-- Suryadi
Buku ini menyajikan untuk pertama kalinya sebuah studi yang luas mengenai dua jenis sumber pribumi (”indigenous sources”) tentang Banten. Kedua jenis teks itu, yang berasal dari abad ke-17 sampai ke-19, adalah Surat-surat Sultan Banten (SSB) dan naskah historiografi tradisional Banten yang disebut Babad Banten atau Sajarah Banten (SB).
/ Kompas Images
Penulis buku ini, Titik Pudjiastuti—dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia—adalah seorang filolog dan kodikolog Indonesia terkemuka yang sudah lama berkecimpung dalam studi pernaskahan Banten. Disertasi doktoralnya, Sadjarah Banten; suntingan teks dan terjemahan disertai tinjauan aksara dan amanat yang dipertahankannya di Universitas Indonesia tahun 2002, membahas secara mendalam aspek filologis, kodikologis, dan historis salinan-salinan naskah SB.
Buku ini adalah hasil studi postdoktoral penulisnya yang tampaknya terus bertekun meneliti khazanah pernaskahan Banten.
Kerja keras Titik Pudjiastuti menyigi lipatan-lipatan arsip di berbagai perpustakaan di dunia—mulai dari Jakarta sampai ke Copenhagen—dan ketekunannya mentransliterasikan pucuk demi pucuk SSB dari aksara Jawa, Jawi, dan Pegon ke aksara Latin dan kemudian menerjemahkan surat-surat yang berbahasa Jawa dan Arab ke dalam Bahasa Indonesia yang memungkinkan pembaca umum kini dapat memahami isinya patut diacungi jempol.
Hasilnya, seluruh SSB dan salinan-salinan naskah SB yang tersimpan di berbagai perpustakaan di dunia kini ”terkumpul” dalam buku ini untuk dipersembahkan kepada pembaca Indonesia.
Agaknya tidak berlebihan jika Indonesianis MC Ricklefs yang menulis Prakata untuk buku ini mengatakan bahwa hasil penelitian Titik Pudjiastuti ini memberi sumbangan yang amat berarti bagi studi sejarah (lokal) Indonesia, khususnya sejarah Jawa dan sejarah Banten pada abad ke-18 dan ke-19.
Organisasi buku ini disusun mengikut dua genre tersebut: bagian pertama membahas SSB dan bagian kedua membahas salinan-salinan naskah SB.
Didahului oleh sebuah bab pendek yang mendeskripsikan secara umum studi-studi terdahulu tentang Banten (Bab 1), penulisnya kemudian sampai ke Bab 2 di mana ia membahas berbagai aspek SSB yang meliputi 54 pucuk surat peninggalan Kesultanan Banten yang sekarang tersimpan di beberapa perpustakaan utama di Indonesia, Inggris, Denmark, dan Belanda.
Surat-surat tersebut dikategorikan menjadi tiga kelompok, yaitu surat-surat dari Sultan Banten (30 pucuk), surat-surat dari bangsawan Banten (19 pucuk), dan surat-surat yang diterima sultan-sultan Banten dari para sahabat atau sekutunya di luar negeri dan dari Pemerintah Kolonial Hindia Belanda (lima surat).
Bab 2 dibagi atas tiga bagian: Bagian A mendeskripsikan panduan transliterasi dan terjemahan SSB; Bagian B berisi deskripsi masing-masing surat yang meliputi: informasi mengenai aspek kodikologis dan nama perpustakaan yang menyimpan surat, reproduksi foto surat (sebagian berwarna), dan transliterasinya dalam aksara Latin. Deskripsi dimulai dari surat yang bertarikh paling tua dan diakhiri dengan yang bertarikh paling muda; Bagian C menyajikan analisis terhadap bentuk, isi, bahasa, aksara, bahan tulis (kertas), dan iluminasi surat-surat tersebut.
SSB, yang umumnya ditulis di atas kertas buatan Eropa, memperlihatkan keragaman dalam aspek bahasa dan aksara yang digunakan. Beberapa surat, yang ditulis di atas kertas bergambar dasar bunga popi bermotif sulur dan tangkai bunga cengkeh, dihiasi dengan iluminasi yang bagus.
Mengutip disertasi Mu’jizah yang membahas bentuk, isi, dan makna simbolik surat-surat klasik Nusantara beriluminasi (Universitas Indonesia, 2006), penulis mengatakan bahwa motif sulur dan bunga popi adalah simbol hubungan manusia dan Tuhan, dan motif tangkai bunga cengkeh adalah simbol keakraban.
