PASAR Seni Ancol, Jakarta Utara, kembali memberdayakan diri lewat pembukaan North Art Space. Galeri seni rupa hasil perombakan dari Galeri Pasar Seni Ancol lama itu diresmikan Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo, Jumat (17/4) malam. Ruang pameran itu diharapkan mengangkat citra Ancol sebagai kantong seni budaya sekaligus memajukan seni rupa kontemporer Indonesia.
Peresmian dibuka dengan menggelar pameran bertajuk ”Hybridization”, 17 April-3 Mei 2009. Acara berjalan cukup meriah. Selain dihadiri beberapa pejabat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, pimpinan PT Pembangunan Jaya Ancol, serta pengurus Pasar Seni Ancol, tampak juga sejumlah seniman, kolektor, pengelola galeri, dan masyarakat pemerhati seni rupa.
Pada katalog pameran, Fauzi Bowo berharap pengembangan North Art Space bisa ikut mendorong Kota Jakarta sebagai kota budaya sekaligus menumbuhkan semangat ekonomi kreatif. Direktur PT Pembangunan Jaya Ancol Budi Karya Sumadi mengungkapkan, sesuai program Ancol Creative City, kawasan itu dikembangkan sebagai panggung bagi komunitas kreatif, termasuk kalangan seni rupa.
Selain galeri, pengembang Ancol juga berencana membangun studio bagi seniman. Di situ, seniman bisa leluasa berkarya, bahkan menyajikan karyanya di sudut-sudut kawasan Ancol yang dikembangkan sejak awal tahun 1970-an itu. ”Karya seni, seniman, dan publik bisa berinteraksi di sini. Bayangkan saja, Ancol itu dikunjungi sekitar 40.000 orang per hari pada akhir pekan,” kata Budi.
Sebagai langkah awal, bekerja sama dengan Galeri Semarang, pengembang memugar dua lantai galeri lama menjadi galeri baru bernuansa kontemporer. Fasad dirombak menjadi sedikit bergaya minimalis dengan dinding kaca; ruang pamer dibersihkan dan dibuat lebih terbuka; serta dibangun dua tangga berlapis kayu di bagian tengah. Nama galeri baru itu North Art Space alias NAS
”Galeri baru ini lebih terbuka bagi semua karya, termasuk karya-karya kontemporer. Ini hanya langkah awal untuk menjadikan Ancol sebagai salah satu kantong seni rupa di Jakarta,” kata Chris Dharmawan, pemilik Galeri Semarang.
Pada tahapan berikutnya, pengembang Ancol berencana membangun studio tempat seniman berkarya sekaligus melakukan semacam residensi di Jakarta. Pasar Seni akan dipugar dan ditingkatkan lagi sehingga menjadi lebih maju. ”Ancol punya potensi karena punya areal masih luas, mudah dijangkau warga Jakarta, dan dikunjungi banyak wisatawan,” kata Chris.
Memang, jika saja pemerintah memihak pengembangan seni rupa secara konsisten, kawasan Ancol berpotensi dikembangkan menjadi semacam kantong seni rupa baru. Selain punya galeri, kantong itu dimanfaatkan untuk membuat studio seniman dan pasar seni. Itu akan bisa menjembatani kepentingan seniman, pasar, akademisi, sekaligus masyarakat.
”Art district”
Sebagai bandingan, mungkin kita bisa menyebut 798 Art District di Ta Sen Tse, Beijing, yang dinilai turut mendongkrak pasar seni rupa China beberapa tahun belakangan. Kawasan bekas pabrik instalasi telekomunikasi militer yang berjarak sekitar 15 kilometer dari pusat kota Beijing itu ditempati ratusan galeri dan studio seniman. Para seniman, kolektor, pengamat, dan masyarakat umum mendatangi kawasan itu untuk berinteraksi dengan sebagian karya seni rupa kontemporer.
”Kita mungkin saja membangun Ancol jadi semacam art district jika semua kalangan, seperti seniman, pengusaha, galeri, dan pemerintah berkomitmen memajukan seni rupa di Indonesia,” kata Teguh Ostenrik, pelukis dan pematung, yang hadir di Ancol malam itu.
Jikalau tidak mencapai tahap seperti itu, setidaknya Ancol masih mungkin untuk mengembalikan dirinya sebagai kantong tempat kongko para seniman. Manajer Pasar Seni Ancol Bogang Suharno mengenang, Ancol sempat jadi rujukan para seniman pertengahan tahun 1970-an sampai 1980-an. Di situ, aktif beberapa seniman, antara lain Amrus Natalsya, Endros Sungkowo, Kidro, atau Dwijo.
Selain pelukis dan pematung, banyak seniman lain langganan datang, seperti Umar Kayam, Emha Ainun Nadjib, dan Ireng Maulana. Beberapa penyanyi cilik yang sekarang populer juga mencicipi kemeriahan pengunjung di situ, seperti Anggun C Sasmi dan Novia Kolopaking. ”Saat itu, Ancol menjadi salah satu pusat komunitas seni dan budaya di Jakarta,” katanya.
Hibrida
Bagaimana dengan pameran ”Hybridization”? Ada 24 seniman Indonesia yang turut serta, antara lain Agus Suwage, Andy Dewantara, FX Harsono, Hanafi, Harris Purnomo, Jompet, dan Yani Mariani. Sebagian karya sudah pernah dipamerkan dan sejumlah karya termasuk baru.
Sesuai tema, karya dengan beragam bentuk dan media itu memperlihatkan pertemuan dan percampuran dari berbagai unsur budaya yang berkembang di Tanah Air. ”Hibridisasi itu membebaskan kita dari dogma-dogma sejarah seni rupa Barat dan menyerap sejarah seni rupa Indonesia. Itu membuka kemungkinan praktik seni yang melibatkan aspek-aspek kehidupan sosial dan budaya lokal,” kata kurator pameran Rifky Effendy. (ilham khoiri)
Sumber: Kompas, Minggu, 19 April 2009
No comments:
Post a Comment