ETNOMUSIKOLOG Rizaldi Siagian agak masygul, kaget, sekaligus geram. Ketika membuka laman sebuah situs yang memuat berbagai video musik, ternyata sejumlah senandung lagu dalam tradisi ronggeng Melayu kini hak ciptanya sudah dikuasai salah satu raksasa industri rekaman ternama: Warner!
Dalam industri rekaman, kita tahu bahwa Warner itu perusahaan kapitalis global. Pertanyaannya sekarang adalah siapa yang menjual dan siapa yang dijual?” kata Rizaldi tentang senandung lagu-lagu Melayu yang begitu akrab di telinga masa kecilnya saat masih di Medan tersebut.
Lewat ilustrasi ini, Rizaldi yang tampil sebagai salah satu narasumber dalam dialog kesejarahan Indonesia-Malaysia di Jakarta, beberapa waktu lalu, sesungguhnya ingin mengungkap bahwa ada persoalan lain yang jauh lebih serius dalam hubungan budaya antarbangsa serumpun ini. Sebuah persoalan yang tidak lagi sekadar bersifat lintas budaya antarnegara bertetangga.
Persoalan yang kini dihadapi bahkan sudah jauh melampaui isu seputar saling klaim produk budaya (baca: ekspresi seni), yang beberapa waktu lalu sempat mengganggu hubungan antarkedua bangsa. Taruhlah seperti tudingan Indonesia bahwa pihak Malaysia yang dinilai sudah mengklaim lagu Rasa Sayang Sayange, kesenian angklung yang diakui sebagai bamboo malay, hingga reog ponorogo dengan nama kesenian barong sebagai produk budaya mereka.
Temuan yang didedahkan Rizaldi jauh lebih dahsyat. Dalam kasus penguasaan hak cipta oleh salah satu raksasa industri rekaman milik perusahaan kapitalis global atas produk budaya masyarakat Melayu yang sudah tergolong public domain, yang mestinya tak ada satu institusi—bahkan negara sekalipun—berhak mengklaimnya, jelas bukan lagi sekadar masalah antarbangsa serumpun. Juga bukan masalah antar-individu Melayu sama Melayu.
”Ini masalah global. Yang diperjualbelikan adalah budaya kita (baca: Indonesia-Malaysia), kemudian kita diadu domba. Aspek ini yang ingin saya ingatkan dan seharusnya menjadi kepedulian kita bersama,” kata Rizaldi.
Dengan contoh kasus yang berbeda, Des Alwi—salah satu tokoh yang ikut berperan dalam proses ”normalisasi” hubungan Indonesia-Malaysia pascakonfrontasi antarkedua negara tahun 1960-an—juga mengingatkan adanya ”politik adu domba” gaya baru dari pihak ketiga, yang kini melibatkan kekuatan kapitalisme global. Oleh karena itu, kata dia, kekuatan-kekuatan modal asing—lewat tangan-tangan pemegang kekuasaan—yang ingin mengeruk kekayaan yang tersimpan di kawasan ini harus selalu diwaspadai.
Dalam kasus blok Ambalat, misalnya, kekuatan kapitalisme global jelas terlibat. Sebab, kata Des Alwi, sengketa perbatasan antara Indonesia dan Malaysia di kawasan kaya potensi minyak dan terumbu karang tersebut, yang nyaris menimbulkan ”konfrontasi jilid II” antarakedua negara, sesungguhnya tak lain akibat ulah Inggris.
Demi keinginan sebuah perusahaan raksasa perminyakan yang berniat mendapatkan konsesi di sana, Inggris semula mendekati Indonesia. Pihak Indonesia melalui Kementerian Lingkungan Hidup menentang keras keinginan tersebut. Keberatan itu terutama mengingat daerah di sekitar blok Ambalat memiliki kekayaan sumber daya hayati yang tak ternilai dengan ragam terumbu karang dan ekosistemnya yang luar biasa.
Gagal bernegosiasi dengan Indonesia, Malaysia pun di-kilik-kilik. Entah bagaimana prosesnya, sampai pada satu ketika diketahui adanya aktivitas ”pencarian” sumur minyak lepas pantai oleh Shell di kawasan blok Ambalat.
Indonesia tentu tidak bisa tinggal diam ketika wilayah kedaulatannya diganggu. Drama ketegangan antarkedua negara—yang akar permasalahannya sebetulnya dipicu ulah perusahaan kapitalisme global—pun kembali bergulir. Ironisnya, kemarahan masyarakat Indonesia hanya tertuju kepada Malaysia yang dinilai lancang, sementara perusahaan multinasional yang menjadi biang dari segala persoalan tersebut justru terkesan hanya jadi korban.
Sejarah berulang
Membolak-balik catatan sejarah sebetulnya kekuatan kapitalisme global jualah yang secara geografis-politis telah mencencang batas sempadan Indonesia dan Malaysia—juga Singapura—menjadi negara yang berdaulat sendiri-sendiri seperti sekarang. Semangat kapitalisme di balik kekuatan kolonial itu pula yang membuat keserumpunan suku bangsa di kawasan ini akhirnya tercerai-berai.
Para penguasa Kesultanan Melayu diadu domba oleh Inggris dan Belanda. Garis demarkasi kekuasaan pun ditarik, memisahkan wilayah budaya serumpun yang hidup di Tanah Semenanjung—termasuk Tumasik (baca: Singapura)—dan masyarakat yang tinggal di wilayah kepulauan.
