubes, antarakademisi, dan antarbudayawan.

Dapat dikatakan, kehangatan tersebut bersifat relatif, macam suam-suam kuku: sebentar saja hangat, tetapi mudah menjadi dingin kembali. Sulit membayangkan pada masa kini, khususnya pada generasi muda, terjadi hubungan yang mesra ibarat saudara dan tetangga dekat.

”Budak-budak” Malaysia dan anak-anak Indonesia tumbuh dalam alam berbeda dan dengan peristiwa sejarah yang berlainan dengan generasi sebelumnya. Khususnya akhir- akhir ini ketika isu klaim budaya, TKI, masalah garis batas, dan pencitraan negatif yang dilancarkan kedua pihak, hubungan yang suam-suam kuku tersebut makin tampak.

Mudah sekali pihak Indonesia mengatakan Malaysia identik dengan Malingsia dan sebagai OKB (orang kaya baru) yang dinilai sangat arogan. Sebaliknya, pihak Malaysia—khususnya golongan muda yang sejak usia dini pengenalannya tentang Indonesia sebatas pembantu rumah tangga atau sebatas pekerja yang tidak berpendidikan—sudah terbiasa menyebut Indonesia sebagai Indon yang suka membuat keonaran. Masa-masa ketika Indonesia mengirimkan tenaga guru dan dosen untuk bersama- sama menguatkan pendidikan di Malaysia, ketika ”Titian Muhibah” dan buku-buku Indonesia dibaca secara luas di Malaysia sudah tidak dikenal lagi dalam ingatan anak muda Malaysia.

Umumnya sangat sulit menerima kenyataan bahwa sesungguhnya permasalahan tersebut bukan hanya permasalahan masing-masing negara, tetapi merupakan permasalahan bersama. Sikap sulit menghargai sesuatu yang bukan nominal, pada sesuatu yang bersifat humanis, bukan hanya masalah Indonesia pada Malaysia, tetapi juga merupakan masalah dalam negeri Malaysia, khususnya mengenai perkembangan generasi mudanya.

Begitu pun dengan Indonesia. Masalah klaim budaya, misalnya, sesungguhnya bukan hanya masalah kita pada Malaysia, tetapi juga masalah dalam negeri Indonesia. Patut direnungkan bersama, sejauh mana kita sudah memahami dengan jelas bila dan pada situasi seperti apa gugatan mengenai klaim budaya dapat diajukan berdasarkan pemahaman pengelolaan warisan budaya bersama?

Sesungguhnya, apa yang disebut kesenjangan generasi, pencitraan negatif akibat perbedaan persepsi, masalah tenaga kerja, peta geopolitik dua negara yang seharusnya jelas, penghargaan pada nilai-nilai kemanusiaan dan kultural, serta pengelolaan warisan budaya merupakan permasalahan bersama kedua bangsa dalam versi yang berbeda. Begitu pun perbedaan konsep mengenai identitas diri, lokalitas, kebangsaan, perbedaan tingkat sosial ekonomi saat ini menimbulkan perbedaan perilaku, sikap, dan konsep dalam menangani dan atau mengelola warisan budaya masing-masing.

Perbedaan tersebut sering menimbulkan ”salah paham” di kalangan masyarakat dan media massa sehingga muncul ”ketegangan” di antara kedua bangsa, yang kemudian meluas ke ranah lainnya, termasuk TKI, imigrasi, asap, dan garis batas. Isu-isu tersebut dan pembahasan mengenai peningkatan kerja sama dalam bidang pendidikan, kepemudaan, turisme, dan ekonomi dimasukkan dalam rekomendasi yang diserahkan bersamaan dengan acara Pertemuan Tahunan Indonesia-Malaysia pada 17 Maret 2009 di Istana Negara, Jakarta.

Strategi kebudayaan

Sehubungan dengan rekomendasi yang diajukan, dalam menjadikan hubungan Indonesia Malaysia benar-benar hangat dan mesra perlu dilakukan strategi kebudayaan. Strategi lainnya tentu saja penting, tetapi dalam hal hubungan people-to-people, strategi itu tidak terlalu mencapai sasaran, khususnya dalam waktu sesegera mungkin.

Strategi kebudayaan terbukti berhasil bila kita melihat kenyataan hubungan masyarakat Melayu di Riau, Kepulauan Riau, dan Medan, misalnya, dengan Malaysia. Bukankah ini juga cerminan hubungan Indonesia dalam skala terbatas dengan Malaysia yang amat mesra dan selalu hangat?

Bahkan Al azhar, budayawan dari Pekanbaru, Riau, menyebutkan, ”Selat Malaka ibarat parit saja, yang memisahkan ’budak-budak’ (anak-anak) kami bermain-main ke seberang.” Wali Kota Tanjung Pinang Suryatati Manan mengatakan hal serupa, terutama ketika menengarai perdagangan antarpenduduk di dua wilayah budaya yang sama, tapi kini berbeda secara politik. Strategi kebudayaan yang juga berhasil adalah seperti yang dilakukan oleh Pusat Bahasa, Indonesia, dan Dewan Bahasa dan Pustaka, Malaysia, dengan membuat Majelis Bahasa Brunei Darussalam-Indonesia-Malaysia (Mabbim) sejak 1970-an.

Strategi kebudayaan dengan melakukan dialog antarpakar juga yang akhirnya dipilih EPG untuk mengawali program nyata yang dapat memberi manfaat dalam meningkatkan hubungan kedua bangsa. Dialog antarpakar yang diadakan setelah penyerahan rekomendasi kepada pemerintah memfokuskan perhatian pada usaha merajut kembali benang merah kesejarahan antarbangsa dari berbagai aspek: migrasi dan kontak budaya, sejarah dan diplomasi, seni pentas dan tradisi, bahasa dan sastra, serta pengelolaan budaya dan media.

Dialog kesejarahan ini diharapkan akan dilanjutkan dengan program nyata, seperti dialog pengelolaan warisan budaya bersama dan dialog budaya yang lebih luas, dialog antartokoh media, penumbuhan pusat riset bersama, penumbuhan lembaga beasiswa antarbangsa, perancangan materi untuk bahan pengajaran atau informasi pengenalan budaya dua bangsa, pembuatan film dan acara lain bersama, peningkatan dan pengembangan ekoturisme dan wisata sejarah, dan lain kegiatan yang dirancang dari pemahaman bersama akan kondisi dan situasi masing-masing untuk menumbuhkan saling penghargaan antarbangsa.

* Pudentia MPSS, Anggota EPG Indonesia-Malaysia, Dosen Universitas Indonesia

Sumber: Kompas, Jumat, 17 April 2009

No comments: