Sunday, August 08, 2010

Wanda Baru Cianjuran

-- Dian Hendrayana

FENOMENA sekar anyar dalam dunia seni cianjuran sungguh mengejutkan. Kehadirannya telah mengusik hati seniman cianjuran. Di antara mereka ada yang mendukung, yang ragu-ragu, dan ada pula yang menolak dan bahkan mencibir. Kendati begitu, kehadiran sekar anyar di tahun 2009 telah membuka mata, bahwa ada sesuatu yang baru dalam seni cianjuran .

Di antara mereka yang menolak kehadiran sekar anyar, mempertanyakan hendak dimasukkan ke wanda apakah lagu-lagu dalam sekar anyar? Mereka seakan sepakat bahwa lagu-lagu dalam sekar anyar sama sekali tidak memiliki sifat-sifat wanda yang telah dimiliki seni cianjuran, yakni, papantunan, jejemplangan, dedegungan, rarancagan, serta kakawen. Lalu apakah sekar anyar harus disebut sebagai "anak jadah"? Atau bahkan sekar anyar telah menemukan jati dirinya dalam wanda yang baru dalam seni cianjuran?

Yang pasti, dalam sejarahnya, sejak dikreasikan oleh Kangjeng Dalem Pancaniti di pertengahan abad XIX hingga perkembangan mutakhir di awal abad XI, cianjuran telah mencatat perkembangannya yang cukup panjang. Dari data dokumentasi audio, cianjuran yang sempat direkam 1920-an, seni cianjuran telah mengalami pergeseran, setidaknya hingga akhir abad XX. Pergeseran tersebut terdengar pada waditra, pirigan, serta lagu. Hingga periode sebelum kemerdekaan, perubahan tersebut cukup progresif. Sementara setelah masa revolusi, perkembangannya tampak evolutif. Namun, pada 2009, dengan adanya materi sekar anyar masyarakat cianjuran dibuat terenyak. Wujudnya seperti tidak sama dengan lagu cianjuran yang sudah ada, tetapi sejatinya sekar anyar sungguh berjiwa cianjuran.

**

TAK ada ungkapan yang lebih luhung dari masyarakat seni cianjuran bagi Kangjeng Dalem Pancaniti, kecuali rasa terima kasih yang setinggi-tingginya serta rasa hormat yang seluhur-luhurnya. Beliaulah, RAA Kusumaningrat, bupati Cianjur (1834-1864), yang meletakkan dasar-dasar seni cianjuran yang hingga kini masih terdengar dan bisa dinikmati bangsa luar.

Predikat bupati yang linuhung tak syak lagi dialamatkan kepadanya berkat kreativitas meracik seni pantun yang begitu mengakar sejak sebelum abad XVI, menjadi seni baru yang kemudian oleh masyarakat seni cianjuran dinamai sebagai lagu pantun, pajajaran, hingga akhirnya papantunan. Dikatakan demikian karena lagu-lagu racikan Kangjeng Dalem tersebut diambil dari satu fragmen cerita pantun Mundinglaya Di Kusumah yang saat itu telah dikenal luas di masyarakat Sunda. Bahkan sejak zaman Dalem Wiratanudatar I pun, seperti yang ditulis Enip Sukanda (1975:21) seni pantun telah masuk ke lingkungan padaleman.

Pemilihan fragmen Pantun Mungdingaya Di Kusumah dengan mengambil episode Mungdinglaya terbang ke jabaning langit hingga pulang kembali ke bumi dengan membawa lalayang salakadomas, tentu saja berdasarkan kebutuhan dan kepentingan yang begitu kuat. Boleh jadi "kebutuhan" tersebut mencuat karena dalam episode tersebut merangkum nilai perjuangan dan filsafat hidup (seperti terkreasikan pada lagu Pangapungan), cinta kasih (Mupukembang, Rajamantri, Putri Ninun, Putri Layar, Kaleon, Mangu-mangu, Balagenyat, Manyeuseup), serta pemuliaan terhadap nikmat yang diberikan dari Yang Mahakuasa (Nataan Gunung).

Perlu digarisbawahi bahwa jauh sebelum lahir penciptaan dari buah tangan Kangjeng Dalem Pancaniti, di Cianjur telah hidup seni beluk, degung, kawih pawayangan, tembang wawacan, tembang rancag. Seni-seni tersebut, pada masa-masa setelah kepergian Kangjeng Dalem Pancaniti atau pada masa pemerintahan Prawiradiredja II (1864-1910), dijadikan pula sumber inspirasi untuk melahirkan seni kreasi baru dengan gaya yang telah ditorehkan oleh Kangjeng Dalem Pancaniti. Lagu-lagu kreasi tersebut kemudian dikenal sebagai jejemplangan, dedegungan, dan rarancagan. Itulah lagu-lagu yang terbilang anyar hingga 1920-an.

**

Hingga 1920, paling tidak di Cianjur telah berkembang lagu-lagu kreasi baru berbentuk papantunan, jejemplangan, dedegungan, kakawen, serta rarancagan. Baru pada 1978, ketika Damas menyelenggarakan Pasanggiri Tembang Sunda ke-8, terhadap kelompok lagu-lagu tersebut diberikan istilah wanda. Pelopornya adalah Enip Sukanda dan Ubun Kubarsah. Bahkan hingga kini, istilah wanda tersebut telah menjadi istilah paten untuk membedakan silsilah kelompok lagu yang satu dengan kelompok lagu lainnya.

Lagu-lagu yang telah dikreasikan sejak zaman Dalem Pancaniti, Dalem Prawiradiredja II, hingga Dalem Wiranatakusumah V, hingga tahun 20-an begitu populer dan terus dilantunkan di lingkungan kadaleman Cianjur. Bahkan hingga tahun 30-an, lagu-lagu yang tumbuh dan berkembang di Cianjur tersebut menjalar ke daerah sekeresidenan Priangan. Maka, sejak saat itu masyarakat di luar Cianjur (terutama Bandung, Garut, Sumedang, Ciamis, dan Tasikmalaya), mengenali dan mampu melantunkan seni suara yang tumbuh dan berkembang di Cianjur tersebut. Masyarakat di luar Cianjur, terhadap seni tersebut menamakannya dengan istilah cianjuran.

Memasuki zaman perang kemerdekaan, seni cianjuran terhenti sama sekali. Tak lagi terdengar seniman yang melantunkan papantunan, jejemplangan, dedegungan, rarancagan, kakawen, serta panambih. Baru di awal 1950, seni cianjuran bersemi kembali. Tidak di Cianjur, melainkan di Bandung. Adapun penggeraknya adalah organisasi kesundaan yang di antaranya terdapat Nonoman Sunda dan Daya Mahasiswa Sunda (Damas) yang memelopori kembali kongkur (pasanggiri) melantunkan seni cianjuran. Tertutama pasanggiri yang diselenggarakan Damas, hingga 2009 telah dilaksanakan yang kesembilan belas kalinya.

Dalam perkembangannya pasca 1950-an, muncul lagu-lagu ciptaan baru yang lahir di Bandung atau di luar Cianjur dengan menggunakan gaya cianjuran. Terhadap lagu-lagu baru yang muncul di Bandung dengan menggunakan gaya cianjuran, banyak seniman Cianjur yang tidak suka. Bahkan marah dan mencaci maki, "Itu adalah lagu jadah!"

Namun, para seniman cianjuran yang berdomisili di luar Cianjur pun bergeming. Mereka terus mencipta. Dan mereka menganggap lagu ciptaanya tetap bersandar pada gaya cianjuran. Tercatat beberapa seniman di antaranya Nyi Mas Saodah, Hj. Siti Rokayah, Idi Rosadi, Engkos, Entip Swarakusumah, Sumekar, Emeh Salamah, R. Surmen, Hadori, Ahmad, Endoh, Jaya Surana, Apung S.W., Suwarna, Ubun Kubarsah, Dede Mona, hingga Asep Kosasih. Kecuali pada beberapa lagu Ubun Kubarsah, seperti pada lagu Bentang Kuring, serta pada beberapa lagu panambih, tampak ada nilai kebaruan dan orisinalitas.

Dalam lagu mamaos Bentang Kuring, pada beberapa segmen Ubun sudah tidak lagi menggunakan ornamen yang telah ada dalam gaya cianjuran, tetapi Ubun telah mencoba menjelajahi wilayah motif galideng baru yang belum terjamah seniman cianjuran lain. Ubun juga dengan begitu sadar tidak menggunakan bahan dangding untuk dijadikan lagu mamaos.

**

Mang Koko kerap menyebut bahwa lagu-lagu cianjuran ciptaan pasca 1950-an dengan istilah kembaran. Itu artinya, lagu-lagu baru yang tercipta belakangan hanya merupakan kembaran (duplikasi) dari lagu-lagu yang sudah ada. Proses kreatif yang kontraproduktif. Sesungguhnya ini adalah kenyataan yang cukup pahit di wilayah proses kreatif, namun apa boleh buat, fakta telah mengatakannya demikian.

Menurut Ubun Kubarsah, komposisi kembaran terjadi akibat penggunaan dangding. Keberadaan dangding telah menyumbat kreativitas. Kangjeng Dalem Pancaniti ketika mencipta lagu-lagu papantunan sama sekali tidak terbius dengan kehebatan karya sastra berbentuk dangding yang saat itu tengah digandrungi.

Itu pulalah yang kemudian diadopsi oleh Ubun Kubarsah dalam mengkreasi lagu lagam cianjuran gaya baru serta diberi istilah sekar anyar. Istilah tersebut kemudian dilegalisasi oleh Damas guna memberi label pada lagu wanda anyar yang pada kesempatan Pasanggiri Cianjuran Damas ke-19 dijadikan materi pasanggiri.

Lagu-lagu baru ciptaan Ubun Kubarsah pada sekar anyar adalah lagu-lagu yang diracik menggunakan gaya cianjuran, dengan memberikan harga-harga melodi pada setiap suku kata, kata, frase, klausa, hingga kalimat yang tersurat pada teks. Lagu Kapati-pati yang begitu populer dalam cianjuran adalah lagu bertemakan "pedih karena cinta tak sampai". Kepedihan tersebut sungguh terasa dari komposisi melodi yang menyayat dan menjerit-jerit, ditingkahi dengan teks (pupuh Sinom) yang berbunyi /Hayang ceurik jejeritan/ sing tarik maratan langit….//. Kepaduan antara unsur teks dan musikalitas yang begitu sublim pada lagu Kapati-pati, serta-merta akan luluh lantak dan berantakan manakala teksnya diubah dengan /Sareupna lebah labuan/ pamayang muru basisir….//. Teks Sareupna lebah labuan, pamayang muru basisir sama sekali tidak menyiratkan kepedihan yang menyayat dan menjerit-jerit. Di situ tak ada indikator bahwa teks sareupna lebah labuah harus dibunyikan dengan melodi yang menjerit.

IBenang merah yang terus merambat (berkesinambungan) sejak papantunan, jejemplangan, dedegungan, rarancagan, serta kakawen yang telah begitu dikenal dalam cianjuran, sejatinya bisa ditemukan pula dalam sekar anyar. Sari-sari lagu papantunan hingga kakawen kerap ditemui pada beberapa motif galindeng dalam SA. Sari-sari lagu itu seperti merambat, dari saban periode. Konsep "merambat" dari papantunan hingga lagu-lagu baru pada sekar anyar, memang merupakan konsep garap yang dilakukan Ubun dalam melahirkan lagu-lagu gaya cianjuran warna baru. Jika saja pengamat cianjuran H.D. Bastaman menawarkan istilah wanda rekasari, wanda rundayan, atau wanda karancagen untuk konsep lagu baru milik Ubun, tampaknya istilah wanda rambatan pun perlu dikedepankan. Ya, wanda rambatan. Lalu nama-nama wanda baru tersebut kita bedah bersama dalam bentuk kajian, dengan pikiran jernih dan tidak terburu emosi.***

* Dian Hendrayana, seniman.

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 8 Agustus 2010

No comments: