Makassar, Kompas - Sekitar 4.000 manuskrip klasik Bugis-Makassar beraksara lontara’ dan Arab belum terdokumentasi. Sejumlah 4.048 lontara’ lainnya telah terdokumentasi dan disimpan dalam bentuk mikrofilm di Badan Arsip Nasional Makassar dan masuk katalog. Akan tetapi, katalog itu tidak lengkap atau keliru mendeskripsikan naskah sehingga menyulitkan peneliti.
Filolog Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin, Makassar, Muhlis Hadrawi, menyampaikan hal itu di sela diskusi ”Bincang-bincang ’Seks’ Bugis ala Assikalaibineng” di Makassar, Minggu (5/4).
Menurut Muhlis, manuskrip klasik Bugis tersebar di seluruh Sulawesi Selatan, terkonsentrasi di Kabupaten Bone, Barru, Soppeng, Wajo, Sidrap, dan Sinjai. ”Sementara manuskrip Makassar tersebar di Makassar, Gowa, Takalar, Jeneponto, dan mungkin di Bantaeng,” kata Muhlis.
Dari pengalamannya menyusun tesis ”Assikalaibineng, Teks Hubungan Suami-istri dalam Naskah Klasik”, Muhlis juga menemukan banyak katalog mikrofilm manuskrip Bugis di Badan Arsip Nasional Makassar yang keliru dan tidak lengkap.
Di awal penelitiannya, Muhlis hanya menemukan 20 teks yang dalam katalognya menyebutkan Assikalaibineng atau tata cara hubungan suami-istri. ”Ketika saya meneliti lagi koleksi mikrofilm ternyata ada 26 naskah lain, varian dari Assikalaibineng. Banyak juga katalog yang belum lengkap,” ujarnya.
Terseraknya manuskrip Bugis dan Makassar menyulitkan penelitian. Untuk merampungkan penelitiannya tentang kitab Assikalaibineng, misalnya, Muhlis juga menggunakan tiga kitab Assikalaibineng yang belum terdokumentasi dan dimiliki warga Bone dan Barru.
”Setelah buku Assikalaibineng dicetak, baru saya menemukan kitab Assikalaibineng yang tersimpan di Jakarta. Itu kitab Raja Bone yang dicuri Belanda pada 1905. Kondisi itu menyulitkan penelitian, padahal Sulawesi Selatan merupakan salah satu daerah yang sangat kaya dengan manuskrip klasik sehingga banyak diminati peneliti,” kata Muhlis.
Hasil penelitian dan penerjemahan manuskrip klasik Bugis dan Makassar hingga kini belum diminati penerbit. (ROW)
Sumber: Kompas, Senin, 6 April 2009
No comments:
Post a Comment