Sunday, August 01, 2010

Obituari: Maestro Batik Itu Telah Tiada

-- Ninuk Mardiana Pambudy

SEPERTI pergelaran wayang kulit yang menjadi minatnya, Iwan Tirta (75) telah tancep kayon. Ia menutup perjalanan hidupnya, menghadap Sang Khalik pada hari Sabtu (31/7) pukul 08.35 di RS Abdi Waluyo, Menteng, Jakarta.

Indonesia kehilangan putra terbaik lagi dengan perginya sang maestro batik. Menurut asisten pribadinya, Sutisna, Iwan dirawat di rumah sakit selama 10 hari karena komplikasi tingginya gula darah, infeksi paru dan jantung, serta lima hari terakhir gagal ginjal. Selepas asar, jenazah Iwan Tirta dibawa ke TPU Karet untuk dikebumikan di makam ayah dan ibunya.

Hadir di rumah duka di Jalan Panarukan, Menteng, antara lain Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Armida S Alisjahbana, yang ibunya bersepupu dengan ibu Iwan Tirta, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Linda Amalia Sari, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik, serta Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo dan Tatik Fauzi Bowo yang bertetangga dengan Iwan Tirta di Menteng.

Turut melayat sahabat dan desainer, antara lain Toeti Herati Noerhadi, Ghea S Panggabean, Harry Darsono, Fauzi Ichsan, Pia Alisyahbana, Baron Manansang, Joop Ave, Rachmat Gobel, Niniek L Karim, dan Linda Hoemar.

Nusjirwan Tirtaamidjaja, nama lengkapnya, menjadi sosok istimewa dalam perjalanan seni batik modern Indonesia. Dengan pemahaman teknis hingga ke falsafah mendalam, Iwan berhasil mengangkat batik menjadi gaya hidup kalangan atas Tanah Air dan internasional. Sumbangan tersebut terasa hingga kini.

Iwan membatik di atas berjenis sutra dan kemudian wol. Ciri khasnya, corak ukuran besar dan tegas, termasuk untuk kain perempuan. Ia memopulerkan lapisan prada keemasan sehingga batik tampil mewah dan megah. Dengan mengajak desainer Chossy Latu, Iwan mengubah batik dari kain panjang menjadi gaun indah yang praktis.

Iwan Tirta pula yang membuat batik Indonesia mendunia ketika tampil dalam majalah bergengsi National Geogprahic edisi Amerika pada akhir 1980-an. Iwan ditampilkan sebagai ikon batik Indonesia dan Okky Asokawati, kini anggota DPR, menjadi model membawakan gaun malam karya Iwan.

Iwan pula yang membuatkan kemeja batik para kepala negara Asia Pasifik peserta pertemuan APEC 1994 di Istana Bogor.

Menurut Ketua Ikatan Perancang Mode Indonesia yang pernah menjadi asisten Iwan, Sjamsidar Isa, Iwan juga memelopori batik dalam interior ketika berhasil meyakinkan hotel-hotel bintang lima di Jakarta dan Bali memakai batik saat konferensi pariwisata PATA tahun 1970-an.

Corak batik Iwan Tirta juga yang digunakan Chossy Latu dalam desain seragam awak Garuda Indonesia yang masih dipakai hingga kini. Pemahaman yang mendalam pada batik pula yang membuat Iwan tanpa kesulitan memindahkan corak batik ke dalam peralatan makan porselen dan barang perak.

Linda Amalia Sari, salah satu pendiri Rumah Pesona Kain, dan Niniek L Karim mengenang Iwan Tirta sebagai sosok yang siap membagi pengetahuannya yang luas kepada siapa saja.

Pribadi yang kaya

Iwan Tirta adalah pribadi yang kaya. Ayahnya, Mohamad Husein Tirtaamidjaja, hakim kelahiran Purwakarta, Jawa Barat. Ibunya, Ramah Saleh, berasal dari Bukittinggi, Sumatera Barat, pernah belajar di sekolah kedokteran STOVIA. Iwan sendiri lahir di Blora, 18 April 1935. Orangtuanya memperkenalkan Iwan pada budaya Jawa, terutama cara hidup kalangan ningrat, serta disiplin pendidikan Barat.

