Tuesday, August 12, 2008

169 Bahasa Daerah Terancam Punah

Jakarta, Kompas - Dari 742 bahasa daerah di Indonesia, hanya 13 bahasa yang penuturnya di atas satu juta orang. Dari 729 bahasa daerah yang penuturnya kurang dari satu juta orang, sekitar 169 di antaranya terancam punah karena berpenutur kurang dari 500 orang.

Agar tidak punah, preservasi dan pemberdayaan terhadap berbagai bahasa daerah di seluruh Indonesia perlu dilakukan secara serius, terus-menerus, dan berkesinambungan.

Hal itu diungkapkan Multamia RMT Lauder dari Departemen Linguistik, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, dalam seminar ”Empowering Local Language Through ICT” yang diadakan Departemen Komunikasi dan Informatika, Senin (11/8) di Jakarta.

Bahasa yang terancam punah itu tersebar di wilayah Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, Maluku, dan Papua. Bahasa Lom (Sumatera), misalnya, hanya berpenutur 50 orang. Di Sulawesi bahasa Budong-budong 70 penutur, Dampal 90 penutur, Bahonsuai 200 penutur, dan Baras 250 penutur. Di Kalimantan bahasa Lengilu 10 penutur, Punan Merah 137 penutur, dan Kareho Uheng 200 penutur.

Di Maluku, bahasa Hukumina 1 penutur, Kayeli 3 penutur, Naka'ela 5 penutur, Hoti 10 penutur, Hulung 10 penutur, Kamarian 10 penutur, dan bahasa Salas 50 penutur. Di Papua, bahasa Mapia 1 penutur, Tandia 2 penutur, Bonerif 4 penutur, dan bahasa Saponi 10 penutur.

Multamia menjelaskan, pada umumnya bahasa daerah yang jumlah penuturnya sedikit cenderung merupakan bahasa yang tidak mempunyai tulisan. Dengan demikian, tradisi lisan yang berkembang pada bahasa-bahasa minoritas ini, jika tidak segera didokumentasikan, akan sangat sulit untuk mempertahankan eksistensi mereka.

Ia berpendapat, harus ada kemauan dari pemerintah dan masyarakat penuturnya untuk menyelamatkan bahasa-bahasa yang terancam punah itu mengingat daya saingnya lemah. Belum lagi tuntutan untuk mampu bersaing dengan bahasa Indonesia yang berstatus bahasa nasional.

”Ada baiknya bahasa daerah yang terancam punah itu diolah menjadi buku dan mulai diajarkan sebagai materi ajar muatan lokal sehingga dikenal generasi muda,” kata Multamia memaparkan. (NAL)

Sumber: Kompas, Selasa, 12 Agustus 2008

No comments: