-- Nelson Alwi*
PANJANG umur banyak dirasai, jauh berjalan banyak dilihat. Memang begitulah galibnya. Dan dalam bingkai kebaikan yang ideal, apa yang dirasai dan dilihat seyogyanyalah diteruskan atau diceritakan kepada siapa saja. Dengan demikian peristiwa yang dialami tidak terkubur bersama berlalunya waktu. Apalagi pengalaman, sekecil apapun, boleh jadi berguna bagi orang lain; sebagai pembanding atau penambah muatan pundi-pundi pengetahuan. Mana tahu!
Ya, sepengetahuan orang-orang, selama ini kaum wanita di lingkungan keluarga petani di Ranah Minang pada umumnya bertugas mengantar nasi atau paminum kopi (juadah) ke sawah atau ladang, bertanam, bersiang berikut sekian banyak pekerjaan tergolong ringan lainnya. Maka di sinilah uniknya, secara berkelompok para ibu itu nyatanya juga mengenal sekaligus terlibat dengan aktivitas tergolong berat, yang dinamakan bahondoh (sejenis arisan dalam rangka mengolah lahan pertanian yang baru selesai dipanen).
Sejumlah ibu-ibu sebagian besar yang menjanda- berkongsi menggarap sawah mereka. Hari ini mereka memangkur di sawah si "A", besok di sawah "B", lusa di sawah "C", dan begitu seterusnya, sehingga sawah semua peserta kongsi mendapat giliran. Nah. Di areal persawahan di pinggiran Danau Maninjau, Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Provinsi Sumatera Barat, saya menyaksikan sekalian mendengarkan ibu-ibu kelompok bahondoh itu berbararawai alias melantunkan larik-larik berikut bait-bait pantun (berbalas) yang serba komplit, mengandung renungan-renungan tentang suka-duka hidup dan kehidupan yang menariknya dilontarkan secara kocak disertai senda-gurau.
Ujan paneh di Balai Salasa
urang batuduang daun taleh
Kami batanyo usah baa
Sia nan mambalian gigi ameh
(Hujan panas di Balai Selasa
orang bertudung daun talas
Jangan tersinggung kami bertanya
Siapa yang membelikan gigi emas)
Pantun di atas dikumandangkan sembari mengayun cangkul membalikkan kulit bumi. Dan lazimnya, kuplet tersebut disambut dengan kuai alias sorak-sorai "ha-haaai yeh" atau "huuuui yeh". Adapun si "gigi emas" yang memang sedang berada di tengah kaum ibu yang lagi bahondoh itu, tersipu sejenak untuk kemudian membalas (pantun) dengan bijak dan tangkas,
Paku baradai ikan taweh
dilapah urang di ateh parau
Inyo nan maagiah gigi ameh
tiado urang nan alun tau
(Pakis digulai ikan tawes
dimakan orang di atas perahu
Dia yang memberi gigi emas
tiada orang yang belum tahu)
Dan bait jawaban itu pun ditimpali beramai-ramai dengan kuai serta koor nyanyian yang begitu spesifik: "oooo bararawai lah bararawai".
Kemudian, dari bibir peserta bahondoh-bararawai yang nyaris tiada henti memangkur tanah berair itu bermunculan syair-syair spontan ataupun pantun-pantun gubahan penyair anonim yang telah diakrabi sejak lama oleh masyarakat Minangkabau -yang sengaja saya kutip alakadarnya,
Sampuringeh di tapi aia
alah mati mako babuah
Ingek-ingek uda balaia
lauik sati rantau batuah
(Sampuringeh di tepi air
sesudah mati maka berbuah
Hati-hati kanda balayar
lautan sakti rantau bertuah)
Ooo bawarawai lah bararawai
Tanang-tanang taluak Siboga
pandan bagaluik jo ujuangnyo
Sanangkan ati sanak ka tingga
inyo bajalan jo untuangnyo
(Tenang-tenang teluk Sibolga
pandan bergelut dengan ujungnya
Senangkan hati saudara ditinggal
kasihmu berjalan serta untungnya)
Ooo bararawai lah bararawai
Memang, pantun dengan konotasi beragam (berbau ironi, sarkastik, dramatik, romantik, dan melankolik) itu terus berkembang, dipelesetkan, melenceng-lenceng: nasihat-menasihati, ajuk-mengajuk, goda-menggoda, sindir-menyindir menguliti kekonyolan tingkah laku (ke)manusia(an) melalui diksi idiomatikal lokalitas yang mengusung simbol-simbol yang dipetik dari alam sekitar.
Mengenai orang yang tak tahu menaruh sesuatu pada tempatnya, misalnya:
Sikaduduak di tangah padang
ambiak daunnyo untuak ubek
Galak bakukuak ayam gadang
mancaliak itiak batangkelek
(Sikeduduk di tengah padang
ambil daunnya untuk obat
gelak terbahak ayam jago
melihat bebek pakai bakiak)
Ha-haaai yeh.
Sementara tentang orang pelagak, cinta kasih serta kesetiaan, begini:
Anak cacak tabang ka Benteng
tibo di Benteng makan padi
Tan Baro rancak kupiah teleng
diresek saku indak barisi
(Anak cicak terbang ke Benteng
sampai di Benteng memakan padi
Tan Baro gagah berkopiah teleng
dirogoh saku tidak berduit)
Huuuui yeh
Anak urang Sabu Andaleh
andak manjalang ka Kototuo
Bialah bansaik bialah pamaleh
ati den kanai kabaa juo
(Anak orang Sabu Andaleh
hendak pergi ke Kototuo
Biarlah miskin biarlah pemalas
cintaku mendalam mau apa lagi)
Ha-haaai yeh
Ooo bararawai lah bararawai
Hal yang seyogianya dicatat, setiap bait puntun yang berisi dan disajikan secara berkelakar, dengan kata lain mengandung kegembiraan seperti pantun jenaka atau yang bertema cinta terhadap lawan jenis tapi dipelesetkan, selalu disambut dengan kuai. Dan jika pantun itu ditimpali atau merupakan pantun-berbalas maka akan diakhiri dengan kuai serta koor "ooo bararawai lah bararawai". Sedangkan pantun nasib, pantun nasihat berikut keseluruhan kuplet yang relatif serius, senantiasa disudahi dengan nyanyian bernada spesifik "ooo bararawai lah bararawai" saja.
Demikianlah para ibu itu berpantun dan berdendang diiringi kecipak cangkul menerpa tanah berlumpur, ditingkah "mbuk-mbuk" siamang serta simpai di hutan di tepi kampung. Sementara tanpa terasa hari pun berangsur petang, namun "grup" bahondoh- bararawai itu masih kelihatan gembira lagi bergairah.
Mungkinkah bararawai berfungsi sebagai perintang waktu atau untuk membunuh kemonotonan, kejenuhan dan rasa penat?
Entahlah. Pada kesempatan ini saya tidak bermaksud mengajinya. Saya cuma sekadar memaparkan "potret" salah satu sisi kehidupan kaum wanita di pedesaan, yang nyatanya cukup akrab dengan (ke)seni(an). Tidak lebih. Menurut hemat saya, biarlah "bararawai" atau tradisi "bahondoh-bararawai" ini ditangani sebagaimana mestinya oleh pihak-pihak yang lebih berkompeten: sosiolog, antropolog, akademisi para peneliti pantun dan sastra daerah serta lembaga-lembaga pemerintah seperti BPNST (Balai Pelestarian Nilai-Nilai Sejarah dan Tradisi) yang tentunya merasa berkewajiban menginventarisasi aneka khazanah budaya yang bertebaran di persada tercinta ini, yang meski bagaimana, mengandung nilai-nilai luhur yang layak dikaji dan dilestarikan.
Toh, bagi orang seperti saya, yang penting tradisi bahondoh-bararawai itu masih berpantun dan tetap survive sampai saat ini, dalam bahasa lain belum tergerus oleh teknologi modern dan era global yang mengundang rasa gamang.
* Nelson Alwi, pencinta sastra-budaya, tinggal di Padang
Sumber: Suara Karya, Sabtu, 23 Agustus 2008
No comments:
Post a Comment