Isi SBB mengandung unsur politik dan peperangan, perdagangan, dan hubungan persahabatan.
Dari seluruh surat yang dibahas, 21 pucuk di antaranya beraksara Jawi dan berbahasa Melayu; 8 pucuk beraksara Pegon dan berbahasa Melayu; 3 pucuk beraksara Pegon dan berbahasa Jawa; 10 pucuk beraksara Arab dan berbahasa Arab; 3 pucuk beraksara Jawa dan berbahasa Jawa; 7 pucuk beraksara Jawa dan berbahasa Melayu; 1 pucuk beraksara Latin dan berbahasa Melayu; dan 1 pucuk beraksara Latin dan berbahasa Denmark.
Keragaman aksara dan bahasa yang dipakai dalam surat-surat tersebut merefleksikan peran penting yang telah dimainkan oleh Kesultanan Banten di bidang ekonomi dan politik di masa lalu, baik dalam konteks regional maupun internasional. Sebagaimana telah diungkapkan dalam banyak studi mengenai Banten—lihat misalnya yang paling baru karya Atsusi Ota, Changes of regimes and social dynamics in West Java: society, state and the outer world of Banten (Leiden: Brill, 2006)—Kesultanan Banten termasuk salah satu kerajaan lokal Nusantara yang dari awal berhasil meraih kejayaan di bidang ekonomi dan politik berkat pelabuhan lautnya yang bagus dan paling tidak sejak abad ke-16 telah ramai dikunjungi kapal-kapal dagang dari China, negeri-negeri Arab, dan Eropa.
Isi dan kolofon SSB menunjukkan bahwa paling tidak sejak abad ke-17 Kesultanan Banten telah mengadakan kont(r)ak politik dan ekonomi dengan dunia luar, termasuk Eropa.
Tampaknya negeri Eropa pertama yang dikontak oleh Kesultanan Banten adalah Kerajaan Inggris, sebagaimana dapat dikesan dalam surat yang tertua di antara seluruh surat yang dibahas.
Surat itu, yang bertarikh 1605, dikirim oleh Badan Perwalian Sultan Banten Abdul Kadir kepada Raja Inggris James I. Surat itu, yang disertai dengan dua buah hadiah yang disebut faizar, berisi ucapan selamat dari Sultan Banten kepada Raja James I atas penabalannya sebagai Raja Inggris pada tahun 1603. Sekarang surat itu tersimpan di Public Record Office, London, Inggris.
Surat termuda bertarikh 1819, yaitu surat dari Komisaris Hindia Belanda Cornelis Theodorus Elout yang dikirimkan kepada Sultan Banten Abulmafakir Muhamad Alauddin. Sekarang surat itu disimpan di Universiteitsbibliotheek (UB) Leiden.
Sumber-sumber pribumi, seperti SSB dan SB, masih belum dimanfaatkan secara maksimal dalam studi sejarah Indonesia. Saya berprasangka baik: mudah-mudahan hal ini hanya karena ”kekurangan” kurikulum ilmu sejarah (kita) yang tidak mewajibkan penguasaan membaca aksara Jawi (dan aksara-aksara pribumi lainnya) kepada calon sejarawan kita (Mungkin tidak banyak sejarawan yang melek aksara Jawi), bukan karena ikut-ikutan sikap xenosentrik (xenocentric) yang telah begitu parahnya melanda pikiran bangsa Indonesia.
Terlepas dari adanya sedikit kekurangan berupa ditemukannya beberapa salah cetak, dan juga judulnya yang hanya menonjolkan SSB saja, tak diragukan lagi bahwa buku ini—yang juga dilengkapi dengan lampiran-lampiran yang berisi senarai nama-nama sultan Banten, nama-nama Gubernur Jenderal Hindia Belanda, daftar naskah SSB dan SB yang dibahas, dan cap-cap kertas (watermarks) dan cap-cap tandingan (countermarks) kertas-kertas yang digunakan sebagai alas tulis naskah-naskah tersebut (hal 295-322)—memberi sumbangan yang berarti bagi studi sejarah (lokal) Indonesia dan sastra klasiknya.
* Suryadi, Dosen Opleiding Talen en Culturen van Indonesië Universiteit Leiden, Belanda
Sumber: Kompas, Minggu, 10 Agustus 2008
No comments:
Post a Comment