-- Jaya Suprana
DAHLAN Iskan, bos Jawa Pos yang kini dibebani tugas sebagai Direktur Utama PT PLN, menyatakan hasrat menggratiskan biaya listrik bagi rumah tangga miskin di Indonesia. Alih-alih dipuji, apalagi didukung, hasrat kemanusiaan Dirut PT PLN itu malah dicemooh oleh berbagai pihak, mulai dari wartawan sampai anggota DPR. Bentuk cemooh juga beraneka ragam, mulai dari muluk-muluk, mustahil, rekayasa politik, cari popularitas, udang di balik batu, sampai tidak mendidik, bahkan merusak mental kemandirian rakyat.
Lantaran kekuasaan Dahlan Iskan di PLN tidak semutlak seperti di Jawa Pos, ia pun tak kuasa memaksakan kehendaknya yang sebenarnya cukup selaras dengan harapan orang banyak, dengan kemanusiaan dan Pancasila.
Di bagian dunia yang lain, Nelson Mandela dikritik, bahkan diancam akan kehilangan dukungan politik masyarakat kulit hitam, ketika ingin mengajak masyarakat kulit putih ikut terlibat secara langsung dalam pembangunan negara dan bangsa Afrika Selatan. Namun, Nelson Mandela mampu memaksakan kehendaknya karena saat itu ia kepala negara Afrika Selatan.
Demikian pula Ibu Theresa karena independensinya mampu memaksakan kehendaknya untuk menolong kaum miskin dan papa di Kolkata, India, meski ditentang oleh mereka yang mencurigai pengabdian kemanusiaan Ibu Theresa. Ada yang mengatakan, apa yang dilakukan wanita itu hanyalah kedok penyebaran agama Katolik. Ada pula sebaliknya, kritik yang menyayangkan kenapa Ibu Theresa tidak mengatolikkan kaum miskin dan papa yang sudah susah payah ditolongnya.
Kebaikan yang dilawan
Lain halnya dengan nasib Bupati Banyuwangi periode 2005-2010 Ratna Ani Lestari yang ingin memaksakan kehendaknya menggratiskan biaya pendidikan. Sebuah niat baik mengikuti keberhasilan yang sama dari Bupati Jembrana Prof Dr I Gde Winasa yang kebetulan suaminya. Namun, ternyata hasrat atau niat baik itu justru menjadi bahan serangan oposisi lawan-lawan politik Ratna.
Begitu pun sang suami, Bupati Jembrana Prof I Gde Winasa, gagal memenangi pemilu menjadi Gubernur Bali. Tidak lain karena program penggratisan pelayanan kesehatan dan pendidikan di Kabupaten Jembrana yang tentu disambut baik oleh rakyat banyak, tetapi ternyata habis-habisan ditentang oleh mereka yang kehilangan sumber nafkah.
Tampaknya memang sebuah keniscayaan, selalu ada kreativitas untuk menolak tindakan mulia yang berangkat dari sebuah niat baik. Dalam soal niat menggratiskan biaya pendidikan di atas, muncul argumen penentang bahwa usaha tersebut tidaklah mendidik rakyat untuk memiliki mental mandiri. Jika demikian, semestinya kita mengasihani anak-anak Jerman yang tidak perlu membayar biaya sekolah atau dipaksa membeli pakaian seragam. Anak-anak Jerman semestinya sangat dependen atau selalu tergantung.
Tidak mudah
Dalam skala lebih kecil, saya pun memiliki pengalaman serupa di bidang pelayanan kesehatan. Ketika masih menjadi ketua umum sebuah yayasan rumah sakit swasta di Jawa Tengah pada 1980-an, saya berniat dan mengusulkan program untuk menggratiskan pelayanan kesehatan bagi kaum miskin di rumah sakit yang saya pimpin itu. Namun, alih-alih didukung, saya malah dituduh tidak realistis, tidak mendidik, tidak profesional, cari popularitas, bahkan korup.
Karena kebetulan memiliki kekuasaan dan kebetulan juga didukung oleh keluarga, teman, para dokter, perawat, dan pabrik obat yang masih memiliki nurani kemanusiaan, saya berhasil. Kelas Bakti di rumah sakit tersebut akhirnya didirikan untuk memberikan pelayanan dan perawatan rumah sakit gratis bagi para pasien yang lemah ekonomi. Sayang, ketika masa jabatan tersebut selesai, Kelas Bakti langsung dibubarkan oleh pengurus yayasan berikutnya. Katanya, kelas itu tidak mendidik, tidak sesuai dengan profesionalisme manajemen rumah sakit yang baik dan benar.
Terus terang saya merasa iri dan malu kepada Muhammadiyah yang kini di Jakarta terbukti berhasil mendirikan bukan hanya kelas di dalam sebuah rumah sakit, tetapi justru sebuah rumah sakit yang memberikan pelayanan kesehatan gratis kepada kaum miskin dan papa.
Tentunya tidak mudah mendapatkan penjelasan sosio-kultural untuk situasi mental publik yang menyulitkan terlaksananya niat baik, sebaliknya memudahkan terselenggaranya niat jahat. Boleh jadi karena semakin masifnya perbuatan jahat atau tidak baik kita lakukan, membuat kita kemudian menjadi lebih mudah menerimanya sebagai kelumrahan. Jangan-jangan juga sebagai bagian dari kebaikan.
Mental itu berkembang, kemudian menjadi semacam defends mechanism untuk melindungi ketidakbaikan dan kejahatan kita sendiri. Karena itu, dibutuhkan sebuah sikap mental baru yang terarah dan terpimpin untuk membalik kecenderungan di atas. Karena peradaban yang memelihara manusia, dan mengembangkannya, sesungguhnya adalah peradaban yang digerakkan oleh niat baik. Sudahkah kita?
* Jaya Suprana, Komponis, Pendiri Muri, dan Pemerhati Masalah Kemasyarakatan
Sumber: Kompas, Sabtu, 7 Agustus 2010
No comments:
Post a Comment