KONSENTRASI terbesar masyarakat suku Jawa di luar Republik Indonesia terdapat di Suriname, Amerika Selatan. Tahun ini, pada tanggal 9 Agustus, diperingati 120 tahun kedatangan suku bangsa Jawa di Suriname yang kini memiliki populasi 20 persen dari republik berpenduduk setengah juta jiwa itu.
”Kalau tidak ada suku Jawa tidak ada Suriname. Suriname adalah pelangi tempat tinggal pelbagai suku bangsa. Kelompok terbesar adalah keturunan Afrika dan disusul keturunan India. Kelompok keturunan China, Eropa, dan campuran menempati posisi keempat dari penduduk Suriname,” kata Duta Besar Republik Suriname untuk Republik Indonesia Angelic Caroline Alihusain-del Castilho di Jakarta, Rabu (4/8). Kedatangan suku Jawa ke Suriname merupakan takdir sejarah. Menurut Del Castilho, Suriname merupakan wilayah yang bersamaan dengan Pulau Run di Kepulauan Banda diserahkan Inggris kepada Belanda. Sebaliknya, Belanda menyerahkan Manhattan atau Nieuw Amsterdam yang kini dikenal sebagai New York City kepada Inggris.
Pertukaran itu merupakan hasil Kesepakatan Breda tahun 1667 setelah berakhirnya Perang Inggris-Belanda ke-2. Suriname dikembangkan sebagai pusat perkebunan tebu, kopi, kakao, nila (indigo), dan kapas. Semula didatangkan budak dari Elmina (pos dagang Belanda) di Afrika Barat.
Seiring penghapusan perbudakan tanggal 1 Juli 1863, pemerintah kolonial mendatangkan buruh migran. Sebelumnya didatangkan orang Tionghoa dari Jawa sejak tahun 1850.
Selanjutnya datang imigran Portugis dari Pulau Madeira dan imigran Lebanon serta Suriah. Namun, mereka segera meninggalkan perkebunan setelah kontrak kerja selesai.
Orang India pun didatangkan tahun 1873 hingga tahun 1917. Lagi-lagi setelah kontrak selesai, mereka meninggalkan perkebunan dan bekerja di bidang lain.
”Akhirnya didatangkan buruh dari suku Jawa. Percobaan pertama dilakukan dengan kedatangan 94 kuli kontrak tanggal 9 Agustus 1890, diangkut kapal Rotterdamsche Lloyd. Seluruhnya terjadi 34 kali pengiriman dengan total migran dari Jawa sebanyak 32.956 orang,” Del Castilho menjelaskan.
Sebagian besar dari mereka datang dari Jawa Tengah di sekitar Surakarta. Ada pula migran yang datang dari Semarang dan Surabaya. Toekiman Saimbang, seorang diplomat Suriname di Jakarta, mengaku ”si mbah”-nya berasal dari Mojokerto, Jawa Timur. ”Wong Jowo isih isa basa Jawa ning Suriname. Acara selametan, bersih deso lan nanggap wayang isih ana,” kata Toekiman yang menjelaskan masyarakat Jawa Suriname masih memelihara tradisi wayang, bersih desa, selamatan, dan tentu saja berbahasa Jawa pasar yang dikenal sebagai ngoko.
Masyarakat Jawa di sana berbicara dalam bahasa Belanda atau Inggris dalam pergaulan sehari-hari. Sejak kemerdekaan Suriname tahun 1975, banyak warga Jawa yang hijrah ke Belanda.
Mengakar kuat
Eksistensi suku Jawa kini menjadi unsur penting pluralisme di Suriname. ”Sekitar 50 persen kekayaan kuliner Suriname adalah sumbangan masyarakat Jawa. Mereka sudah tidak bekerja lagi di perkebunan. Banyak yang menjadi profesional dan mengisi pos penting di pemerintahan Suriname. Mereka juga memiliki partai politik tersendiri,” kata Del Castilho.
Banyak perempuan Jawa Suriname yang kawin campur dengan suku bangsa lain. Semua proses berlangsung alamiah.
Toekiman Saimbang dengan bangga mengatakan, dalam kabinet Suriname mendatang sudah disebutkan nama empat atau lima menteri suku Jawa dari 17 pos di kabinet baru.
Pelbagai desa dan permukiman suku Jawa kini tersebar luas di Suriname, yang memiliki luas lebih dari dua kali Pulau Jawa.
Menjelang peringatan 120 tahun kedatangan suku Jawa di Suriname, pelbagai acara kesenian digelar oleh masyarakat Jawa yang dibantu oleh Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Suriname. Puncak acara digelar tanggal 9 Agustus di Sasana Budhaya di Paramaribo. (Iwan Santosa)
Sumber: Kompas, Sabtu, 7 Agustus 2010
No comments:
Post a Comment