Perjanjian sepihak antara Inggris dan Belanda—lewat apa yang dikenal dengan sebutan Traktat London, 21 Juni 1824—menandai awal keterpecahan itu. Wilayah kekuasaan Kesultanan Melayu dipreteli. Kawasan Tanah Semenanjung dan Tumasik dikangkangi Inggris, sementara wilayah kepulauan dicaplok Belanda. Sejak itu, pengalaman kesejarahan di kedua wilayah dalam satu kawasan di Nusantara ini berjalan mengikuti alurnya sendiri.
Tak berlebihan bila sejarawan Taufik Abdullah, dalam satu kesempatan dialog budaya Indonesia-Malaysia, sampai berucap dengan nada geram. Kalau ’nasib’ yang menimpa kisah sejarah Indonesia-Malaysia dalam ingatan sejarah kita dibicarakan lagi, kata Taufik Abdullah, ”Maka, hanya satu komentar yang bisa diberikan: terkutuklah Inggris dan Belanda karena mengadakan perjanjian 1824 yang telah membagi-bagi sebuah wilayah kesejarahan!”
Menyimak sejumlah catatan dan analisis para ahli sejarah, dalam konteks kolonisasi atas wilayah Nusantara, sesungguhnya Inggris dan Belanda sebagai representasi dari negara-bangsa tak ubahnya hanya tempat bersembunyi kekuatan kapitalisme untuk mengeruk kekayaan sumber daya alam di kawasan ini. Di balik payung kebesaran negara masing-masing, para saudagar mereka seperti berlomba menumpuk modal, memeras tenaga dan air mata penduduk pribumi, dan menguras habis hasil bumi negeri ini.
Ironisnya, ketika wilayah-wilayah yang ”dicencang” kolonialis itu kini sudah menjadi negara-bangsa sendiri, dengan orientasi dan nasionalisme yang relatif berbeda, kekuatan kapitalisme global ternyata masih terus menguntit. Wujud dan model penguasaannya saja yang bergeser, yakni tidak lagi ditopang kekuatan senjata dan pendudukan wilayah.
Dua contoh kasus di atas, yakni peristiwa perebutan blok Ambalat dan nasib senandung lagu dalam tradisi ronggeng Melayu, adalah sedikit dari banyak potensi konflik yang sesungguhnya ”didalangi” kekuatan kapitalisme global. Atau, haruskah semua ini dibaca sebagai takdir sejarah?
Beralihnya aset-aset ”yang menguasai hajat hidup orang banyak”—seperti di sektor perbankan dan telekomunikasi—ke tangan pengusaha dari salah satu pihak, kini tak lagi relevan dilihat sebagai bentuk dominasi negara atas negara. Begitu pun kehadiran perusahaan besar Malaysia yang berinvestasi di bidang perkebunan kelapa sawit di Indonesia, khususnya di Sumatera dan Kalimantan, juga tak seharusnya memupuk kebencian masyarakat negeri ini terhadap Malaysia sebagai negara-bangsa. Di balik itu semua, sekali lagi, tangan-tangan kapitalisme global ikut bermain.
Lewat penguasa dan/atau mantan penguasa yang masih punya jaringan di masing-masing negara, yang entah mereka sadari atau tidak—atau malah menikmatinya sebagai berkah—telah dimanfaatkan sebagai ’kacung’ oleh kekuatan kapitalisme global, kehadiran perusahaan-perusahaan besar itu masih jauh dari apa yang disebut sebagai upaya menyejahterakan rakyat. Kesan kuat dari keberadaan mereka justru melanjutkan peran kapitalisme di era kolonialis: mengisap darah dan air mata penduduk pribumi!
Pengalaman masyarakat Riau setelah jutaan hektar lahan mereka dieksploitasi untuk perkebunan kelapa sawit oleh perusahaan besar dari negeri jiran, sebagaimana diungkapkan Al azhar dari Lembaga Penelitian Universitas Riau, memperlihatkan bahwa tali rasa keserumpunan itu sudah tidak ada dalam konteks kapitalisme global.
Sejak perusahaan yang konon sebagian besar sahamnya dimiliki rakyat Malaysia ini hadir di Riau, sudah lebih dari 15 kali konflik terjadi dengan masyarakat lokal yang merasa dirugikan. Seperti halnya sifat dasar perusahaan kapitalis yang lebih berorientasi semangat materialisme yang tinggi, pendekatan sosial budaya tak pernah menemukan muara dalam setiap konflik yang muncul.
Upaya sejumlah lembaga swadaya masyarakat di Riau yang ingin meredakan ketegangan dengan membentuk semacam protokol resolusi konflik bahkan tidak ditanggapi. Dialog intensif yang ingin dibangun antara masyarakat dan perusahaan besar yang ada di Riau, dengan penekanan pada dasar-dasar pendekatan sosial, ekonomi, dan budaya, itu tidak pernah bisa berjalan bila sudah melibatkan perusahaan kapitalis dari negeri tetangga tersebut.
Ternyata, di tangan kapitalis yang zalim dan arogan, semangat persaudaraan dan romantisme budaya serumpun yang didengung-dengungkan selama ini tidak bermakna sedikit pun. ”Ini pengalaman saya bertahun-tahun berada di Riau, negeri yang—bersama Kalimantan—barangkali paling menderita selama 50 tahun terakhir sejak kebangkitan kapitalisme Indonesia dan di Asia Tenggara ini,” tutur Al azhar, yang juga Kepala Bandar Seni Raja Ali Haji.
Jika sudah demikian, hubungan yang dilandasi semangat keserumpunan hanya romantisme di ruang hampa. Dan, ketika segala sesuatu diletakkan dalam bingkai semangat kapitalisme global yang meterialistik, peradaban pun tengah dipertaruhkan. Tak terkecuali nilai-nilai keserumpunan yang kini semakin sayup terlihat dalam keseharian kita.... (ken)
Sumber: Kompas, Jumat, 17 April 2009
No comments:
Post a Comment