ISTILAH Indon yang dilekatkan oleh orang-orang dari Tanah Semenanjung untuk menyebut segala yang berbau Indonesia agaknya akan tetap jadi batu sandungan hubungan antardua negara bertetangga ini. Dalam dua kesempatan dialog terbuka Indonesia-Malaysia di Jakarta, beberapa waktu lalu, kecenderungan itu tak bisa ditampik.
Ketidakpuasan Indonesia, yang disuarakan sejumlah narasumber dan peserta dialog, terutama karena secara antropologis-sosiologis istilah Indon muncul sebagai bentuk pelecehan. Meski coba diredam dengan argumentasi bahwa Indon hanya semacam sebutan, sekadar bentuk singkat alias kependekan dari pengucapan nama Indonesia, kesan dan persepsi yang mencuat tetap saja istilah tersebut bernuansa diskriminatif.
Sampai-sampai muncul pertanyaan: apa sulitnya bagi orang Malaysia mengucapkan kata Indonesia secara lengkap, dalam satu tarikan napas, tanpa harus disingkat jadi Indon yang terkesan merendahkan itu? Kalau Indon benar-benar sekadar sebutan, mengapa untuk orang-orang Indonesia terdidik, mereka yang ”memberi” ilmu kepada Malaysia, tidak dipanggil Indon, tetapi dikatakan orang Indonesia?
Adapun para pembesar Malaysia ”berdarah” Indonesia, mereka bukan saja tidak lagi disebut sebagai Indon, bahkan kini semata-mata dilihat hanya sebagai orang Malaysia. Asal usul ”keindonan” mereka sudah dilupakan.
Sebutlah seperti Tan Sri Ismail Hussein, tokoh cendekia asal Aceh yang sangat terkenal di Negeri Jiran itu. Begitu pula sosok Sahnon Ahmad—pengarang ternama yang ditasbihkan sebagai Sastrawan Negara—asal Sumatera Utara yang juga tak pernah disebut Indon. Apatah lagi tokoh sekaliber Najib Razak (PM Malaysia saat ini) yang bernenek-moyangkan orang Bugis-Makassar dan beristrikan wanita bergaris keturunan Minang.
Apa boleh buat, istilah Indon—diakui atau tidak oleh pemerintahan di kedua negara—kini telah menjadi isu sensitif dalam hubungan antarbangsa serumpun ini. Sepanjang istilah ini masih ada dan subur berbiak, hubungan kesetaraan antarkedua bangsa ikut terganggu.
Faktor kelas
Mengapa Indon? Sejauh ini memang belum ada penjelasan berbasis akademis oleh mereka yang mengkaji tentang alam Melayu. Pembelaan dari pihak Malaysia hanya menyebutkan, ”Indon itu cuma singkatan, seperti halnya Thai untuk orang Thailand atau Viet untuk orang Vietnam.” Benarkah?
Al Azhar dari Pusat Penelitian Universitas Riau cuma bisa berbagi pengalaman empirik. Menurut dia, paling tidak secara antropologis istilah Indon di kalangan orang-orang Malaysia dicirikan sebagai orang-orang asal Indonesia yang tinggal di stinggan, yakni istilah untuk mereka yang berada di tempat binaan darurat atau rumah-rumah darurat. Indon juga diidentikkan dengan mereka yang bekerja sebagai buruh kasar—termasuk pembantu rumah tangga—dan di perkebunan.
”Lebih parah lagi, dalam benak kebanyakan orang Malaysia, Indon itu, ya, mereka yang suka bikin ribut dan berwatak ganas. Kalau ada perampokan, Indon-lah itu. Jadi, Indon itu memang sebuah istilah, tetapi istilah yang menyakitkan,” kata Al Azhar, pekerja budaya Riau yang kerap diundang sebagai pensyarah di berbagai pertemuan di Malaysia.
Khadidjah binti Md Khalid dari Institut Antarbangsa Polisi Awam dan Pengurusan Universiti Malaya melihat, munculnya istilah Indon tidak terlepas dari faktor kelas sosial. Di kalangan masyarakat menengah Malaysia, sehari-hari mereka ini memang banyak berhubungan dengan orang-orang Indonesia dari kelas bawah. Taruhlah seperti pembantu rumah tangga atau buruh konstruksi.
Interaksi atasan-bawahan inilah yang menimbulkan kesenjangan. Di sini persoalannya bukan lagi isu serumpun atau tidak, tetapi lebih sebagai relasi antara majikan dan pekerja.
”Kalau ibu-bapak dari kalangan kelas menengah ini menyebut Indon kepada pembantunya, anak-anak mereka pun ikut. Ini yang sangat saya khawatirkan. Anak-anak itu nantinya hanya tahu apa yang ada di sekitar mereka, lalu mereka lupa adanya kalangan profesional Indonesia,” kata Khadidjah.
Kekhawatiran Khadidjah sangat beralasan. Hasil tinjauan awal yang dapat ia simpulkan, saat ini umumnya kalangan generasi muda Malaysia tidak berminat untuk mengenali satu sama lain dalam kaitan hubungan antarkedua bangsa. Apatah lagi soal sejarah masa silam di kedua wilayah serumpun ini, yang sepertinya sudah menguap dan dianggap barang lapuk.
”Sekarang, di Malaysia sejarah dianggap tidak penting. Orang Melayu (kini) sangat materialistik, uang segala-galanya,” kata Khoo Kim Kay, anggota EPG Malaysia yang tampil pada kesempatan berbeda.
Otokritik Khoo dan Khadidjah patut dihargai. Akan tetapi, di sisi lain, persoalan serupa sesungguhnya menimpa kalangan di Indonesia. Sikap emosional dalam menyikapi setiap persoalan, yang dalam banyak kasus kerap tidak disertai pemahaman yang benar dan menyeluruh atas sebuah persoalan, malah ikut menyulut sikap permusuhan.
Dalam kasus warisan budaya bersama, misalnya, upaya Malaysia ikut menumbuhsuburkan (baca: sejauh tidak mengklaim) ekspresi budaya yang ada dan hidup di kedua negara disalahkan. Padahal, kita sebagai anak bangsa justru tidak merawatnya.
Dalam dua forum dialog antara Indonesia dan Malaysia di Jakarta, September 2008 dan Maret 2009, suasana ”panas” memang ikut mewarnai pertemuan antarwakil dari negara masing-masing. Tak masalah. Perbedaan adalah realitas yang harus dihargai, sejauh tidak menjadi benih permusuhan.
Lewat sejarah kita diingatkan, bagaimanapun, kedua bangsa ini pernah berada dalam satu perahu kenusantaraan. ”Tak ada Melaka tanpa Palembang, tak ada Malaysia tanpa Indonesia,” kata Haron Daud dari Universitas Kebangsaan Malaysia.
Bahkan, secara fisik dan emosional, bagi orang-orang di Riau dan Kepulauan Riau, sebagaimana dikemukakan Al Azhar, Malaysia hanyalah negeri yang berada di seberang parit. Mengutip petikan pantun budayawan Melayu, Tenas Effendi, Al Azhar pun berdendang: Ketugu batang ketakal/Ketika keladi moyang/Sesuku kita seasal/Senenek kita semoyang.... (ken)
Sumber: Kompas, Jumat, 17 April 2009
No comments:
Post a Comment