-- Tjahja Gunawan
Waktu menunjukkan pukul 7.00 pagi hari Sabtu (31/7). Udara pagi yang sejuk masih terasa menusuk badan, tetapi orang-orang yang biasa bersepeda di trek offroad Jalur Pipa Gas sudah banyak yang berkumpul di sekitar Warung Mpok Cafe.
Sebagian dari mereka yang berjumlah 30 orang itu sudah bersiap-siap untuk bersepeda ke daerah terpencil di kawasan Gobang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Jarak tempuh BSD Serpong-Gobang pergi pulang sekitar 90 kilometer.
Namun, sebagian perjalanan yang dilalui penuh dengan siksaan tanjakan, melewati jalan setapak perkampungan penduduk, tegalan sawah, dan ladang pertanian.
Meski demikian, hamparan padi yang menguning serta gemercik air sungai yang bening mengiringi niat hati kami—para pesepeda—untuk berbagi dengan masyarakat Gobang, terutama anak-anak sekolah yang ada di daerah terpencil itu.
Kami pergi ke Gobang tidak hanya sekadar bersepeda, tetapi sekaligus melakukan misi sosial, yakni memberikan bantuan berupa buku dan uang kepada masyarakat, khususnya anak-anak sekolah yang tinggal sekitar 58 kilometer dari Ibu Kota itu.
Uang sumbangan yang berhasil dikumpulkan memang tidak banyak, hanya Rp 7.720.000, tetapi semoga perbuatan ”kecil” ini bisa berdampak ”besar”.
Menurut Agung Green T, ketua rombongan pesepeda, sumbangan uang diperoleh dari beberapa penyumbang dan hanya memanfaatkan jalur media sosial Facebook, Twitter, dan forum sepedaku.com.
Sementara buku-buku yang disumbangkan ada yang sengaja dibeli dan sebagian lagi berasal dari sumbangan Kompas-Gramedia Cyclist dan dukungan dari Djarum Cycling Community.
Bersepeda mendaki ke kawasan Gobang tidak disarankan bagi pemula karena medan yang dilalui cukup terjal dan butuh kemampuan fisik serta keahlian lebih dalam bersepeda.
Untuk menjangkau daerah terpencil di Gobang, hanya bisa dilakukan dengan berjalan kaki, motor, dan bersepeda. Lebar jalan yang dilewati sangat sempit sehingga kalau motor atau sepeda berpapasan di jalan, salah satu harus berhenti.
Oleh karena itu, tidak heran, beberapa pesepeda terpaksa harus mengatur napas saat mendaki tanjakan terjal agar bisa sampai di tujuan akhir, yakni Madrasah Ibtidaiyah (MI) Uswatun Hasanah di Kampung Cimanceuri, Desa Banyu Asih, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Menurut Citra (44), yang sudah mengajar sekitar lima tahun di sekolah tersebut, di MI Uswatun Hasanah ada 6 guru dan jumlah murid 98. Namun, jumlah ruangan hanya dua karena itu jadwal sekolah anak-anak di sana harus diatur. Kelas 1-2 antara pukul 08.00 dan 10.00, kelas 3-4 pukul 09.30-11.00, dan kelas 5-6 pukul 11.00-12.30.
Gedung sekolah itu baru ada sekitar tiga tahun yang lalu dan hanya berisikan bangku serta kursi sederhana, tanpa ada buku-buku sebagai referensi mereka belajar.
Sebagian buku-buku yang dibawa pesepeda kemudian dibagikan setelah tiba di MI Uswatun Hasanah. Begitu kami datang, anak-anak di sekolah itu tampak riang, apalagi Oolyne, seorang host acara TV Jakarta Bersepeda, mengajak anak-anak tersebut untuk bermain dan bernyanyi bersama.
Meski sudah mengenakan pakaian seragam, tetapi beberapa murid masih ada yang terpaksa memakai sandal ke sekolah. ”Tidak punya uang untuk beli,” kata sebagian dari mereka ketika ditanya mengapa tidak menggunakan sepatu ke sekolah.
Acara penyerahan sumbangan buku dan uang disaksikan guru dan para murid sekolah MI Uswatun Hasanah. Setelah itu, para pesepeda menikmati sajian makan siang karya penduduk setempat.
Tentu saja kami sangat lahap menikmati sajian makanan kampung yang sederhana tetapi nikmat itu. Nasi panas, ikan asin, pete segar dan bakar ditambah sambal terasi, sayur asem, semua terasa nikmat saat tenaga terkuras dan suasana membawa semua ke sebuah memorabilia kampung dan masa kecil.
Namun, segarnya air kelapa yang disajikan penduduk terasa hambar dan pahit diterima lidah saat dihadapkan pada ketimpangan pembangunan sebuah sarana pendidikan di daerah itu.
Bagi pesepeda, Gobang adalah trek yang unik. Perpaduan antara tanjakan ekstrem dan turunan yang aduhai. ”Boleh dibilang light down hill track,” ujar Agung yang sudah berulang kali ke kawasan Gobang.
Awal tahun 2000, saat jalur ini ditemukan beberapa pesepeda, listrik ke daerah terpencil ini belum masuk. Sementara bangunan sekolah hampir rubuh, masyarakat yang dilewati tidak jarang menutup pintu rapat-rapat saat beberapa pesepeda melewati depan rumah mereka.
Pertanian vs industri
Namun, satu-dua kali dilewati, akhirnya mereka mencair, setidaknya air minum selalu ditawarkan oleh setiap penduduk. Kesan ramah tanpa pamrih tergambar dari raut wajah mereka.
Dalam rentang 10 tahun hingga sekarang, suasana itu sedikit berubah. Beberapa anak muda lebih memilih menjadi tukang ojek daripada meneruskan menggarap ladang pertanian yang subur milik orangtua mereka.
Karena itu, akhirnya sebagian lahan sawah yang sangat subur itu dialihkan untuk kegiatan tambang emas. Kawasan Gobang memang berdekatan dengan lokasi penambangan emas Pongkor di Bogor.
Masyarakat setempat yang sebetulnya mampu bertahan dari pertanian lantas tergiur untuk mendapatkan uang lebih dengan mengonversi sebagian lahan pertanian mereka dengan area tambang. Akhirnya, lahan pertanian ditinggalkan dan sebagian di antaranya memilih menjadi penambang gelap dengan upah yang relatif kecil.
Penambang perseorangan hanya mendapat upah Rp 5.000 per gram. Dalam sehari, rata-rata tiap orang hanya memperoleh 5-10 gram dari gilingan batuan.
Sebagian penduduk yang tergoda menjadi penambang gelap umumnya berpikir terlalu sederhana. Mereka tidak perlu lagi terlalu capai menjaga lahan pertanian atau suntuk menunggu datangnya musim panen tiba.
Namun, kalau alam yang asri sekarang berubah menjadi industri tambang, siapa yang harus bertanggung jawab atas kerusakan ekosistem dan pola hidup masyarakat di sekitar Gobang dan Pongkor? Pertanyaan tersebut terus mengusik pikiran kami selama mengayuh sepeda pulang ke rumah.
Sumber: Kompas, Senin, 9 Agustus 2010
No comments:
Post a Comment