-- Aryo Wisanggeni G dan Putu Fajar Arcana
KESETIAAN dan kecintaan yang ”keras kepala” adalah kunci rahasia eksisnya Teater Koma sampai kini. Tidak banyak kelompok teater di Indonesia yang mampu bertahan dan produktif mementaskan karya selama 34 tahun tanpa henti.
Perjalanan panjang yang diwarnai jatuh bangun itu disebut N Riantiarno alias Nano sebagai ”proses mengungkapkan rasa terima kasih kepada alam dan kehidupan”. Itulah yang menjadi alasan seluruh awak Teater Koma bertahan. Kecintaan kepada teater bukan sekadar keinginan untuk menghibur, melainkan sebuah penghayatan yang sublim atas keberlimpahan yang diberi alam kepada hidup.
Pengembaraan yang dilakoni Nano berkeliling Nusantara tahun 1975 seperti sebuah ”kelahiran kedua”. Pada tahun 1968, aktor kelahiran Cirebon, 6 Juni 1949, itu tergabung bersama Teater Populer yang didirikan mendiang Teguh Karya. Sejak 1970, ia membantu Teguh memproduksi sejumlah film. Namun, ketika Teguh Karya semakin fokus membuat film, Nano justru merasa film bukan dunianya.
Ia memilih berkeliling Indonesia. Penelusurannya atas berbagai kesenian dan teater rakyat itu membawa Nano menginjak keringnya tanah kala kemarau menyengat Dompu, Pulau Sumbawa, Provinsi Nusa Tenggara Barat.
”Para petani bawang di Dompu yang sangat miskin bersenandung kepada alam, dengan diiringi tetabuhan kenong dan gendang, juga gesekan biola. Nyanyiannya bagus sekali. Mungkin mereka bertanya mengapa hujan tidak juga turun di Dompu?” kata Nano.
Peristiwa itu begitu membekas di hati Nano. Para petani seperti tidak peduli, apakah dengan ritual sederhana itu lantas hujan turun menjadi berkah di daerah mereka yang tandus. ”Tetapi itulah, setiap bentuk pertunjukan seni rakyat selalu hadir sebagai ungkapan rasa terima kasih kepada alam,” tambah Nano.
Apa yang Nano dapatkan dalam perjalanan selama setengah tahun itu lantas dipadukan dengan gaya teater modern. Dalil teater ala Stanislavsky yang dipelajarinya di bangku kuliah Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) Jakarta, ia lengkapi pengalaman saat bergumul dengan kesenian rakyat Cirebon sejak duduk di bangku SMA Negeri I dan II Cirebon ditambah kerja kreatifnya di Teater Populer. Boleh dikata dua anasir itulah yang menjadi elemen-elemen dasar pertunjukan Koma sampai kini.
”Setiap pertunjukan teater rakyat menggabungkan seni peran, musik, tarian, nyanyian, humor, kadang akrobat atau silat,” ujar Nano. Teater Koma melebur seluruhnya ke dalam satu bentuk pertunjukan yang seolah ”baru”. ”Ini teater rakyat sebenarnya,” kata dia.
Kelahiran
Teater Koma dilahirkan 12 pekerja seni, termasuk Nano dan Ratna Karya Madjid. Perempuan kelahiran, 23 April 1952, ini kemudian menjadi pendamping hidup Nano. Tak hanya berbagi peran di biduk rumah tangga, pasangan yang menikah Juli 1978 itu berbagi peran di ”kapal besar” bernama Teater Koma. Nano menjadi sang kreator seni dan Ratna mengurus dapur produksi; mulai dari urusan mencari uang modal pentas, mengurus makan, poster, biaya properti, mencari sponsor, mengurus gedung, menjual tiket, dan hal-hal kecil lain.
Bersama para awak Teater Koma yang setia, pasangan itu merasakan getirnya represi rezim Orde Baru yang kerap melarang Teater Koma pentas. Sebut saja pentas Maaf, Maaf, Maaf tahun 1978, Sam Pek Eng Tay tahun 1989, Suksesi tahun 1990, dan pementasan ulang Opera Kecoa tahun 1990.
Nano sadar sejak awal apa yang ia pentaskan berangkat dari persoalan sosial, bukan persoalan pribadi atau persoalan para awak Teater Koma. Oleh sebab itu, ia tahu persis resikonya ketika berhadapan dengan rezim yang otoriter.
”Ternyata ada yang marah ketika kami menyajikan ’foto’ yang apa adanya, karena ia menyangka masalah yang dipanggungkan adalah masalah dirinya sendiri,” tukas Nano.
Nyatanya, pelarangan demi pelarangan pentas yang mewarnai kerja kreatif Teater Koma tak menyurutkan minat orang menonton pementasan mereka. Ratna mengenang keanehan yang terjadi dalam setiap pertunjukan Teater Koma pada awal tahun 1980-an.
”Kita kan tahu, penonton teater zaman itu biasanya orang yang itu-itu juga, seniman yang model baju apa adanya, pastinya bukan orang yang gemar memakai parfum. Tetapi pertunjukan Teater Koma pada tahun 1980-an menjadi fenomenal karena penonton pementasan kami justru orang kantoran yang wangi-wangi,” ujar Ratna.
Represi yang dialami Teater Koma justru mencuatkan kegelisahan banyak orang tentang kebebasan berekspresi warga yang direnggut penguasa. ”Masyarakat membutuhkan katarsis massal, lalu menonton Teater Koma untuk tertawa bersama, menertawakan persoalan kita yang tidak terselesaikan. Sebagian besar penonton bahkan tidak pernah meminta uang tiketnya dikembalikan jika mereka gagal menonton karena pementasan kami dilarang rezim Soeharto,” ujar Nano.
Dari sejumlah pelarangan pentas itu, pentas kedua Opera Kecoa tahun 1990 yang membekas di hati Ratna. ”Akibat pelarangan itu, rencana pementasan Opera Kecoa di Tokyo, Osaka, Fukuoka, dan Hiroshima, Jepang, batal semua. Berkahnya tetap ada, karena tahun 1992 Opera Kecoa justru dipentaskan oleh kelompok teater asal Australia, Belvoir Theatre. Waktu mereka mendengar pementasan kami dilarang, mereka malah datang. Setelah tahu isi naskahnya, mereka terheran-heran mengapa pertunjukan kami dilarang,” kata Ratna sambil menunjuk poster besar pementasan Opera Kecoa di Sydney, yang turut dipamerkan saat Teater Koma mementaskan lakon Sie Jin Kwie Kena Fitnah , 4-26 Maret 2011 di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta.
Utang pun jadi
Bukan hanya keberanian mengkritik yang membuat Teater Koma hidup terus. Di situ ada persoalan konsistensi dalam berkarya. Selama 34 tahun berkiprah di panggung teater Indonesia, tidak ada satu tahun pun yang dilewati Teater Koma tanpa pementasan. Padahal, para pemain Teater Koma tak terikat kontrak kerja, bekerja dengan pendapatan yang serba tidak pasti, namun loyal dalam ikatan paguyuban.
”Jangan sangka kami selalu punya uang untuk pentas. Kalau takut pentas karena tidak punya uang, pastilah Teater Koma sudah bubar dari dulu,” kata Nano sembari menambahkan ia pernah berutang pada rentenir untuk ongkos produksi.
Bagi Nano, berproses di Teater Koma ibarat berkreasi di atas gerbong yang melintas di atas dua rel: artistik dan manajemen. ”Gerbong kegiatan produksi ada di atas kedua rel itu. Ia menuju ke stasiun yang kita tuju. Hasil kegiatan kreatif tidak mungkin bisa ada jika tak ada manajemen. Saya tidak akan bisa berbuat apa-apa jika tidak ada Ratna yang mengurus manajemen produksi pementasan Teater Koma,” kata Nano.
Ratna tertawa menceritakan mengapa sang suami begitu produktif menghasilkan skenario film dan sinetron, seperti skenario film Jakarta-Jakarta yang meraih Piala Citra 1978 atau skenario sinetron Karina meraih Piala Vidia 1987. ”Untuk bisa membuat satu pementasan, Mas Nano harus menulis dua skenario film. Hasil penjualan skenario film itu yang jadi modal biaya produksi kami,” katanya.
”Saya yang mencari uangnya, Mas Nano yang menghabiskan uang itu. Selalu seperti itu,” kata Ratna tertawa. Ratna mengaku sering kali mendebat Nano jika keinginannya menghabiskan banyak uang. Sutradara, kata Ratna, harus tetap dikontrol agar tidak ”semena-mena” atas nama ekspresi. Padahal, itu akan menghabiskan banyak dana.
Sadar bisa bertahan karena dukungan penonton yang setia, Teater Koma mencoba loyal kepada penontonnya. Dimainkan dengan jurus manajemen apa pun, harga tiket Rp 75.000 (tiket terbanyak) hingga Rp 200.000 tidak akan menjadikan para awak Teater Koma yang terlibat produksi lebih dari tiga bulan kaya. Apalagi harga tiket hari kerja yang berkisar Rp 50.000 hingga Rp 150.000. Setiap hari tersedia 40 kursi tiket harga mahasiswa, Rp 25.000.
”Kami sedih karena ada yang menilai Teater Koma sudah komersial, sudah kaya. Padahal, harga tiket itu tidak sepenuhnya menutup biaya produksi kami,” tutur Ratna.
Kenapa tidak menjual tiket lebih mahal dan memperpendek waktu pentas?
”Kami pernah mempertimbangkan untuk menjual tiket yang lebih mahal, sebagaimana pertunjukan lain yang menjual tiket Rp 1 juta. Namun, pilihan harga tiket adalah pilihan audiens penonton. Jika kami menjual tiket termurah Rp 100.000 atau lebih mahal, itu berarti kami sudah memilih audiens kami adalah kelas menengah atas. Kami ingin loyal kepada penonton kami dan akhirnya memilih tetap menjual tiket terbanyak dengan harga Rp 50.000,” ujar Ratna.
Pertunjukan Teater Koma bisa tersaji karena ada sejumlah donatur yang mau merogoh kantong lebih dalam. ”Buat orang yang tahu menghitung biaya produksi, mereka tahu kami tekor. Orang-orang seperti itulah yang justru mau membantu, dengan memberi uang Rp 2,5 juta untuk selembar tiket. Jadilah para donatur itu memberi subsidi silang buat penonton lain,” ujar Ratna.
Nano mengakui tekor di akhir produksi jarang terjadi. ”Honor selalu ada. Namun, apa yang didapat jauh dari cukup untuk menghargai proses kreatif para aktor kami. Jika orang bertanya mengapa kami bertahan 34 tahun dan tetap bisa pentas setiap tahun, ada tiga jawabannya. Penonton kami yang loyal, aktor dan pekerja seni Teater Koma yang loyal dan militan, dan para donatur kami,” ujarnya.
Tak beranjak
Mengapa secara bentuk dan artistik sepertinya Koma tidak berubah? Tidak takut pada suatu hari Anda ditinggalkan penonton?
”Apa persoalan yang mengemuka di masyarakat, itulah yang kami pentaskan, dan prosesnya tidak selalu sederhana. Proses kreatif naskah RSJ, misalnya, lahir dari premis saya bahwa dunia sudah menjadi rumah sakit jiwa yang besar, dan saya ada di dalam rumah sakit jiwa itu. Masalahnya, saya tidak tahu apakah saya ini pasien atau dokter,” kata Nano. Obrolan kami ditelan suara musik dan lagu awak Koma yang sedang melakukan persiapan pentas hari ke-19 lakon Sie Jin Kwie Kena Fitnah.
Setengah berteriak Nano mengatakan, untuk menyusun naskahnya, semua anggota Teater Koma berkeliling rumah sakit jiwa di Indonesia, mengamati kehidupan di dalam rumah sakit. Nano kemudian bertugas menulis naskah berdasarkan pengamatan para awak Koma. Naskah setengah jadi lalu dipresentasikan, didiskusikan, ditulis ulang sampai menjadi naskah final.
”Yang penting dari sebuah naskah bukan reading , melainkan kesadaran para pemain mengapa naskah itu lahir dan mengapa sebuah naskah harus dipentaskan,” ujar Nano soal pementasan RSJ pada November hingga Desember 1991 yang membuatnya diinterogasi tiga hari oleh aparat.
Perjalanan merefleksikan persoalan masyarakat selama 34 tahun menjadi sebuah seni pertunjukan membuat Nano tersadar bagaimana manusia selalu berkutat dalam tragedi dan ironi hidup yang sama. ”Kalau mau dibandingkan, semua naskah teater semodern apa pun berkutat dengan seluruh masalah yang telah diangkat dalam naskah teater para pujangga Yunani, mulai dari Euripides, Aeschylus, Sophocles, dan Aristophanes. Konteks dan masalahnya tentu berbeda, ditentukan ruang dan waktunya dan perkembangan peradaban kita. Namun, semuanya seperti perulangan yang selalu ditulis ulang dalam berbagai bungkus persoalan,” ujar Nano.
Lalu apa sih peran teater dalam kehidupan ini, kok Anda dan para awak Koma begitu setia?
Perjalanan 34 tahun itu juga membuat saya tersadar bangsa ini tak beranjak ke mana-mana. Tubuh bangsa ini sakit. Selama 34 tahun Teater Koma masih memanggungkan persoalan tubuh masyarakat yang tetap sakit. Hanya fokus kami yang berubah-ubah, dari mata yang sakit, telinga yang sakit, hati yang sakit. Kita tidak pernah belajar dari pengalaman, tidak pernah belajar dari sejarah. Yang celaka, penguasa sejak zaman Soekarno sampai sekarang selalu menganggap rakyat bodoh dan dengan mudah membodohi rakyat. Padahal rakyat tahu, hanya saja silent majority selalu diam....
Saya berakar dari teater rakyat, meramu semua yang saya pelajari. Perjalanan panjang teater rakyat pun dipengaruhi oleh banyak sumber kisah Mahabarata di Jawa misalnya, menghasilkan Semar, Gareng, Petruk, Bagong, yang tidak ada dalam kisah Mahabarata India. Kita mengambil, mengolah, dan menjadikan sesuatu kesenian itu menjadi milik kita sendiri. Bali tak pernah khawatir diambil keseniannya, karena jika dicontoh, yang mencontoh pun tidak akan menghasilkan kesenian Bali. Masyarakat yang memiliki tradisi yang kuat tidak pernah khawatir tentang pencurian kesenian. Namun, masyarakat yang rapuh selalu gaduh.
Awak Teater Koma datang dan pergi. Sejumlah aktor generasi pertama masih bertahan sampai kini. Loyalitas generasi pekerja seni tahun 1977 berbeda dibanding generasi kini. Menurut Nano, tetap harus ada orang-orang yang mencintai dunia teater selama 24 jam. Hanya dengan begitu, teater sebagai refleksi dari kehidupan, di mana kita bisa menertawakan kegetiran dan mengejek ketololan, terus-menerus bisa hidup....
Sumber: Kompas, Minggu, 3 April 2011
No comments:
Post a Comment