-- Ignas Kleden*
Bentara edisi 11 Juli 2008 mengetengahkan bagian pertama dari kuliah Ignas Kleden pada STA Memorial Lecture di TIM, Jakarta, 29 Mei 2008. Berikut bagian terakhir dari kuliah tersebut.
KESULITAN membaca Grotta Azzurra sebagai karya sastra disebabkan sekurangnya dua alasan. Pertama, untuk mengikuti teori Paul Ricoeur, setiap bentuk wacana selalu merupakan gabungan antara peristiwa dan makna, dan terwujud sebagai event-meaning dialectic. Secara khusus, hal ini menjadi penting dalam novel karena novel adalah sebuah cerita dengan perkembangan peristiwa dalam waktu. Peristiwa itu menjadi menarik karena di sana dilaksanakan atau diejawantahkan satu atau beberapa makna khusus. Peristiwa membuat suatu makna terlaksana, tetapi peristiwa itu segera berlalu. Yang dapat dipelajari dari peristiwa adalah makna yang tetap tinggal.
Dalam novel ini kita dijejali dengan beragam makna yang berat-berat, tetapi makna berupa ide itu tak hidup karena semua melayang di atas peristiwa dan tak muncul dari peristiwa itu sebagai sesuatu yang wajar dan alamiah. Diskusi panjang lebar di bab XIX buku ini, tentang seni lukis modern pada Kandinsky, Mondrian, atau Delanay, memang amat menambah pengetahuan kita tentang sifat seni lukis modern, tetapi kita tak merasa bahwa diskusi itu mesti terjadi di Napoli. Ia dapat terjadi di mana saja asal saja ada beberapa seniman dan kritikus seni berkumpul.
Hubungan peristiwa dengan makna sangat longgar, sementara konteks hanya tampil sebagai latar yang mengantar kita kepada diskusi dan setelah itu menjadi tak penting lagi. Semua kita mengetahui bahwa salah satu keunikan sastra ialah bahwa dia bercerita tentang peristiwa-peristiwa antara manusia yang sudah terjadi jutaan kali, tetapi atas cara yang dapat membuat pembaca menghayatinya sebagai sesuatu yang baru sekali itu terjadi. Keunikan sastra sebagai suatu genus literarium ialah mengubah yang nomotetis menjadi ideografis (menggunakan istilah Dilthey) atau menerjemahkan pengalaman umum menjadi suatu peristiwa khusus dan unik.
Kedua, sebuah karya sastra, berbeda dari jenis tulisan lain, mempunyai nilai tambah bahwa makna yang lahir dari cerita itu diproduksikan oleh teks itu sendiri dan bukan hanya diproduksikan oleh berbagai kenyataan luar yang dirujuknya. Sastra berbeda dari jurnalistik atau ilmu pengetahuan karena makna yang diproduksikan dalam jurnalistik dan ilmu pengetahuan selalu lahir dari hubungan teks dengan dunia di luar teks. Fakta dalam kewartawanan dan data dalam ilmu pengetahuan adalah dunia luar teks yang kemudian dihubungkan dengan teks oleh seorang wartawan atau seorang peneliti dalam ilmu pengetahuan.
Menurut Paul Ricoeur, makna yang lahir dari hubungan teks dengan dunia di luar teks dinamakan reference atau referensi, sedangkan makna yang diproduksikan oleh teks sendiri dinamakan sense yang boleh kita terjemahkan sebagai makna tekstual. Makna tekstual lahir dari hubungan antara subyek dan predikat dalam kalimat, sedangkan referensi lahir dari hubungan antara bahasa dan dunia di luar bahasa. Dengan merujuk kepada konsep Fregge tentang Sinn und Bedeutung, Ricoeur merumuskan bahwa ”sense is what the proposition states, reference or denotation is that about which the sense is stated”. Tanpa makna tekstual ini, maka pada waktu ada diskusi tentang seni renaisans dan seni modern, novel itu berubah jadi buku sejarah kesenian; pada waktu ada diskusi tentang partai komunis Italia, dia berubah jadi sebuah risalah ilmu politik; dan pada waktu ada diskusi tentang agama, cinta, dan kehidupan seksual, dia berubah jadi buku tentang filsafat etika.
Sebagai perbandingan, novel Mochtar Lubis, Harimau! Harimau!, niscaya akan menjadi sebuah cerita tentang para pemburu dengan kesaktian yang membuat seseorang ditakuti, bahkan oleh binatang buas, kalaulah pada akhir cerita tidak dikisahkan bagaimana orang yang selama itu dianggap sebagai kepala pemburu itu dan selalu menindas rekannya ketahuan bohongnya dan ternyata hanya seorang pengecut. Setelah dia ditangkap dan diikat oleh rekan-rekannya pada sebatang pohon agar dapat diterkam oleh harimau yang selama ini mereka buru bersama, muncul dilema untuk rekan-rekannya sendiri ketika harimau datang mendekat untuk menerkamnya. Mereka harus memilih untuk menembak harimau itu atau membiarkan hewan itu mencabik-cabik tubuh kepala pemburu yang amat mereka benci.
Akhirnya harimau itu yang ditembak mati, meskipun dendam kepada kepala pemburu itu masih bernyala di hati teman-teman pemburu lain. Ketika peluru ditembakkan dan harimau itu roboh, mereka merasa lega karena dengan menembak satu harimau, mereka merasa menaklukkan dua harimau sekaligus, yaitu harimau hutan yang mengganggu kehidupan penduduk dan harimau yang selalu mengaum dalam hati setiap orang dan menggodanya untuk berbuat jahat. Membunuh harimau dalam hati itu adalah makna yang diproduksi oleh teks Mochtar Lubis dan bukannya makna yang lahir dari hubungan teks dengan dunia di luar teks.
Novel Grotta Azzurra, pada hemat saya, bukanlah karya sastra yang berhasil karena novel itu hanya penuh dengan makna-makna referensial dan hampir tidak memberikan kita makna tekstual yang dilahirkan dari teks-teks novel itu. Makna-makna referensial berupa ide-ide besar tentang berbagai soal tidak dilibatkan dalam event-meaning dialectic, tetapi seakan melayang di atas berbagai peristiwa itu, dengan hubungan yang amat longgar dengan konteksnya. Ide-ide tidak lahir dari peristiwa, tetapi berjalan sendiri, sementara peristiwa-peristiwa hanya menjadi latar yang tidak penting dan bisa dilupakan saja ketika diskusi tentang ide-ide tersebut berlangsung.
Dalam arti itu, kita dapat memahami kritik Asrul Sani pada tahun 1950 bahwa STA memang seorang guru dan besar jasanya mengajar kita tentang banyak perkara, tetapi penghayatannya sebagai seorang penulis sastra memang tak jelas. Kalau kita mengikuti perkembangan novel STA sejak awal, akan terlihat bahwa dalam tiga novel pertama yang diuraikan di sini, peristiwa masih penting, tetapi maknanya tak begitu menonjol. Berperannya ide dalam novel STA dimulai dengan Layar Terkembang, kemudian diteruskan dalam Grotta Azzurra, dan menjadi sangat ekstrem dalam novel besar ini. Di sini terjadi hal yang sebaliknya: makna menjadi hal yang utama, yaitu makna referensial; peristiwa menjadi hal yang tak penting.
Di sini kita dapat melihat kesulitan yang tak bisa diatasi oleh STA dalam menuliskan novelnya, bahwa dua komponen cerita, yaitu peristiwa dan makna, sulit disatukannya dalam satu paduan yang benar-benar organis. Setiap penulis novel niscaya mulai dengan sebuah gagasan, tetapi proses kreatif akan mengubah gagasan itu menjadi peristiwa dan membuat peristiwa itu melahirkan makna. Perpaduan ini tak muncul dalam novel-novel STA.
Kalau dia melukiskan peristiwa, dia dapat melukiskannya dengan baik, seperti deskripsi hutan rimba dalam Anak Perawan Di Sarang Penyamun, atau deskripsi keadaan Sungai Musi dalam Dian Yang Tak Kunjung Padam. Meski demikian, lukisan-lukisan yang hidup itu tidak menjadi konteks yang kuat untuk munculnya suatu peristiwa. Di lain pihak, kalau dia hendak mengemukakan ide, maka ide-ide itu tampil dengan sangat telanjang dengan beberapa tempat sebagai latar belakang, tetapi kemudian tak ada lagi hubungan di antara tempat-tempat itu dan ide yang sedang dibahas atau dipikirkan seperti dalam Grotta Azzurra.
Bagaimana hal ini dapat dijelaskan? Di sini hubungan pengarang dan cerita yang disusunnya menjadi penting. Kita dapat bertanya: siapa atau apa yang bercerita dalam sebuah novel? Apakah yang bercerita adalah cerita itu sendiri atau yang bercerita adalah pengarangnya? Tentu saja pengarang tetaplah orang yang menyusun sebuah cerita, tetapi yang menjadi soal kemudian ialah apakah dalam proses kreatif penulisan itu pengarang memberi kebebasan cukup kepada ceritanya untuk berkembang sendiri berdasarkan kemungkinan dan keharusan-keharusan yang muncul dari jalannya cerita, ataukah pengarang dengan ketat mengawasi perkembangan cerita itu dan melakukan intervensi-intervensi langsung ke dalam cerita.
Semakin sedikit kebebasan cerita untuk berkembang, semakin tidak wajar cerita itu karena pengarangnya tidak menyembunyikan diri dan tidak membiarkan cerita berkembang sebagai suatu peristiwa yang muncul secara alamiah. Cerita yang berhasil selalu menampilkan pengarang hanya sebagai invisible hand, yang dapat menghilang di balik ceritanya, sehingga tidak menimbulkan kesan bahwa cerita itu karangan dia semata. Konstruksi pengarang harus berubah menjadi peristiwa literer, dan kelihatan sebagai peristiwa literer dan bukannya sebagai konstruksi pengarang.
Dalam Layar Terkembang, kehadiran tokoh Yusuf sebagai mahasiswa sekolah kedokteran dapat kita terima karena Tuti dan Maria adalah orang sekolahan, dengan lingkungan pergaulan orang-orang sekolahan. Kemudian bahwa Maria sebagai anak bekas wedana berkenalan dengan anak seorang demang juga dapat kita terima karena pergaulan anak-anak amtenar mengikuti lingkungan pergaulan orangtua mereka. Sampai di sini cerita cukup wajar. Yang mengganggu pembacaan saya ialah bahwa watak ketiga tokoh itu bagaikan didesain menurut suatu tipologi yang sudah dipersiapkan sebelumnya: Maria yang lemah lembut, manja, dan suka akan bunga-bunga, Tuti yang intelektual dan aktif dalam pergerakan, dan Yusuf yang jatuh cinta kepada yang satu dan menghormati serta mengagumi yang lain. Di sini pengarang kembali bercerita dan bukan cerita lagi yang mengembangkan kisahnya sendiri.
Dalam Grotta Azzurra tampak benar kesulitan STA sebagai pengarang dalam mengendalikan diri sehingga cerita itu tampak benar sebagai buatan pengarang. Ibaratnya, pelatih sepak bola memberi instruksi kepada para pemainnya, tetapi para pemain tidak diberi kebebasan untuk mengembangkan permainan mereka berdasarkan kemungkinan riil yang ada di lapangan. Para pemain setiap saat seakan harus menoleh kepada pelatih di pinggir lapangan untuk melihat ke arah mana telunjuk pelatih diarahkan. Jelas permainan bola seperti itu akan menjadi sangat kaku dan kacau.
Ahmad adalah seorang pelarian politik dari Indonesia yang hidup dengan cita-cita politiknya yang anti-Soekarno. Pengarang menganggap Ahmad perlu mengemukakan pendapatnya tentang politik sehingga disiapkanlah pertemuan dan makan malam di Pulau Capri di rumah Alberto Gerametta, anggota Partai Sosialis Italia, bersama Genesio, anggota Partai Demokrat Kristen. Supaya diskusinya lebih lengkap, perlu didatangkan seorang profesor yang mengajar ilmu politik dan filsafat sosial dari Frankfurt bernama Conrad Weber. Sudah dapat dipastikan bahwa makan malam itu cuma latar yang tidak penting karena yang menjadi fokus perhatian pengarang adalah diskusi politik yang bertele-tele tentang konflik antarpartai di Italia, perbandingan Partai Sosialis Italia dan Partai Sosialis Indonesia, dan tentang menguatnya Partai Komunis Italia. Bab II novel ini lebih mirip proceedings seminar tentang politik internasional dan membuat pembacaannya menjadi berat karena ketiadaan peristiwa yang mendukungnya.
Kita tahu pula bahwa STA adalah pengagum berat kebudayaan renaisans di Eropa. Pandangan-pandangannya dalam Polemik Kebudayaan rupanya dirasanya belum cukup dipahami oleh masyarakat Indonesia sehingga dia merasa perlu menambah keterangan tentang renaisans dalam buku ini. Dengan demikian, perlu dihadirkan seorang yang benar-benar memahami kebudayaan ini, yaitu Marcelin Janet, kekasih Ahmad, yang menemani Ahmad dalam seluruh novel ini. Janet akhirnya meninggalkan Ahmad setelah tahu Partai Komunis Indonesia dikalahkan oleh Jenderal Soeharto dan Ahmad akan pulang ke Indonesia dan kembali kepada keluarganya.
Ketika berlibur ke Firenza, Ahmad dan Janet mengambil waktu melihat peninggalan sejarah kota itu, yang menjadi juga kota kelahiran Dante Alighieri, yang dianggap tokoh peralihan dari Abad Pertengahan ke renaisans. Janet jelas mempunyai pengetahuan yang mendalam tentang peninggalan sejarah di Italia karena pengaruh ayahnya. Sebagai pembaca, kita sudah bisa mengantisipasi bahwa wisata di Firenza ini akan menjadi semacam kuliah tentang seni bangunan Abad Pertengahan dan renaisans.
Seluruh bab XXII novel ini hanya berisi keterangan-keterangan yang diberikan oleh Janet kepada Ahmad tentang siapa itu Filipo Bruneleschi yang hidup dalam abad ke-14 dan ke-15 dan dianggap sebagai arsitek terbesar zaman renaisans dan karya-karya bangunan yang dihasilkannya. Atau tentang pematung-pematung Donatello dan Micholozzo yang membangun makam yang indah dalam gereja Baptisterium, tempat Dante dibaptis sebagai seorang anak Katolik. Atau tentang peralihan motif kesenian Gotik menuju kesenian renaisans.
Semua uraian ini jelas bermanfaat bagi pembaca untuk memahami kesenian zaman renaisans dan Abad Pertengahan, tetapi seorang pembaca novel akan merasa terbeban dengan informasi-informasi sejarah itu, yang tidak jelas apa hubungannya dengan cinta antara Ahmad dan Janet. Kalau kita menyiapkan diri untuk menganggap bahwa bab XXII ini bukanlah bab sebuah novel, tetapi bab tentang sejarah kesenian renaisans, maka bab ini pastilah amat menarik. Sayangnya ini bab sebuah novel. Informasi-informasi sejarah kesenian itu demikian ditonjolkan dalam cerita sehingga terasa bahwa tokoh Janet perlu didatangkan dari Paris hanya untuk menyampaikan informasi-informasi itu, dan dalam pada itu jatuh cinta pada Ahmad.
Contoh-contoh ini dapat diperbanyak dengan mudah karena seluruh buku ini penuh dengan diskusi-diskusi itu, yang pada dirinya mendalam dan pastilah memerlukan penelitian yang luas. Di sini STA tidak lagi tampil sebagai novelis yang bercerita, tetapi seperti dikatakan oleh Asrul sebagai guru yang hendak mengajar orang-orang di sekitarnya tentang segala apa yang dianggapnya penting dalam kebudayaan modern. Kesulitan STA dalam menulis cerita ialah bahwa dia berlaku terlalu didaktis, seperti halnya pak guru di depan kelas. Padahal, pengarang tidaklah mengajar pembacanya, tetapi membiarkan dan malahan membantu tiap pembaca untuk mengajar dirinya sendiri melalui penafsiran dan pemahaman atas cerita yang disiapkan pengarang.
MM Bakhtin dalam studinya yang magisterial tentang novel dan epik mencoba menunjukkan kedudukan novel sebagai suatu genre yang khusus di antara jenis-jenis tulisan lainnya. Istilah ”novel” itu sendiri rupanya sudah menunjuk kepada sifat jenis tulisan ini, yaitu terbuka kepada sesuatu yang baru (novum) dan tidak pasti.
Munculnya novel kemudian secara langsung tak langsung menimbulkan gejala novelisasi pada jenis-jenis tulisan lainnya, dengan menjadikannya lebih bebas dan fleksibel, juga mendorong pembaruan bahasa yang digunakan dengan memasukkan heteroglosia ekstra-literer ke dalam bahasa, membuat sebuah tulisan menjadi lebih bersifat dialog dan dipenuhi dengan ironi, humor, dan parodi. Tetapi, yang paling pokok adalah menyiapkan semacam keterbukaan semantik (semantic openendedness), yang mempertahankan kontak terus-menerus dengan hal-hal yang belum selesai dan terus-menerus terbentuk. Dalam istilah Bakhtin, novel adalah a genre-in-the-making.
Untuk memperjelas karakteristik novel Bakhtin mencoba membedakan novel dari epik. Sebuah epik, kata Bakhtin, selalu menulis tentang suatu masa lampau yang penuh dengan perbuatan-perbuatan unggul yang heroik. Masa lampau dalam epik ini penting sebagai referensi masa sekarang dan dalam praktiknya amat menentukan kesadaran nasional dengan penggunaan bahasa yang bersifat monoglosial, apakah itu bahasa Sanskrit dalam Mahabrata atau bahasa Yunani klasik pada Homeros. Karena itu, pengarang harus benar-benar dipisahkan dari masa lampau tersebut supaya masa itu terjamin kesempurnaannya.
Sebuah novel pada dasarnya berhubung dengan masa sekarang, dan kalaupun masa yang diceritakan adalah masa lampau, hubungan pengarang dengan masa lampau itu tetap dijaga. Dunia novel bukanlah dunia monoglosial, tetapi penuh dengan heteroglosia dan polyglosia karena hubungan internasional menciptakan masyarakat baru yang bersifat interlingual. Tidak ada masa lampau yang menjadi referensi karena segala sesuatu terbuka ke masa sekarang yang sedang terbentuk dan penuh dengan ketidakpastian dan kemungkinan baru.
Dengan kerangka ini, kita dapat mengatakan bahwa STA rupa-rupanya mempunyai kecenderungan epik yang kuat dalam menuliskan novel. Renaisans Eropa baginya merupakan the epic past, sedangkan dunia sekarang, juga Indonesia, harus merujuk ke masa lampau itu. Percobaan-percobaan baru dalam penulisan sastra dan khususnya novel berupa pencarian heteroglosia literer yang baru tampaknya sangat mengganggu dia.
Dapatlah kita memperkirakan bahwa seandainya STA masih hidup dan sekarang hadir di tengah kita dan mendengar uraian ini, dia akan tetap bertahan bahwa dia menganut suatu paham lain tentang sastra, daripada yang dikemukakan dalam pertimbangan-pertimbangan di sini. Akan tetapi, kita dapat menunjukkan kepadanya bahwa terdapat beberapa pertentangan nyata antara apa yang ingin dilakukannya dan apa yang benar-benar dilakukannya dalam sastra. Kalau kita membaca bagaimana dia menguraikan seni modern dalam seni lukis pada Kandinsky atau Mondrian dalam Grotta Azzurra, terlihat di sana pengertiannya yang mendalam tentang cita-cita seni lukis modern, khususnya seni lukis abstrak. Khususnya bagaimana tekanan diberikan kepada warna, garis, irama, dan bentuk, atau seni lukis Picasso, yang tidak memedulikan bentuk benda-benda, tetapi mengolah permainan sinar atas benda-benda itu.
Secara kognitif, STA tampaknya mengetahui semua itu dengan baik, tetapi apabila eksperimen seperti itu diterapkan dalam sastra, misalnya, maka dia menolaknya sebagai sastra dekaden yang mematikan semangat. Pada titik inilah kita melihat kesulitan STA dalam menghargai dan menikmati karya-karya sastra yang dihasilkan oleh Putu Wijaya misalnya, yang dalam pandangan dia hanya berurusan dengan hal-hal remeh yang serba kecil dan trivial.
Sulit baginya memahami bahwa pengarang seperti Putu Wijaya atau Danarto ingin mengembalikan cerita sebagai cerita tanpa pretensi mengajukan tema-tema besar atau berniat mendidik masyarakat dengan karya-karya mereka. Sulit juga baginya menerima bahwa yang penting pada karya penulis-penulis ini bukanlah makna referensial yang didasarkan pada pengetahuan yang luas mengenai berbagai soal, akan tetapi makna tekstual yang diproduksikan dari dalam teks itu sendiri. Kadang kala timbul juga pertanyaan: tidakkah terpikir oleh STA bahwa daripada mengarang novel tentang kesenian renaisans, mengapa tidak langsung saja menulis buku pengantar tentang kesenian renaisans yang dapat dipakai oleh mahasiswa IKJ atau para pengajar di jurusan arsitektur?
Demikian pula individualisme yang begitu dianjurkannya untuk kebudayaan masyarakat baru Indonesia, justru ditolaknya kalau diterapkan oleh para penyair Indonesia dalam sajak-sajak mereka sebagaimana pernah ditunjuk oleh Goenawan Mohamad. Pada titik inilah kita dapat memahami kritik Asrul Sani lebih dari setengah abad yang lalu bahwa pendirian artistik STA susah dipegang karena tidak jelas.
Pernyataan-pernyataan ini tidaklah dimaksudkan untuk mengurangi penghargaan kepada jasa-jasa STA dalam kesusastraan Indonesia, khususnya jasanya dalam mendorong kelahiran angkatan baru yang kemudian dikenal sebagai Angkatan Pujangga Baru, dengan majalah Pujangga Baru sebagai media utamanya. Argumen-argumen yang diajukan di sini hanya bermaksud memperdalam pengertian kita tentang karya-karya STA, khususnya dalam penulisan novel, dengan kesulitan-kesulitan yang dihadapi dan sangat mungkin tak disadarinya selama hidupnya.
Konflik antara peran guru dan novelis, konflik antara pengetahuan dan penghayatan, konflik antara novel dan epik, serta konflik antara pengarang dan cerita adalah beberapa lessons learned yang dapat kita petik di tengah penghormatan besar yang diberikan kepada 100 tahun kelahirannya.
* Ignas Kleden, Sosiolog
Sumber: Kompas, Jumat, 1 Agustus 2008
No comments:
Post a Comment