Sunday, April 19, 2009

Lingkaran Setan Pesimisme

INDONESIA hari ini adalah ruang di mana pesimisme telah menjadi sebuah lingkaran setan. Lingkaran yang berkumpar dan menghisap setiap optimisme yang dijanjikan. Jika pun ada, optimisme itu tak lebih dari melulu sekadar jargon seperti yang dihembuskan banyak elite dan kepentingan. Akhirnya optimisme jargon sejenis ini alih-alih melahirkan sebuah utopia, justru mempertebal pesimisme itu. Dan betapa absurdnya hidup dengan rasa pesimis, terlebih lagi itu terjadi di tengah sebuah bangsa.

Dan di tengah situasi inilah terasa betapa mahal dan sulitnya sebuah optimisme, meski berbagai perubahan telah terjadi. Di lapangan politik, optimisme akan demokrasi ternyata tak bisa memberi harapan dan utopia apa pun. Masyarakat tanpa utopia adalah masyarakat yang hanya akan bergerak untuk berbagai kepentingan yang temporer. Seperti para intelektual yang asyik dalam ruangnya sendiri, demikian pula para elite dan politisi.

Alih-alih menjadi esensi demokrasi, pemilu terkesan hanya menjadi cara untuk meminta partisipasi publik demi mendapatkan pembenaran atas oportunisme politik para elite. Dan ini seluruhnya terjadi, ironisnya, di tengah perangkat demokrasi yang begitu lengkap.

Inilah yang makin mempertebal garis lingkaran setan pesimisme. Sebaliknya, optimisme pun semakin sulit untuk dicari ruangnya. Berbagai peristiwa lebih mengancam berbagai harapan ketimbang menjanjikan sesuatu yang lebih baik. Tapi optimisme pasti dan mesti ada. Baik seluruhnya ini dipahami sebagai sebuah masa transisi, proses menjelang menuju ke arah yang lebih matang. Optimisme juga bisa dicari kembali ke belakang, di tengah kebijakan-kebijakan lama masyarakat lokal.

Demikian pandangan yang mengemuka dari seniman-budayawan tentang bagaimana sulitnya kini mencari ruang bagi optimisme Indonesia ke depan di tengah seruan-seruan optimisme yang melulu hanya menjadi jargon. Aktor dan sutradara teater Benny Yohannes memandang, bagaimana lingkaran setan pesimisme yang terjadi tak lepas dari konteks budaya politik yang dipengapi para oportunis politik yang memanipulasi demokrasi sehingga melulu hanya menjadi jargon politik.

"Publik melihat dan menyangka itulah demokrasi, padahal itu bukan esensi demokrasi. Demokrasi direduksi maknanya untuk kepentingan oportunisme politik dan inilah yang tidak memberikan kepercayaan pada publik," ujarnya.

Oportunisme politik adalah tabiat yang mengisolasi politik dari kepentingan-kepentingan publik, yang ironisnya lewat pemilu, publik diminta untuk berpartisipasi. Akibatnya pemilu hanya menjadi alat bagi mental-mental oportunis untuk melakukan pembenaran atas apa yang mereka lakukan. "Inilah yang sebenarnya membuat publik tidak lagi antusias dengan pemilu. Dan inilah yang menjadi biang keladinya," ujar Benny.

Senada dengan Benny, penyair Acep Zamzam Noor membaca gejala oportunisme politik itu sebagai gejala mental para elite di tengah perangkat demokrasi yang demikian lengkap. Demokrasi menurutnya tidak melulu bergantung pada perangkat, tapi juga bergantung pada mental dari para elitenya.

"Secara perangkat demokrasi, Indonesia ini sudah begitu lengkap. Bahkan mungkin kedua setelah Amerika Serikat. Dari mulai MPR, Presiden, DPR, DPD, juga tata-cara pemilihan langsung. Tapi karena dipegang oleh orang-orang yang mentalnya tidak demokratis, maka semua tidak ada artinya. Lihat saja DPR, malah merepotkan rakyat," katanya.

Sedangkan budayawan Prof. Jakob Sumarjo melihat pesimisme yang terjadi demikian kompleks. Ia melihat bahwa soalnya tidak hanya bergantung pada mental para elite, tapi juga strategi kebudayaannya. Inilah yang tidak pernah dimiliki Indonesia. Yang ada hanyalah strategi intelektual yang hanya dikonsumsi kalangan intelektual itu sendiri.

"UUD 1945 itu disusun oleh orang-orang yang tahu kebudayaan, seperti Supomo dan Muhammad Yamin. Supomo itu ahli hukum adat Indonesia. MPR itu adalah kekuatan rakyat, raja yang tidak berkuasa. Ini sama dengan konsep masyarakat Sunda lama, di mana resi dipandang sebagai raja yang tidak memegang kekuasaan. ," tuturnya.

**

JIKA Acep Zamzam Noor tetap merasa optimis bahwa lingkaran setan pesimisme ini kelak akan terurai setelah proses transisi seperti sekarang terlewati, Benny Yohannes merasa tak yakin. Pandangannya berangkat dari pengamatan betapa tidak adanya seorang pun negarawan dan elite politik di negeri ini yang memiliki visi lebih jauh ke depan.

"Sampai sekarang saya tidak melihat adanya negarawan dan elite yang memiliki karakter yang jelas dengan orientasi pada penciptaan-penciptaan infrastruktur politik. Dulu ada konsep sosialisme politik dalam bentuk koperasi yang digagas Bung Hatta. Atau Nationalism Building Bung Karno. Itu semua adalah insfrastruktur politik yang membuat publik merasa terlibat," tutur Benny.

Dalam realitasnya sekarang, para politisi hanya bisa melakukan duplikasi dari jargon-jargon di antara mereka. Artinya, para politisi sekarang tidak belajar pada pemikiran-pemikiran visioner para pendahulunya. Namun demikian, dalam pandangan Benny, demi sebuah optimisme harus ada ihtiar agar warga negara bisa menolong dirinya sendiri. Publik harus melakukan revitalisasi atas kemampuan dirinya. Hanya soalnya apakah itu bisa, sebab publik kadung hidup dengan dan dalam mental patronase?

"Betul. Itulah lingkaran setannya," kata Benny.

Pesimisme yang sama juga dari pandangan Prof. Jakob Sumarjo. Dunia pendidikan dan perguruan tinggi juga tak bisa diharap akan bisa memberi sebuah optimisme. Terlebih dengan perilaku para intelektualnya seperti sekarang. Namun demikian, bukanlah lalu pesimisme yang terjadi sekarang sebagai sebuah harga mati. Optimisme itu sesungguhnya bisa dilacak dan diperiksa kembali di antara jejak panjang etos budaya masyarakat lokal pada suatu masa di belakang.

"Tapi ironisnya etos lokal inilah yang justru ditinggalkan, seperti hukum adat yang digantikan hukum positif negara. Padahal dalam masyarakat adat, ketua adat jauh lebih dipatuhi ketimbang camat. Ini adalah salah satu kesalahan dari para intelektual kita yang tak pernah mau belajar pada sejarah. Masa depan selalu dianggap lebih baik ketimbang masa lalu," kata Prof. Jakob Sumarjo.

Sedangkan optimisme Acep Zamzam Noor berangkat dari keyakinannya bahwa situasi pesimisme seperti sekarang terjadi sebagai sebuah proses yang panjang. Ia yakin Indonesia akan keluar dari lingkaran setan pesimisme demokrasi seperti terjadi sekarang. Soalnya adalah bagaimana mengembalikan spirit politik ke dalam ranah budaya, bukan sebagai akal bulus.

"Saya optimis, ke depan budaya demokrasi di Indonesia akan lebih baik. Yang terjadi sekarang, seperti Pemilu 2009 ini, baik dipahami sebagai latihan atau proses pendidikan yang bagus bagi perubahan ke depan. Tapi ini memang memerlukan waktu yang lama," ujar Acep. (Ahda Imran)**

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, 19 April 2009

No comments: