-- Jean Couteau* & Warih Wisatsana**
SESEORANG tengah menyaksikan lakon ketoprak Damarwulan. Pada tempat dan saat yang lain, dalam kisah yang berbeda, terlihat pula sang ”aku” duduk menyendiri di salah satu meja. Di tuturan yang tak terkait cerita di atas, ”aku” yang lain terbangun tiba-tiba di ranjangnya….
Memang, mereka semua adalah tokoh rekaan yang hadir dalam kedua buku kumpulan cerita pendek (cerpen) Bre Redana, baik yang terkini, Rex, maupun yang telah cetak untuk kedua kalinya, Urban Sensation.
Segera terbaca bahwa dalam sebagian besar cerpen tersebut ada sekian tempat ”kunci” yang selalu memicu sang tokoh dan tentu juga pembacanya untuk mengalami ulang berbagai peristiwa yang mencekam ingatannya. Tak pelak lagi ada beragam kesangsian yang lahir sebagai akibat berbaurnya kenangan, impian, serta kekinian yang selalu bermuara pada pertanyaan atau pernyataan berupa ketidakyakinan akan ruang dan waktu, bahkan pada cerita yang disampaikan sendiri oleh tokohnya melalui solilokui atau gumaman diri.
Menyimak keseluruhan cerpen Bre, saya teringat pengarang Perancis terkemuka awal abad ke-20, Proust, yang piawai merangkai jalinan kisahannya melalui hal-hal kecil di sekitarnya. Semisal, bagaimana melalui kue ”madeleine” santapan paginya, dia mampu mengeksplorasi masa lalunya dan dengan sengaja membiaskan antara ingatan nyata dan angan-angan kenangan.
Di situlah perasaan terekspresi secara bebas tak terkungkung oleh batasan yang fakta atau yang fiksi maupun yang bernilai moral atau sebaliknya. Memang strategi penceritaan macam ini mengandung risiko, pembaca dan bahkan pencipta bisa tergelincir dalam keliaran imaji yang berlebih dan berujung pada kejenuhan atau sebentuk kesangsian yang tak bermakna.
Sebagai penulis, yang juga jurnalis, pola penuturan macam itu, berikut batasannya, tentulah sudah menjadi bagian dari keseharian Bre Redana. Dia juga, misalnya dalam cerpen ”Stella Artois” (Rex), membiarkan sang aku melompat-lompat antara masa lalu, masa kini, dan bahkan pengharapan masa depan, lantaran minum bir Belgia yang kemudian dipilih menjadi judul.
Berbeda dengan Proust, boleh dikatakan Bre sebagai kreator tak mau larut dalam kisahannya. Terbukti di tengah cerpen yang kompleks ini, sang tokoh mengajukan sebuah pernyataan kesadaran, terbilang gugatan pada diri, ”Adakah keberadaan wanita yang kuanggap berbakat sebagai pengarang itu lagi-lagi cuma stimulasi teks, dari pikiranku yang melantur ke mana-mana….adakah sebenarnya aku tengah mempunyai masalah, menjadi tak bisa membedakan mana nyata, mana tak nyata.”
Menelisik lebih jauh cerpen- cerpen dari kedua kumpulan itu, dapatlah dinyatakan di sini bahwa sang pengarang telah menjadikan tokoh-tokohnya—sebagai bagian dari dirinya—sebagai sarana untuk merenungi dan mempertanyakan apa yang disebut kebenaran kenyataan serta bagaimanakah masa silam dan impian esok mengenangi persepsi kekinian. Kalau Proust terkesan terlalu melepas bebas pikirannya, Bre dengan sadar mengelola jalinan ceritanya dalam suatu kepaduan yang terjaga, di mana peristiwa atau tempat nyata, yang diandaikan itu, tampil sebagai pemicu sekaligus pengendali imajinasi.
Pilihan strategi penuturan seperti di atas ini hanya mungkin dicapai oleh mereka yang memiliki kemampuan berbahasa yang mumpuni, terbiasa memilah fakta dan menyampaikannya dalam pilihan kata yang terukur, yaitu wartawan yang sudah teruji. Namun, di sisi lain, kecakapan ini, bila tanpa kuasa imajinasi yang segar, akan menghasilkan karya yang kering.
Bagaimana dengan Bre Redana?
Melalui cara bertutur dan juga latar pelaku-pelakunya, jelaslah bahwa ragam tokoh Bre Redana adalah mereka yang hidup dalam ketegangan kaum urban modern kosmopolitan, di mana kehampaan hidup dan pencarian diri adalah masalah utamanya, yang hendak dilampaui dengan romansa cinta yang kerap berakhir getir.
Lantaran Bre Redana memiliki pengalaman pergaulan yang cukup mendalam, baik di dunia kosmopolitan maupun di masyarakat biasa, tak ayal lagi tematikanya berkisar di seputar itu, dan juga disajikan dengan bahasa yang tepat makna, dan ada kalanya bernada puitis. Aneka peristiwa tampil tak terduga, buah dari paduan imajinasi dan penghayatan akan hidupnya.
Dilihat dari sudut sosiologis, pilihan tokoh oleh Bre, serta segala hal yang dilakukan mereka, memperlihatkan kebulatan sikap pengarang tentang kesetaraan jender serta kepedulian sosial. Meski sang aku dalam cerpen kerap mengalami kegagalan, namun wanita disikapi bukan melulu sebagai tubuh, melainkan sebagai manusia yang mempribadi. Adapun laki-laki, mengatasi bias ”macho”-nya, dicirikan pula sebagai sosok yang punya perasaan. Bre Redana termasuk di antara sedikit penulis Indonesia yang menawarkan perubahan penilaian terhadap maskulinitas dan femininitas.
Bukan hanya itu yang menarik dari kedua buku ini. Pembaca juga diajak untuk melakukan semacam tamasya kultural, mengunjungi sekaligus mengkritisi keindonesiaan. Misalnya, kita bisa membandingkan pelaku dalam cerpen ”Sri Tanjung Edan” (Urban Sensation) gambaran masyarakat bawah dengan tokoh ”Aku” dalam ”Stella Artois” (Rex) yang mencerminkan bagian masyarakat Indonesia yang ingin global. Tengok pula cerpen ”Kota yang Menyenangkan” (Rex) yang mengisahkan Shio Lin berlatar Kalimantan, serta sandingkanlah dengan cerpen ”Bulan di Atas Legian” (Urban Sensation), dengan tokoh dan latarnya yang antarbangsa. Tidakkah kisah-kisah ini menunjukkan kepada pembaca bahwa Bre Redana menyadari permasalahan mendasar negeri ini.
Pilihan strategi penceritaan dengan tokoh-tokoh yang terkesan berlintasan di antara aneka latar kenyataan dan kemayaan, ditambah bahasa yang terbilang rapi dan runut, boleh jadi sekilas dibaca sebagai sesuatu yang ringan. Namun, bukankah pembaca yang jeli, sembari terbawa rangkaian kisahan Bre Redana, akan pula tersadarkan untuk mengusut kembali apa itu realitas, apa itu kemayaan, apa itu kekinian.
* Jean Couteau, Antropolog
** Warih Wisatsana, Penyair;
Keduanya Tinggal di Bali
Sumber: Kompas, Minggu, 3 Agustus 2008
No comments:
Post a Comment