Sunday, August 10, 2008

Esai: Postmodernisme dan Krisis Identitas Budaya

-- Urwatul Wustqo

PERKEMBANGAN postmodernisme sering berkaitan dengan wacana-wacana budaya (cultural studies) yang mulai mengarah pada entitas perilaku, termasuk dalam relasi hegemoni.

Hal ini dapat dipahami,mengingat di Barat sendiri, kelahiran postmodernisme tidak lepas dari ruang sosial, yang berdemarkasi, baik dalam interaksi individu, struktur sosial kenegaraan, maupun di ruang publik.

Di Eropa sendiri, postmodernisme dianggap sebagai “the haunt of social science”, yang dapat mengebiri realitas menjadi hiperrealitas, foundationalism menjadi anti-foundationalism, konstruksi menjadi dekonstruksi, history menjadi genealogy, dan sebagainya, yang jika masuk ruang budaya seperti menjungkirbalikkan suatu tradisi. Postmodernisme mengklaim dirinya sebagai perwujudan baru dari modernisasi. Progresivitas pembaruan yang hendak ditawarkannya merupakan antiklimaks dari budaya modernisasi.

Dalam perilaku budaya yang meluas pada wilayah hegemonik,modernisasi dianggap telah gagal melakukan suatu semaian perdamaian dan keadilan politik di muka bumi ini.

Dikatakan,dalam bentangan abad ke- 20, record modernisasi menghasilkan perang dunia (world wars), berkecambahnya Nazi-isme di Eropa, tegaknya kamp-kamp konsentrasi, genosida, tragedi Hiroshima, perang Vietnam, Kamboja,revolusi yang terjadi di belahanPersia, danterjadinya kesenjangan antara yang kaya dengan yang miskin. (Pauline Marie Rosenau,Postmodernism and the Social Science,1992) Modernisasi—seperti yang didefinisikan sosiolog Francis Fukuyama (2002) atau agamawan Gilles Kepel (1999)—bahkan mulai menggeliat dalam bentuk “budaya pop” semenjak awal dekade 70-an.

Fukuyama menyebut modernisasi sebagai budaya yang menghasilkan bencana besar (the great disruption), di sana realitas sosial sudah tidak terbendung lagi dengan hiruk-pikuk yang memilukan. Sementara Gilles Kepel menyebutnya sebagai yang menghasilkan disparitas dan obskurantisme yang akhirnya dapat memunculkan sentimen bangkitnya moral agama-agama monoteis di alam postmodernisme. Lalu, pertanyaannya, apakah postmodernisme dapat menggantikan modernisasi dengan segala kekurangan- kekurangannya itu?

Benarkah postmodernisme merupakan perangkat kritis untuk menggempur modernisasi? Lalu, apa saja perwujudan yang telah dihasilkannya semenjak kemunculan gerakan yang disinyalir telah memengaruhi budaya global ini? Secara epistemologis, postmodernisme sarat ide-ide dan nuansanuansa yang begitu luas cakupannya. Kompleksitas dan keniscayaan gerakan intelektual menyuguhkan wacana ini sebagai jargon baru dalam peta gelombang pemikiran.

Orang bisa sepakat dalam tataran epistemologis itu,tetapi apakah hal itu juga berlaku ketika berada dalam tataran praksis. Sentralitas peradaban global yang memunculkan kedigdayaan superioritas itu kemudian menghasilkan ego yang tidak karuan.Konstruksi itu kini tengah mencengangkan dalam pola kehidupan kita di masa kini. Satu per satu fenomena ini bermunculan akibat egosentrisme yang berlebihan,dipicu tragedi 11 September yang mengenaskan dalam sejarah peradaban Amerika, kemudian berbuntut “pertarungan akbar” antara Timur-Islam dengan Barat.

Prediksi ini persis seperti yang diutarakan futurolog Samuel Huntington dalam analisis terkenal clash of civilization. Selanjutnya, klaim-klaim postmodernisme yang berkolaborasi dengan relasi hegemonik mengampanyekan isu-isu humanisasi, egalitarianisme, demokrasi,toleransi,dan sebagainya. Namun, hasilnya malah membuktikan diri secara berbalik arah dengan kondisi budaya umat manusia. Runtuhnya pilar-pilar keadilan sosial mendorong lahirnya anarkisme.

Dari sini lahirlah schizophrenia cultural, yaitu masyarakat manusia yang berwajah garang yang hampir dapat dipastikan akan dijumpai di mana pun, di daratan global ini. Pada tataran ini, paradigma baru perlu dimunculkan sebagai antiklimaks dari semua persoalan itu.Usahausaha untuk menggempur ketidakadilan sosial-budaya secara transnasional perlu dilakukan dengan suatu paradigma baru yang mencerahkan budaya masyarakat global.

Paradigma baru tidak berafiliasi pada status quo yang selama ini mengekang kebebasan manusia untuk bergerak secara bebas.Konstruksi paradigma baru hendak mengartikan kembali nilai kemanusiaan yang bersahaja di tengah bergulirnya nuansa kekeruhan yang dihasilkan postmodernisme.

Mengutip istilah David Lloyd, dalam suasana bayang-bayang pudarnya, budaya dan politik yang berada dalam korporasi globalisasi dan internasionalisasi ini harus diciptakan framework baru dalam tataran sosial yang dapat mengentaskannya dari situasi yang mengekang. Stratifikasi sosial yang selama ini hanya berafiliasi pada nilai kapital harus bisa diubah menjadi bentuk kesadaran kelas (class consciousness) bahwa nilai stratifikasi sosial juga mencakup pada masalah budaya.

(David Lloyd, The Politics of Culture in the Shadow of Capital, 1997) Dengan demikian, postmodernisme dengan segala bentuknya, selain memunculkan paradigma baru, juga merupakan bagian dari keputusasaan saat manusia harus hidup saling ketergantungan di dalam dunia yang satu, tetapi saling mengintai dan saling mencuri kesempatan dalam kesempitan, bahkan menghalalkan keculasan untuk menjadi yang lebih unggul.

Kalau postmodernisme dapat disebut sebagai ideologi budaya baru, barangkali inilah ideologi yang paling absurd, yang orang bisa sepakat dalam tataran epistemologisnya, tetapi tidak dalam tataran praksisnya. Postmodernisme mewakili harapan, sekaligus keputusasaan.(*)

* Urwatul Wustqo, Peminat Sastra Arab UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Sumber: Seputar Indonesia, Sabtu, 09 August 2008

No comments: