-- St Sularto
NAMA kawasan Jembatan Serong di Jalan Percetakan Negara, Jakarta Timur, mengadopsi visi-misi Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara. Lokasi sekolah tinggi, tertua sebagai lembaga pendidikan tinggi filsafat di Indonesia itu, terletak di dekat Jembatan Serong, jembatan berbentuk menyerong persis di mulut gang kampus STF Driyarkara.
Memasuki kampus yang kini sedang diperluas dan dilakukan penambahan bangunan bertingkat, tak ada kesan megah dan mewah. Sederhana! Melani Budianta, dosen Universitas Indonesia, menyaksikan masih banyak mahasiswa datang bersepeda, sesuatu yang kini digalakkan di berbagai kampus megah.
Membaca buku, kata Melani, dia punya kesan tersendiri. Pada saat istirahat mahasiswa tidak duduk ngobrol dan ngerumpi, tetapi masuk perpustakaan. Yang kedua itu dibantah Romo M Sastrapratedja, Ketua STF tahun 1980-1984 dan kini pengajar di sana, ”Dulu waktu istirahat banyak yang masuk ke perpustakaan, ya, tetapi untuk cari udara sejuk. Sekarang hanya sedikit, lebih banyak yang ngobrol-ngobrol.”
Romo Simon Petrus L Tjahjadi, rekan dosennya, menambahkan, ”Ya, dulu dan sekarang mereka masuk ke perpustakaan waktu jam istirahat, untuk ngadem. Di kelas panas, tak ber-AC, di perpustakaan dingin.”
Soal sepeda dan ngadem terkait kutu buku menunjukkan kekhasan kampus STF Driyarkara. Kekhasan lain, dulu pada awal- awal tahun ajaran di pintu masuk ada wayang Bima, sekarang sudah dicopot. ”Tak tahu alasannya, tapi Bima, kan, mungkin karena bersosok besar, selain tentu karena idola Romo Franz Magnis-Suseno,” kata Ketua STF Driyarkara Eddy Kristianto.
Bebas simbol
Berbeda dengan kampus lain, kampus STF Driyarkara bebas simbol keagamaan. Didirikan oleh konsorsium Keuskupan Agung Jakarta, Ordo Fransiskan (OFM) dan Societas Iesu (SJ) —tentu saja berlabel Katolik—di sana tak ada salib atau kapel.
Sesuai maksud awal didirikan, 1 Februari 1969, sekolah ini membuka diri sebagai komunitas yang inklusif dan pluralis. Para mahasiswa Muslim pun kerasan. Tak ada diskriminasi, kata mantan Ketua STF Driyarkara, J Sudarminta, seperti dikutip majalah Hidup (25/2/07). Kehadiran mereka ikut menjembatani kelompok-kelompok atau gagasan-gagasan yang saling berseberangan dan saling mengeksklusifkan. Sesuai semangat Driyarkara, tekanan pendidikan pun untuk menumbuhkan mahasiswa berpikir kritis.
Mahasiswa dan dosen didorong aktif peduli terhadap permasalahan bangsa. Wajar kalau sebagian mahasiswanya adalah aktivis.
Seperti disampaikan Sastrapratedja, beberapa orang suka menyatakan diri sebagai mahasiswa atau lulusan STF Driyarkara, padahal hanya ikut beberapa kali kuliah atau ikut ekstension. Menjadi mahasiswa STF bisa meningkatkan harga jual. Artinya, dia tidak lagi hanya tempat pendidikan calon-calon pastor, tetapi juga kaderisasi tokoh-tokoh masyarakat, seiring pula dengan gejala orang ”bercas-cis-cus” kosakata filsafat.
Dalam terbitan yang sama, menarik komentar Budhy Munawar Rachman, pemikir muda Muslim yang memperoleh gelar S-1 dan S-2 dan kini sedang menyelesaikan S-3 di sana. ”Kalau boleh disebut secara langsung pendidikan yang saya peroleh di STF telah menjadikan saya sebagai Muslim liberal,” katanya.
Baginya STF mempersiapkan dia terus mengembangkan pemikiran Islam yang diperlukan dalam mendorong kemajuan bangsa Indonesia, khususnya dalam pengembangan demokrasi dan hubungan antaragama.
Berpikir intelektual
Di tengah belantara lembaga pendidikan tinggi, STF Driyarkara bagi Bambang Hidayat ibarat oase Ibu Kota. Kehadirannya tidak saja sebagai oase dalam arti fisik, terletak di tengah perkampungan dan terbebas dari hiruk pikuk Jakarta, tetapi terutama dalam aura dunia pendidikan tinggi yang mengidap wabah komersialisasi. ”Pendidikan di negeri ini secara tidak langsung telah dianggap sebagai aset perdagangan,” katanya dalam seminar reflektif di STF Driyarkara, 28 Februari lalu.
Padahal, kata anggota Akademi Ilmu Pengetahuan itu, sumber kekuatan dan kepercayaan sebuah lembaga pendidikan tinggi tidak dari penampilan fisik, tetapi penciptaan kapasitas menghargai nilai hakiki ungkapan intelektual, daya cipta manusia dan ungkapan.
Sudah sepantasnya pada usia 40 tahun, setelah berhasil mengukuhkan kepentingan intelektual dalam filsafat dan teologi, STF berjuang menjadikan diri sebagai universitas bangsa bukan semata-mata universitas kebangsaan; sebuah nation’s university yang mengandung nilai-nilai kebangsaan Indonesia.
Entakan ahli astronomi Bambang Hidayat itu menjadi pelecut para penyelenggara lembaga pendidikan, mahasiswa, bahkan kolega STF Driyarkara. Berpikir kritis sebagai salah satu ciri intelektual, dibangun lewat filsafat yang selalu dirangsang bertanya dan menggugat, menjadi semacam tuntutan mutlak kepakaran intelektual. Setiap lembaga pendidikan diharapkan menghasilkan lulusan yang berpikir intelektual, kata Karlina Supelli, filosof yang saat ini aktif mengembangkan program S-2 dan S-3 STF Driyarkara.
Keraguan Rama N Driyarkara, ahli ilmu filsafat yang berhasil memopulerkan filsafat, kini terjawab. Filsafat bisa menjadi komoditas yang layak jual, mempertajam dan memperkuat kerangka berpikir ilmu-ilmu positif yang berpikir ke hal-hal yang produktif lewat ilmu-ilmu filsafat yang lebih reflektif, dengan cara mempertanyakan dan menggugat. Pendirian STF yang dulu diperuntukkan terutama untuk studi filsafat calon-calon pastor sebelum menempuh studi teologi menjadi milik masyarakat.
Studi teologi
Sejarah kehadiran STF tercatat untuk terutama sebagai bagian dari pendidikan calon-calon imam Jesuit. Mereka tidak lagi belajar filsafat di Poona, India, atau berbagai kota di luar, tetapi cukup di Jakarta. Pada era awal, sejalan pula dengan keinginan agar setidak-tidaknya mereka yang umumnya berasal dari pedalaman dan pedesaan, sebelum studi lanjut pernah mengenyam hidup di Jakarta, Ibu Kota negara yang kelak menjadi bagian karya pelayanan mereka.
Sekarang STF pun menyelenggarakan studi teologi. ”Tetapi semangat Driyarkara terutama dalam mengasah kepekaan pada kemanusiaan tetap dihidupkan dan dijadikan sumber inspirasi,” kata Sudarminta.
Pernyataan Sudarminta sejalan dengan tema yang ingin disasar peringatan 40 tahun STF. ”STF ingin menyapa masyarakat dengan mendengarkan mereka. Setelah 40 tahun terus-menerus bertanya dan menggugat, STF ingin mendengarkan,” kata Eddy Kristianto.
Dikatakannya, ada dua segi yang mau ditingkatkan, yakni segi akademik dan organisasi manajemen. STF mau memenuhi kebutuhan masyarakat, terutama dalam mengajak masyarakat berpikir kritis lewat perkuliahan dan jenjang-jenjang pendidikan.
Adakah mazhab STF? ”Mazhab STF? Wuah-wuah, wuah!,” komentar Rama Setyo Wibowo dan Rama Th Sarjumunarso, dua dosen yang sehari-hari tinggal di kampus STF. ”Ilmu itu tidak pernah tunggal. Setiap pendapat atau mazhab selalu merefer dan diperkaya oleh ide atau pemikiran yang lain. Sekolah Frankfurt misalnya, sebagai mazhab tidak dihasilkan dan disuarakan oleh seorang Theodore Adorno,” sanggah Setyo Wibowo.
Jadi? Yang diinginkan STF bukanlah sebuah mazhab pemikiran, tetapi sebuah cara berpikir yang kritis sebagai refleksi atas perkembangan masyarakat lewat pemikiran-pemikiran besar para tokoh filsafat. Karena itu, di sini ada kelompok-kelompok studi Habermas, Malebranche, dan lain-lain.
”STF perlu kembali ke semangat awal, yaitu sebagai pusat training intelektual dan bukan jadi pesantren atau seminari, karena hal itu akan membuat para calon pastor menjadi tidak terpelajar ketika 10 tahun mereka berkarya sebagai pastor,” tambah Rama Herry Priyono.
Dengan 122 mahasiswa filsafat, 167 mahasiswa teologi, 53 mahasiswa magister filsafat, 30 peserta matrikulasi dan 10 mahasiswa program doktor, kini STF sudah meluluskan tiga doktor filsafat. Setahun peringatan 40 tahun usianya, dirayakan dengan serangkaian acara. Di antaranya seminar ”STF Bertanya dan STF Mendengarkan”, peluncuran buku dan pada tanggal 18 dan 19 April ini pementasan Rapat Rakyat oleh Teater STF Driyarkara dengan sutradara Adi Kurdi di Teater Kecil, TIM.
Setelah 40 tahun bertanya, sudah waktunya STF mendengarkan!
Sumber: Kompas, Sabtu, 18 April 2009
No comments:
Post a Comment