Monday, April 20, 2009

Opini: Masa Lalu Indonesia-Belanda

-- Satjipto Rahardjo

Waardoor Java blijven kan de kurk waarop Nederland drijft— membuat Jawa tetap sebagai gabus, tempat Belanda mengapung (1829)

PERTEMUAN negara- negara anggota G-20 baru-baru ini membuka kembali masalah pemberian bantuan negara kaya terhadap negara berkembang.

Pada tahun 2009, semua orang akan melihat potret Indonesia dan Belanda dalam bingkai masa kini. Itu amat wajar karena potret tersebut merupakan realitas yang jelas di depan mata. Potret itu memperlihatkan Belanda sebagai negara industri yang kaya, sedangkan Indonesia sebagai negara terbelakang, miskin, penerima bantuan, dan seterusnya. Tidak banyak orang yang mengetahui bahwa keadaannya tidak selalu seperti itu.

Jika gambar tersebut ditarik mundur hingga abad ke-19, secara ekstrem dapat dikatakan, andai kata tidak ada Indonesia (Hinda-Belanda), Belanda tidak akan menjadi seperti sekarang, bahkan sudah lama bangkrut dan terhapus dari peta bangsa-bangsa di dunia. Saat itu, Indonesia adalah malaikat penolong bagi Belanda yang berada di ambang kebangkrutan.

Sayang artikel ini baru ditulis sekarang. Andai kata ditulis beberapa abad lalu, gaungnya akan terdengar keras karena sesuai dengan realitas. Jika kini kita mengatakan Indonesia pernah menjadi malaikat bagi Belanda, orang hanya akan mesam-mesem sebab kenyataan di depan mata menunjukkan, Belanda sekarang adalah negara yang makmur, donatur bagi negara lain, sedangkan Indonesia sebaliknya.

Tulisan ini ingin sedikit menghibur bangsa saya dengan mengatakan, Indonesia bukan bangsa yang sungguh-sungguh ”papa dan nestapa”, tetapi suatu ketika Indonesia dalam sejarah pernah menjadi malaikat yang menyelamatkan suatu bangsa dari kebangkrutannya.

”Kultuurstelsel”

Disertasi adalah sebuah karya tulis yang jujur dan teruji. Karena itu, saya ingin menggunakan sebuah disertasi yang ditulis di Belanda untuk membuktikan kalimat-kalimat di awal tulisan. Disertasi itu ditulis Teun Jaspers (1980) berjudul Rechtspreken in de maatschapij — Een onderzoek naar opvattingen over plaats en functie van de rechtspraak in het Nederlandse economische, sociale en politieke bestel van het einde van de achttiende tot het begin van de twintigste eeuw. (Mengadili dalam masyarakat — Suatu penelitian terhadap pendapat-pendapat mengenai tempat dan fungsi pengadilan dalam tatanan ekonomi, sosial, dan politik Belanda sejak akhir abad kedelapan belas sampai awal abad kedua puluh).

Teun Jaspers menulis, betapa morat-marit keadaan sosial dan ekonomi Belanda pada waktu itu yang sudah mendekati ”negara yang bangkrut”. Keadaan keuangan sangat mengkhawatirkan (zorgwekkende toestand), posisi Amsterdam sebagai sentra perdagangan makin merosot (gestadige achteruitgang), dan lain- lain.

Keadaan itu terjadi karena Belanda mendapat hantaman dari datangnya era industrialisasi sehingga harus menata kembali sistem ekonomi, sosial, dan politiknya. Dalam hal inilah Belanda kedodoran dibandingkan dengan negara-negara tetangganya, seperti Inggris dan Jerman.

Dalam situasi demikian, Belanda mulai melirik Indonesia (Jawa) dan ingin menarik sebanyak mungkin keuntungan dari wilayah jajahannya yang kaya itu (meer profijt uit te trekken). Jawa dapat disulap menjadi sumber yang kaya dengan produk- produk pertanian yang jika dijual di dunia akan memberikan keuntungan besar bagi kas negeri Belanda yang hampir kosong. Maka, diterapkan sistem kultuurstelsel (1829) di bawah Gubernur Van den Bosch. Ini adalah suatu bentuk pertanian yang diselenggarakan pemerintah (gouvermementslandbouw), di mana pemerintah mewajibkan dan memaksa para petani di Jawa untuk menanam tanaman tropis yang laku keras di pasar internasional.

Petani di Jawa, yang secara tradisional hanya bertanam padi, dipaksa menanam tanaman seperti kopi, gula, dan indigo. Perubahan yang dipaksakan itu kelak menimbulkan akibat serius, seperti terjadinya kelaparan di kalangan petani.

Dalam keadaan kepepet itu, kekuasaan negara menggandeng bisnis dan eksploitasi. Bagaimana nasib bangsa yang dieksploitasi itu tidak penting sebab yang lebih penting adalah negeri Belanda jangan bangkrut. Sistem tanam paksa itu berlangsung sukses dan uang pun mulai mengalir deras ke kas Belanda. Belanda menjadi amat bergantung pada sistem tanam paksa atau eksploitasi kekayaan Indonesia. Sistem kultuurstelsel menjadi satu-satunya sistem andalan yang menyelamatkan Belanda dari kebangkrutan. Pada saat itu terkenal tamsil, Jawa adalah gabus di atasnya Belanda mengapung (waardoor Java blijven kan de kurk waarop Nederland drijft).

Pada saat itu juga terkenal ujaran Indie verloren, rampspoed geboren (kehilangan Indonesia, maka datanglah malapetaka bagi Belanda). Orang sekarang boleh mengatakan itu semua adalah cerita masa lalu. Tetapi, keadaan saat itu benar-benar mencekam bagi Belanda, dan Indonesia amat bermurah hati membiarkan Belanda yang nyaris bangkrut bergayut di pundaknya.

Bangsa yang terpuruk

Dengan mengalirnya uang, kehidupan sosial dan ekonomi Belanda yang sudah mulai bangkrut itu bangkit dan berjaya kembali. Pelabuhan Amsterdam sebagai stapelhandel tidak jadi tenggelam. Banyak pembangunan yang kemudian dapat dilakukan, seperti penurunan pajak, perbaikan infrastruktur seperti kereta api dan kanal, serta perluasan pendidikan. Itu semua berkat kekayaan Indonesia dieksploitasi dan mengalir ke Belanda.

Yang amat menyakitkan adalah kemakmuran dan kejayaan kembali Belanda harus ditebus dengan pengorbanan petani. Petani Jawa harus berpindah tradisi dengan menanam tanaman produksi yang laku keras di dunia, harus mengalami kelaparan (hongersnood) yang serius. Dari menanam padi untuk keperluan sendiri ke menanam tanaman produksi ekspor adalah perubahan cara tanam yang besar dan itu memukul mereka.

Citra tentang Indonesia kini adalah bangsa yang terpuruk dan menengadahkan tangan ke atas, meminta bantuan asing, termasuk Belanda. Tetapi, jangan terlalu sedih, bangsaku. Sejarah telah mencatat jasamu yang begitu heroik dengan menyelamatkan suatu bangsa dari jurang kebangkrutannya.

* Satjipto Rahardjo, Guru Besar Emeritus Sosiologi Hukum Universitas Diponegoro, Semarang

Sumber: Kompas, Sabtu, 18 April 2009

No comments: