-- Theresia Purbandini
PADA zaman perang meraih kemerdekaan bangsa Indonesia, beberapa penyair
melahirkan karya-karya sastra mereka yang merupakan rekaman segala bentuk ekspresi jiwa yang tertoreh dalam sebuah puisi untuk menyemangati para pejuang di masa itu.
Perputaran roda zaman telah menggilas makna pahlawan dalam arti yang
sesungguhnya. Saat zaman perang, arti pahlawan adalah orang yang berjasa
kepada tanah air dalam berjuang untuk mencapai kemerdekaan dari penjajahan. Karya-karya penyair Angkatan 45’ banyak diwarnai oleh pengalaman hidup dan gejolak sosial politik budaya yang lebih realistik dibanding angkatan sebelumnya.
Menurut Jamal D.Rachman, “Pada Angkatan 45’ para penyair menuliskan karya-karya mereka sesuai semangat zaman kemerdekaan, di antaranya puisi untuk Diponegoro, Bung Karno, Bung Hatta, dan masih banyak lainnya.”
Hal senada juga disampaikan oleh Joko Pinurbo, penulis puisi yang pernah menjadikan ‘celana’ sebagai bahan eksplorasi dalam puisinya. “Zaman yang
berbeda ikut mempengaruhi kosakata. Di zaman dulu mana ada judul puisinya yang menggunakan telepon genggam,” katanya sambil tertawa. “Tiap angkatan memiliki tema dominan masing-masing. Kalau sekarang susah mencari tema yang dominan, terlebih lagi bila harus membuat angkatan. Karena tema puisi sekarang makin beragam.” kata Joko.
Seiring pesatnya perkembangan zaman, defenisi baru arti pahlawan di mata
penyair sekarang telah bereinkarnasi ke dalam wilayah yang lebih luas. Bahkan Saut Situmorang menyatakan telah musnahnya pahlawan nasional di zaman reformasi ini. “Seseorang di zaman sekarang bisa dikategorikan sebagai seorang pahlawan, justru apabila berangkat dari sebuah keadaan realitas kemiskinan, seperti Wiji Thukul yang berani mengorbankan jiwanya dan tetap konsisten dengan idealisme melakukan perlawanan terhadap kondisi ketidakadilan,” kata Saut bersemangat.
Kini namanya inspirator
Jamal juga berpendapat mengenai makna kepahlawanan dalam puisi di masa
sekarang, tak hanya sekadar pejuang kemerdekaan. Di zaman sekarang arti
kepahlawanan tidak lagi hanya berpatok terhadap orang-orang yang
tercatat dalam sejarah, melainkan orang-orang yang menjadi inspirator
bagi orang lain. Meskipun tak tercatat dalam sejarah atau membuat hal
besar, tapi sejauh langkahnya telah memberikan inspirasi bagi seseorang
atau pun suatu komunitas tertentu, maka akan menjadi pahlawan dalam arti
yang lebih subyektif.
Pahlawan bagi Jamal adalah manusia dengan kapasitas terbatas yang menjalani hidupnya dengan cemerlang. Pergulatan hidupnya di tengah alam, lingkungan dan orang-orang ‘kecil’ yang pendidikan dan sosialisasinya terbatas, tapi ia mampu lahir sebagai manusia yang berarti bagi kehidupan orang lain. Petani tembakau Madura jadi bahan perenungan dalam salah satu puisinya, yang menceritakan betapa pelik kehidupan para petani yang tetap menanam tembakau meskipun dirundung ketidakpastian dalam hidup; tapi mampu jadi gantungan hidup orang banyak.
Berbagai gaya penyair dalam menuangkan hasil karyanya ke dalam torehan
puisi, merupakan penghayatan yang didukung oleh sebuah estetika. Entah
mengalir dalam bahasa yang ‘tinggi’ maupun sederhana, namun terkadang
dalam kesederhanaan itu justru menyelipkan makna yang lebih kental dalam
bahasa yang lebih komunikatif.
Joko Pinurbo yang senang menggelombangkan syair-syairnya secara sederhana mengungkapkan, “saya suka mengolah kompleksitas hidup manusia dengan cara pengungkapan yang sederhana. Saya tidak suka cara pengungkapan yang rumit tapi isinya malah sederhana.” Unsur puitik yang disematkan oleh Joko dan para penyair lainnya secara teknis melalui keselarasan ritme, bunyi dan kemampuannya menyentuh nalar serta menggugah emosi pembaca menjadi kekuatan dari sebuah puisi.
Saut Situmorang yang mengartikulasikan puisi layaknya bercerita, di mana
ada awal, konflik dan ending dalam kisahnya telah menjadi standar
elementer gaya bahasa yang sering ia gunakan. Dengan untaian kata yang
sederhana, jauh dari kesan abstrak sehingga makin menujukkan kadar
kecanggihannya sebagai penyair lewat bahasa sederhana yang digunakannya.
Melanggar pakem
Menurut penyair yang telah berkecimpung dalam dunia puisi selama 20
tahun ini, eksplorasi mendalam yang biasa menginspirasi puisinya tak harus lahir dari dunia mimpi dan khayal yang semu. “Menulis puisi merupakan bentuk komunikasi,” kata Saut.
Penyair tahun 90-an, dianggap Saut, mayoritas meniru frase dan gaya ekspresi Chairil Anwar. Sedangkan menurut Jamal, gaya menulis pusi angkatan sekarang lebih naratif, layaknya sebuah balada yang mengisahkan renungan monolog penyairnya dalam penghayatan tokoh yang ingin disampaikannya melalui guratan puisi.
Pelanggaran terhadap pakem-pakem tertentu, menurut Jamal, demi mencari hal unik yang lebih eksploratif, bilamana perlu harus berani dilakukan. Jika tidak roda perputaran puisi akan terasa statis. Untuk itulah tugas seorang penyair adalah terus bereksplorasi demi kesegaran dunia sastra Indonesia.
Perjalanan puisi dari tahun ke tahun seperti kapal yang terombang-ambing
akan pasang surutnya gelombang yang menaikinya. Bisa dalam keadaan yang
stagnan, tetapi juga bisa goyah akibat karam. Tapi diakui oleh Jamal,
pergeseran yang terjadi setelah angkatan 40-an, pencapaian yang
sangat menonjol dirasakan pada angkatan 70-an.
Setelahnya, yakni angkatan 90-an hingga kini, masih dibutuhkan penelitian yang lebih menyeluruh. Selain karena pendekatan penggunaan diksi yang sudah semakin beragam, juga karena melimpahnya sarana berekspresi melalui berbagai macam media cetak, dunia maya, dan perbukuan.
Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 24 Agustus 2008
No comments:
Post a Comment