-- Agus Noor*
CERPEN dan seni rupa memperoleh ruang pertemuan kreatif yang cukup intens sejak Kompas melibatkan para perupa untuk menggarap ilustrasi cerpen yang dimuatnya. Bahkan, Eddy Soetriyono, penyair yang juga pemerhati seni rupa, menegaskan betapa hal itu telah menyebarkan ”virus” penciptaan di kalangan para perupa, di mana muncul kegairahan untuk merujuk karya-karya sastra sebagai sumber kreatif penafsiran dan penciptaan lukisan. Sejak mula, sebagaimana diharapkan Bre Redana, pelibatan para perupa untuk menciptakan ilustrasi cerpen memang diharapkan akan menciptakan suatu pertemuan gagasan antara penulis cerpen dan perupa.
Maka, sejak 2002, kita melihat bagaimana para perupa telah mengeksplorasi ide dan teknik perupaan ke dalam ruang cerita pendek. Selama itu pula kita melihat upaya penafsiran atas teks yang dilakukan oleh perupa. Satu hal, yang kemudian dicatat oleh Bambang Bujono (dalam pengantar Pameran Ilustrasi Cerpen Kompas 2002), menandai pergerakan yang cukup progresif seputar hakikat ”ilustrasi”, karena banyak karya yang dihasilkan oleh para perupa itu memang tidak sekadar berhenti menjadi ilustrasi dari teks cerita. Para perupa lebih menempatkan cerita sebagai sumber ide kreatif penciptaan, untuk kemudian diwujudkan melalui gagasan-gagasan visual yang sering kali mengejutkan, menjauh dari teks cerita itu, karena gambar-gambar itu sekan-akan ”meloncat keluar meninggalkan sastra”, tegas Bujono.
Karenanya, istilah ”Pameran Ilustrasi Cerpen” sesungguhnya sudah tak memadai untuk menjelaskan presentasi rupa yang hadir bersama teks cerita. ”Pameran Lukisan Cerpen” barangkali lebih bisa memperlihatkan pertemuan dan pergulatan ide yang berlangsung dalam proses dialog antara perupa dan teks cerita yang ditafsirkannya. Karena, pada akhirnya, gambar-gambar yang hadir menyertai cerpen itu sesungguhnya bisa dilepaskan dari kerangka teks cerita itu. Gambar atau lukisan itu lebih memperlihatkan upaya kreatif menafsir teks sastra yang kemudian diwujudkan dalam bahasa seni rupa. Karena itu, kita bisa merasakan bagaimana gambar dan lukisan itu tidak sekadar ”menerjemahkan cerita ke dalam gambar”, tetapi juga tampak adanya pergulatan ide perupa dalam merepresentasikan ruang dan bidang gambar yang menjadi mediumnya.
Contoh paling menarik bisa dilihat pada lukisan Rudi Mantofani, yang menafsir cerpen ”Lampu Ibu” Adek Alwi. Cerpen ini sesungguhnya kisah realis tentang seorang Ibu yang begitu perhatian kepada anak yang tersangkut perkara korupsi. Ibu hadir sebagai gambaran penerang moralitas dan nilai-nilai hidup yang baik bagi anak-anaknya; keberadaannya bagaikan lampu. Pada lukisan Mantofani, kita melihat jalanan yang lempang, gelap, dan terkesan misterius, dengan sebuah tanda lalu lintas yang menunjukkan arah yang lurus, dan pada bidang (yang berhasil menghadirkan gambaran ujung jalan yang panjang dan melelahkan) tampak sebuah lampu jalan yang terang, seakan harapan yang menjadi isyarat dalam kegelapan itu. Tak ada gambar sosok ibu dalam lukisan itu. Mantofani berhasil mentransformasikan cerita realis menjadi puitis dan simbolis. Tak ada lagi ”ibu yang realis”, karena penggambaran tentang Ibu itu telah melampaui gagasan teks cerpen itu, menjadi makna yang lebih bersifat simbolis.
Semua itu, sekali lagi, memperlihatkan proses kreatif yang dilakukan para perupa: bahwa ia tidak sekadar menjadi tukang tafsir teks, yang hanya pengin menerjemahkan cerita. Proses kreatif semacam itu dengan sendirinya memperlihatkan keberhasilan dari ”ruang dialog” antara perupa dan sastra, sebagaimana diinginkan Redana. Artinya, para perupa telah memanfaatkan secara maksimal ”ruang dialog” itu. Menjadi menarik bila kita kemudian bertanya: Bagaimana dengan para penulis cerpen itu? Apakah para cerpenis juga ”belajar” dari keberadaan lukisan-lukisan (yang menyertai cerita) itu?
Setelah kira-kira lima tahun ”ruang dialog” itu tergelar, maka sudah selayaknya kita membaca hubungan cerpen dan lukisan itu tidak hanya dari cara kerja perupa menafsir teks cerita. Belakangan, saya pribadi kerap melakukan ”pembacaan terbalik” ketika melihat lukisan yang menyertai cerpen di Kompas. Saya menikmati lebih dulu lukisannya: bagaimana lukisan menghadirkan citra visualnya, teknik yang dikembangkan pelukisnya dan caranya mengolah ruang. Dari situ, kemudian saya baru mulai membaca cerpennya, dengan pengandaian, cerpen tersebut ialah upaya kreatif cerpenis dalam ”menafsir lukisan”. Dengan melakukan ”pembacaan terbalik” seperti itu, saya sering merasa, betapa banyak cerpen yang ”gagal” karena ia tidak memperlihatkan kekayaan teknis penceritaan sebagaimana perupa melakukan banyak pengolahan teknis melukisnya. Saya merasakan, adanya ”cerpen-cerpen yang generik”, cerpen-cerpen yang nyaris seragam dalam gaya, dan terlibah berkait dengan caranya mengolah ruang penceritaan. Ayu Utami, dalam pengantar buku Cinta di Atas Perahu Cadik (Cerpen Kompas Pilihan 2007), menengarai hal itu sebagai gejala yang mengulang-ulang teknis penceritaan yang berpijak pada realisme.
Realisme bukanlah jalan yang sejajar dengan realita, tulis Utami. Realisme di dalam cerpen-cerpen itu lebih memperlihatkan suatu ”tertib yang mengatur kekacauan kenyataan dunia di luar menjadi dunia baru di dalam cerita”. Realisme seperti itu, menjadi genting ketika kenyataan di luar cerita, telah mengalami banyak perubahan. Dan inilah yang mestinya juga mengubah cara ketika kita mendekati, memahami, dan menafsirkannya. Sebagaimana para perupa terus-menerus bergelut dan melakukan terobosan kreatif dalam hal cara merepresentasi ide-idenya ke dalam bahasa visual, semestinya hal serupa juga terlihat dalam cerpen-cerpen yang mencoba mengolah ide-idenya ke dalam ruang penceritaan. Setidaknya saya membayangkan: andai saja para cerpenis juga melakukan dialog yang intens dengan lukisan-lukisan yang menyertai cerita itu, semestinya sastra bisa memperoleh banyak hal yang bisa diserap sehingga memunculkan kemungkinan-kemungkinan gaya dan teknik bercerita, sebagaimana dulu terjadi pada sastra dan seni rupa yang menghasilkan mazhab surealisme.
Eddy Soetriyono, dalam katalog pengantar Pameran Ilustrasi Cerpen Kompas 2007, menyebut hal itu sebagai kehendak untuk mau ”berdialog” dan ”berkonfrontasi”, yang kemudian banyak memberi arah kreatif yang lebih segar pada beberapa perupa. Ketika mesti ”berdialog” dan ”berkonfrontasi” dengan karya sastra, tulis Soetriyono, banyak perupa yang malah melahirkan karya-karya yang terasa lebih segar, lebih menarik, dan lebih bernilai. Sastra telah memberi inspirasi penciptaan, dan juga penemuan teknis, yang kemudian memengaruhi gaya beberapa perupa. Adakah sastra juga menyerap dunia rupa itu?
Bila selama ini cerpen-cerpen seakan hadir sebagai dunia yang ditafsir perupa, sudah saatnya cerpen—dalam hal ini para cerpenisnya—mesti mulai menyerap aspek-aspek teknis yang diinspirasikan oleh rupa untuk membangun struktur ceritanya. Dengan kata lain, para cerpenis juga mesti mau ”berdialog” dan ”berkonfrontasi” dengan gambar-gambar itu. Agar cerita bisa menemukan cara-cara yang lebih menyegarkan ketika ia ingin menghadirkan wacana tekstualnya.
Sungguh menggembirakan mengetahui informasi yang disampaikan Soetriyono bahwa seni rupa kita menyerap ”dialog” dan ”konfrontasi” itu dengan menumbuhkan minat perupa pada sastra sebagai proyek estetis yang dikembangkannya. Perupa Wayan Sujana Suklu tengah intens menafsir ”dunia Kafka”. Candra Johan bertolak dari ”tokoh kita” Iwan Simatupang bagi pameran tunggal yang disiapkannya, juga mengolah karakterisasi tokoh-tokoh dalam kumpulan cerpen Orang-orang Bloomington Budi Darma. Tina Sanjaya dan Putu Edy Asmara bertukar tangkap rupa dan makna dengan puisi-puisi para penyair Indonesia dan dunia.
Bagaimana dengan cerpen-(is) kita? Ruang pertemuan untuk berdialog dan berkonfrontasi sudah tersedia. Adakah cerpen kita akan terus terperangkap dalam tempurung paradigma penceritaannya?
* Agus Noor, Prosais
Sumber: Kompas, Minggu, 10 Agustus 2008
No comments:
Post a Comment