Banyak faktor membuat Iwan yang semula bercita-cita menjadi ahli hukum dan diplomat beralih menjadi seniman batik.

Setelah menyelesaikan sarjana hukum dari Universitas Indonesia tahun 1958, Iwan melanjutkan pendidikan S-2-nya ke London School of Oriental & African Studies, London University (1961). Dia mendapat master of laws dari Yale University di New Haven, Connecticut, AS (1967), dan beasiswa Yayasan Adlai Stevenson di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Dana hibah dari John D Rockefeller III Fund memberi kesempatan Iwan mempelajari tarian Kesunanan Surakarta. Saat itulah Iwan belajar tentang batik dalam kosmologi Jawa, konteks Indonesia, dan kaitannya dengan seni lain, seperti tari, wayang, musik, hingga ukir.

Sebelumnya, Indonesianis dari Cornell University, AS, Bennedict Anderson, yang indekos di rumah orangtua Iwan di Menteng saat sedang meneliti di Jakarta, mendorong Iwan mendokumentasi batik. Maka, lahirlah buku Batik, Pola & Tjorak-Pattern & Motif (1962, Djambatan).

Sosok yang juga memengaruhi Iwan Tirta adalah Panembahan Hardjonagoro (Go Tik Swan), empu batik dan budayawan yang diminta Presiden Soekarno membuat batik Indonesia. Iwan menyebut Hardjonagoro (meninggal 5 November 2008) sebagai gurunya.

Kecenderungannya pada kerja ilmiah membuat Iwan mendekati batik secara rasional, seperti terlihat dalam bukunya, Batik, A Play of Light and Shades (1996, Gaya Favorit Press), yang menuturkan sejarah batik Indonesia dalam konteks sosial dan budaya dengan pembabakan seperti pertunjukan wayang. Versi bahasa Indonesia dengan tambahan informasi lebih personal lahir kemudian dalam Batik, Sebuah Lakon (2009, Gaya Favorit Press).

Warisan

Meski namanya besar sebagai budayawan dan maestro batik, dari sisi bisnis Iwan tidak terlalu berhasil.

Setelah krisis ekonomi 1998, upaya mendirikan usaha bersama mitra bisnisnya kandas. Iwan pun kehilangan hak atas merek Iwan Tirta. Produk yang lahir kemudian menggunakan nama IT Private Collection. Belakangan dia mendirikan PT Pusaka Iwan Tirta dan pada 1 Desember 2010 berencana meluncurkan Yayasan Iwan Tirta yang akan mengembangkan corak batik Iwan Tirta.

Bagi Iwan, batik hanya berkembang bila dikenakan sehari-hari.

Menurut Iwan, kunci melestarikan batik adalah melalui pendidikan dan riset. Justru pada dua hal itu Iwan merasa prihatin karena pemerintah dan masyarakat masih abai meski batik Indonesia telah diakui Unicef sebagai warisan budaya dunia tak benda.

Ia sendiri telah mewujudkan keyakinan itu. Dengan bantuan Rachmat Gobel, Iwan mendokumentasi digital beragam corak batik, termasuk ciptaannya, setelah krisis ekonomi 1998.

Dimintai komentarnya, Gubernur DKI Fauzi Bowo mengatakan, demi kepentingan pelestarian dan pengembangan budaya bangsa, diperlukan upaya asertif untuk mengembangkan batik warisan Iwan Tirta. Walau bersedia memfasilitasi, ia mengatakan, hal itu tergantung dari keluarga.

Iwan pernah mengatakan, meski tak melahirkan batik, ia akan terus memelihara dan mengasuh yang ada. ”Seperti emban,” ucapnya.

Kini, sang maestro telah tancep kayon, menemukan pelabuhan terakhir di pangkuan Sang Khalik. Tetapi, warisannya harus terus berkembang bersama Indonesia. (iya)

Sumber: Kompas, Minggu, 1 Agustus 2010

No comments: