Monday, April 20, 2009

Kehidupan Masyarakat: Pergeseran Budaya di Jalan Kota

-- Ridha al Qadri*

”Hasrat melihat kota didahului maksud menikmatinya.” (Michel de Certeau,The Practice of Everyday Life)

Di jalan kota, budaya masyarakat dicirikan oleh konsumsi. Terutama ketika orang mudah terhubung dengan beragam produksi ruang, yakni bermacam wilayah sosial dan kultural. Produksi ruang di sekitar jalan merupakan tanda atas masyarakat pascaindustri di mana pasar produksi materi dan nonmateri merangsang praktik konsumsi. Ridha al Qadri

Di samping produksi ruang, di sekitar jalan kota jamak dengan media ”tontonan” (spectacle) seperti iklan, advertensi, pariwara, atau reklame yang membawa persuasi dan kode-kode kultural.

Dulu, di jalan kota orang mudah menemukan relasi dalam struktur sosial. Sekarang, jalan kota dimanfaatkan sebagai pasar dan panggung ”tontonan”.

Iklan, warung, toko, dan barang konsumsi menjadi tanda ketika jalan dibentuk sebagai wilayah untuk dinikmati, bukan manusia yang hendak ditemui. Dengan demikian, praktik kultural masyarakat di jalan kota sekarang ini lebih dipengaruhi budaya materi dan visual.

Budaya materi

Sekitar tahun 1918, Mas Marco Kartodikromo menggambarkan kebutuhan masyarakat untuk pelesir di jalan kota Solo. Dalam novel Student Hidjo itu, mayoritas orang yang menyusuri jalan kota cenderung berkunjung ke situs budaya.

Dia menggambarkan keramaian masyarakat yang ingin menyaksikan ”bioscoop” dan wayang orang di Sriwedari. Bahkan menjelang pertemuan pertama Syarekat Islam pun, menonton wayang orang menjadi salah satu pilihan.

Pilihan Sriwedari itu memberi tafsiran bahwa ruang publik di sekitar jalan kota waktu itu dipahami sebagai daerah penting untuk menciptakan interaksi sosio-kultural.

Kota Solo zaman itu, begitu pula kota-kota lainnya di negeri ini, tentu saja berbeda dengan kondisi sekarang. Sekarang, orang menyusuri jalan kota bukan karena mencari sesuatu yang bersifat kultural. Sekarang orang menyusuri jalan kota karena dorongan yang bersifat konsumtif. Pada akhirnya, jalan kota sebagai ruang publik bukanlah sebagai tempat berinteraksi sosial lagi seperti dulu.

Perubahan jalan kota menjadi ruang pasar berbagai komoditas tersebut menciptakan perangkap dan pendangkalan komunikasi antar warga kota. Kalaupun terjadi interaksi bukan bersifat personal, tetapi didasarkan pada kepentingan konsumsi.

Budaya visual

Di samping praktik konsumsi yang dikarakterkan budaya materi, di jalan kota, warga juga didorong untuk ”mengamati” hal-hal yang berciri visual, gambar, image, atau tontonan.

Semua visualitas, seperti yang tampak pada iklan, bangunan, alat transportasi, film, fashion, dan makanan, berpotensi memproduksi wacana mengenai apa saja dan demi kepentingan siapa saja.

Ciri-ciri bangunan dan tata perkotaan, dan juga gambar-gambar pada iklan, merupakan ruang representasi yang kerap dilekati kode-kode visual tertentu. Guy Debord menyebut kondisi sosial ini sebagai ”masyarakat tontonan”, society of the spectacle. Iklan berkonsentrasi pada kesadaran umum terhadap komoditas konsumsi.

Melalui reklame, masyarakat diarahkan pada realisasi keinginannya, melebihi kebutuhannya. Misalnya, iklan sebuah sampo rambut dengan model perempuan cantik, yang disertai metafor dan kiasan khusus, berpotensi memproduksi makna- makna yang beragam dan berbeda-beda mengenai arti perempuan yang dianggap ideal.

Dengan demikian, segala hal yang berpotensi merepresentasikan segala sesuatu secara visual merupakan teks-teks retoris yang memengaruhi pikiran.

Tiap tatanan visual bukanlah medium yang membuat pengamat sekadar memperoleh informasi, tetapi, pengamat lebih dikonstruksi demi mengonsumsi makna, sebelum mengonsumsi komoditasnya. Proses penikmatan berlangsung ketika sekian teks visual tersebut dikemas sebagai teks yang polisemis atau multitafsir.

Apa yang dikonsumsi dari teks visual ini adalah makna, bukan materi. Teks visual, atau tontonan, merupakan budaya konsumsi dari bermacam makna.

Akibatnya, praktik spasial di jalan kota lebih ditentukan oleh apa yang ditekankan Michel de Certeau tentang arti konsumsi dan mengamati ketika ”berjalan di kota”, bahwa ”hasrat melihat kota didahului maksud menikmatinya” (1984: 92).

Kenikmatan material dan visual merupakan implikasi dari teks budaya kota yang dominan. Selanjutnya, tiap menyusuri jalan kota orang mau tidak mau mesti tunduk pada persuasi budaya materi dan visual. Meskipun praktik spasial itu menggunakan alat transportasi, seperti peringatan Afrizal Malna dalam bagian puisinya ini: ”dalam mobil, ketika makna tak perlu lagi dicari dalam puisi…24 jam menyusun tubuhmu dari bau plastik terbakar” (Puisi ”24 Jam Siaran dalam Mobil”).

* Ridha al Qadri, Studi Kajian Budaya dan Media di Sekolah Pascasarjana UGM, Aktif di Kabut Institut dan Bale Sastra Kecapi, Solo

Sumber: Kompas, Sabtu, 18 April 2009

No comments: