Judul: Malam Buta Yin
Pengarang: Sunlie Thomas Alexander
Penerbit: Gama Media, Yogyakarta
Tahun Terbit: Januari 2009
Tebal buku: x + 178 halaman
KEHIDUPAN di perkampungan Tionghoa ternyata memberi ketakjuban sekaligus mengundang tanya untuk diteliti. Sejarah kependudukan China di Indonesia, tepatnya di Pulau Bangka, kehidupan etnis dengan segala kebudayaannya yang telah terbungkam sejak masa Kesultanan hingga selama Orde Baru, kini tiba-tiba terasa bergejolak.
Kasus demi kasus tentang etnisitas, nasionalisme, agama, dan gender yang dahulu terdiskriminasi akibat politik terkuak dan memantulkan dialektika budaya yang khas tanpa menyoal masalah identitas dan ideologi Tionghoa itu sendiri. Sehingga terlihat pergeserannya baik dari pemikiran masyarakat, ruang gerak (kegiatan budaya dan agama, partisipasi politik), maupun kependudukan.
Cerpen-cerpen Sunlie menyajikan kompleksitas itu, digali secara memikat dan mendalam dengan kesepadanan lewat karakter tokoh-tokohnya demi integritas dalam satu tema sentral. Kedalaman psikologis yang menyentuh, intim, bergejolak, tetapi kadang sarkas mengukur sejauh mana studi jiwa pengarang dalam menjinakkan kenangan, mengakurasi sejarah, dan merapat (tetapi justru memberi celah kekontradiktifan) pada budaya dari etnis Melayu yang tumbuh di satu lingkungan sehingga karya-karya dalam buku ini terasa begitu kental dan oriental.
Meski sepenuhnya memosisikan kajian-kajian budaya sebagai aspek dasar cerita, cerpen-cerpen Sunlie bukan hanya memberi estetika tersebut di atas, melainkan juga menyediakan ruang kritik tentang gagasan-gagasan pribadi dan sudut pandang pengarang dari ketersituasian diri yang dipengaruhi oleh sosiologi.
Selain persoalan hibriditas dan feminisme terdapat upaya mengawetkan nilai-nilai tradisi Tionghoa menjadi sebentuk artefak yang tidak hanya dinikmati dan dikagumi semata, tetapi juga mengundang untuk diadili, ditelusuri.
Dari ritual pembakaran hio dalam cerpen Jelaga Hio khususnya merangkum etika moral, tata susila, dan filsafat hidup yang berada dalam tubuh Konfusianisme tanpa terjungkal menjadi propaganda. Feminisme dalam budaya pemikiran China Klasik pun terukur dalam cerpen Sui Sien, Pat Ngiat Pan, dan Malam Buta Yin.
Mulai dari dikotomi gender, prinsip pasif (perempuan)-aktif (laki-laki), suara-suara perempuan Tionghoa yang terbungkam, perempuan dan kutukan, hukum adat, kritik feminisme, sampai sejarah Mitologi China Dewi Bulan yang mengawali kebangkitan dinasti besar yang mendefinitkan bahwa mitos dan alam (selain agama) juga mampu membentuk kebudayaan. Karakter tokoh dibangun sebagai refleksi muasal perumusan dewa-dewi dalam angan-angan manusia yang menyenangkan, manusia yang berhasrat dan bernaluri mencipta mitos, dengan daya khayal yang menuntut pikiran serba ganjil yang tak rasional.
Dari aspek sosiologi agama misalnya, dimensi mistikal Hikayat Kuda Api membeberkan keinginan manusia sebagai penganut Islam (tokoh yang berada dalam hikayat) untuk mencari makna hidup atas hakiki hidup termulia dalam pandangan agama. Kuda berwarna merah menjadi simbol kegagahan dan kemurnian yang seakan menjadi titik patok antara baik dan buruk, haram dan halal, kafir dan sufi.
Kuda dan penunggangnya merupakan arus bolak-balik yang mana penunggang (mursyid) sebagai pengendali jalan kuda, dan kuda (kaum sufi) yang memilih penunggangnya. Sebuah refleksi Islam yang mengenal Al Khalifah di mana bukanlah legitimasi umatnya yang menentukan seseorang pemimpin kebatinan, melainkan keimanannya sendiri. "Keterpilihan" secara murni (dengan sendirinya) ini rawan memunculkan rasa iri yang berpretensi kelicikan, pengkhianatan, dan dusta antarsesama kaum sufi untuk menjadi "penunggang kuda".
Berbeda dengan Bilur-Bilur Ungu Kuda yang Bermata Bintang Kejora, kuda menjadi simbol menyatunya antara elok rupa dan kekuatan jiwa dalam kerasnya hidup seorang perempuan sehingga tampil dalam integritas cantik yang mengagumkan.
Cerita-cerita yang tersuguh tidak bermaksud mendobrak budaya sama sekali, tetapi hanya mendeskripsikan hal-hal sentimentil (sendi-sendi lunak) budaya, agama dan filsafat China dengan komprehensif, menjadikan buku ini sangat representatif bagi etnis-etnis lainnya di nusantara.
* Dahlia Rasyad, pengasuh Akademi Sastra Palembang (ASAP)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 12 April 2009
No comments:
Post a Comment