-- A Ponco Anggoro dan Nasrullah Nara
JAUH sebelum ”Merah Putih” berkibar, Banda sudah dikenal dunia. Karena palanya, bangsa-bangsa penjelajah Asia dan Eropa berebutan menemukan dan menduduki kepulauan di Maluku ini.
Des Alwi (83), tokoh masyarakat Banda, meninjau perkebunan pala di Pulau Banda Besar, Banda, Maluku Tengah, Maluku, Sabtu (24/7). Pertumbuhan pala yang berkualitas prima di kepulauan itu memacu sejumlah negara berlomba-lomba menguasai kawasan tersebut ratusan tahun yang lalu. (KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO)
Kini pamor pulau-pulau kecil di tengah Laut Banda yang luas daratannya hanya 180,59 kilometer persegi itu seakan tenggelam ditelan bumi. Sungguh ironis, di tengah pesatnya teknologi transportasi, Banda justru kian sulit dijangkau.
Hanya karena—”dalam rangka”—Sail Banda, sebulan terakhir, frekuensi persinggahan kapal PT Pelni diperbanyak. Tiga kapal Pelni menyinggahi Pelabuhan Banda Naira dalam waktu dua pekan, yakni Ciremai, Bukit Siguntang, dan Tatamailau. Sebelumnya, kapal Pelni hanya singgah sekali sepekan.
Transportasi udara lebih memilukan lagi. Baru sebulan terakhir penerbangan dua kali seminggu ke Banda dari Ambon. Sebelumnya, Banda bisa tidak dijangkau penerbangan dalam waktu tiga bulan.
Karena kondisi ini, tidak sedikit warga Banda memilih merantau ke daerah lain untuk mencari nafkah. ”Banda seperti tidak dilihat lagi oleh pemerintah. Mungkin pemerintah sudah lupa sejarah Banda dahulu. Nyaris tidak ada upaya membuka lapangan kerja bagi anak-anak Banda,” ujar La Ona Ladisa, pemuda setempat.
Begitu pula di sektor pendidikan. Meski sudah ada perguruan tinggi di Banda, buku-buku penunjang kuliah anak-anak Banda sering sulit diperoleh. ”Untuk membelinya, kami harus ke Ambon, naik kapal 10-12 jam. Kalau pesan untuk dikirim, biayanya mahal. Ongkos kirim satu buku mencapai Rp 50.000,” kata Handrima Lakapota (19), mahasiswi Sekolah Tinggi Perikanan Hatta-Sjahrir.
Bagaimana dengan pala yang dulu jadi magnet bangsa Eropa untuk menjelajah dan menjajah Nusantara? Pohon-pohon pala telah banyak yang mati.
”Dari 500.000 batang yang pernah ditanam Belanda, kini tinggal tersisa 20.000 batang. Itu pun kebanyakan sudah tua, sekitar 80 tahun, dan sudah seharusnya diganti pohon baru,” kata Des Alwi, sejarawan dan tokoh masyarakat Banda, sekaligus pemilik PT Banda Permai, perusahaan perkebunan yang mengolah pala di lahan milik Pemerintah Provinsi Maluku.
Warga menelantarkan pohon- pohon pala, bahkan menggantinya dengan tanaman lain, seperti cengkeh, umbi-umbian, dan jagung karena harga jual pala turun hingga Rp 3.000 per kg.
”Puluhan tahun lamanya pala tidak lagi menjadi andalan masyarakat. Sebagai gantinya, masyarakat banyak yang mengandalkan hasil laut untuk hidup,” kata Suparman (48), warga Kampung Adat Lontor di Pulau Banda Besar.
Geliat warga tetap memperoleh penghasilan dari pala dengan mengolah kulit pala menjadi sirup pala, manisan, dan selai pun tak berjalan mulus.
”Sejak 20 tahun yang lalu warga telah membuat hasil-hasil olahan pala. Tapi, hasil olahan kami tidak kunjung memperoleh izin Departemen Kesehatan dan Badan Pengawasan Obat dan Makanan meski beberapa kali kami disurvei pejabat pemerintah,” kata Jenna Bahalwan (48), warga Kampung Adat Namasawar di Pulau Naira.
Akibatnya, hasil kreasi pala hanya terjual di Banda. Pembelinya cuma wisatawan yang sedang ke Banda dan penumpang kapal laut saat kapal laut singgah di Banda.
Setelah pamor pala Banda menyusut abad ke-19 ketika pala Banda tersaingi pala Sulawesi, Jawa, Sumatera, Bengkulu, dan juga dari koloni Perancis dan Inggris, sepuluh tahun terakhir ini pamornya perlahan bangkit.
Penanggung Jawab Operasi Koperasi Pala Banda Rajab Saleh mengatakan, harga pala dan fuli atau bunga pala belakangan ini terus meningkat. Sekarang harga pala Rp 80.000 per kg, sedangkan fuli Rp 120.000 per kg. Dari setiap kilogram biji pala yang dihasilkan satu pohon saat panen bisa diperoleh 2 ons fuli.
Pohon-pohon pala yang masih ada mulai dirawat warga. Sejumlah pohon baru mulai ditanam sehingga sekitar satu tahun lalu warga mulai meraup keuntungan.
Setiap kali panen, Juli-Agustus dan November-Desember, hampir semua warga, termasuk perempuan, pergi ke ladang di belantara hutan, menjaga pohon-pohon pala dan mengumpulkan pala yang sudah siap panen. ”Kami sampai harus tinggal di hutan karena, kalau tidak begitu, pala bisa dicuri orang lain,” kata Suparman, seraya menambahkan, pala olahan umumnya dikirim ke Ambon dan Surabaya, Jawa Timur.
Kehidupan warga
Sektor perikanan Banda pun megap-megap. Cara menangkap ikan masyarakat masih tradisional. ”Kami masih mengandalkan ikan lumba-lumba. Kalau ada ikan lumba-lumba, berarti kami pancing ikan. Kalau tidak, kami tidak menangkap ikan,” ujar Awad Wongsopati (50), warga Kampung Adat Ratu Naira.
Jadi, meski pemerintah memberikan bantuan mesin motor, mereka kerap tak memperoleh hasil tangkap yang maksimal karena cara menangkap ikan yang masih sederhana.
”Kalau beruntung, kami memperoleh penghasilan bersih maksimal Rp 200.000. Namun, seringnya justru tidak dapat karena tak ada lumba-lumba. Apalagi kalau ombak besar, kami tidak bisa melaut,” ujar Awad.
Masalah lain adalah tidak adanya pabrik es, ruang penyimpanan ikan, dan stasiun pengisian bahan bakar.
Penjualan ikan masyarakat juga masih bergantung pada kapal-kapal timbang ikan yang singgah di sana. Saat musim panen, kapal timbang ikan sering tidak bisa membeli semua ikan nelayan sehingga sebagian terpaksa dibuang.
Pariwisata merupakan sektor lain di Banda yang terus meredup. Pasca-kerusuhan Maluku tahun 1999, kejayaan pariwisata Banda meredup. ”Tamu-tamu di hotel menurun drastis. Setiap tahun saya biasa menerima turis sampai 300 orang. Setelah 1999, maksimal yang datang hanya 50 orang per tahun,” kata Bahri, pengelola penginapan Delfika di Pulau Naira, Banda.
Buruknya kondisi transportasi ke Banda tidak hanya menyulitkan wisatawan datang, tetapi juga bagi warga Banda sendiri yang mau pulang kampung. ”Orang harus berdesak-desakan dengan barang,” kata Prof Dr Burhan Bungin, tokoh masyarakat Banda.
Masyarakat Banda
Tidak salah jika kondisi yang demikian membuat masyarakat Banda menuntut Banda dijadikan kawasan ekonomi khusus. Tuntutan ini mencuat saat Kongres Masyarakat Banda se-Indonesia akhir Juli lalu.
”Potensi perikanan, pala, dan wisata di Banda akan lebih bisa dioptimalkan jika ada badan otorita khusus untuk Banda. Selama ini seluruh potensi itu tidak berkembang karena Banda hanya salah satu kecamatan di Kabupaten Maluku Tengah,” kata Burhan Bungin.
Namun, Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad yang datang ke Banda untuk upacara penyambutan kapal-kapal layar peserta Sail Banda mengatakan, usulan itu untuk sementara belum bisa diterima. Alasannya, belum ada komoditas unggulan Banda yang membuat Banda layak jadi kawasan ekonomi khusus.
Sebagai pelipur lara, Menteri dan juga Gubernur Maluku Karel Albert Ralahalu berjanji untuk memperbaiki kehidupan nelayan.
Semoga janji itu dipenuhi segera sehingga masyarakat tidak lagi merasa terpinggirkan, sebagaimana dikemukakan Kepala Kampung Adat Ratu Naira Awad Senen (73).
Sumber: Kompas, Sabtu, 7 Agustus 2010
No comments:
Post a Comment