Wednesday, August 13, 2008

Menyemir Sepasang Sepatu Sendiri dalam Hujan

-- ilenk_rembulan

SATU lagi buku kumpulan sajak dari para sahabat tercinta datang di dadaku dalam sejuk senja penuh keriuhan di ujung selatan Jakarta. Di sela asap bakar ayam dan kental rawon dan canda ria para Kurawa Pasar Malam, Sepasang Sepatu Sendiri Dalam Hujan di lepas dengan damai oleh salah satu penyairnya Maulana “Pakcik” Achmad dalam tanganku.

istimewa

Buku setebal 118 halaman yang memuat 105 sajak dari 3 penyair Maulana Achmad, Inez Dikara dan Dedy T. Riyadi dengan perlahan mulai dibuka dan menyelami bait-bait rohnya.

Tulisan ini saya bagi dalam tiga ulasan, karena buku ini memuat 3 bab sajak dari mereka, dan sesuai dengan urutan dalam pemuatan sajak tersebut, puisi Maulana Achmad (selanjutnya saya sebut “Pakcik”) disajikan diawal, dengan jumlah 35 sajak.
(1) Dari satu sumbu di jalan Barito, mengurai kata, setangkup-tangkup.

Ditemani suara Anggun yang melantunkan Mimpi, sajak Monochrome sudah membuat diriku terperangkap.
Aku menunggumu dalam pengap
bermenit raga ini tak bergerak
angin pun kurasakan mati kaku hilang nafas

di peron ini,
kucoba keduk sisa ingatan
mencari namamu

seujung kerdipan kau melintas deras, gemuruh
ke hala yang tak kutuju
tanpa sapa

Terbayang kepengapan kehidupan kini yang sudah mulai menyesak di dada, mencari hanya segelas udara untuk bernafas, sepertinya susah, kemudian ketika ada jeda waktu nafas udara datang, namun dia bergegas pergi jauh seperti gemuruh kereta meluncur jauh, tetapi bukan ke tempat yang seharusnya kita tuju, dia menuju ketempat lain yang bukan kita tuju.

Puisi kehidupan yang luruh , saya seperti menghadap cermin, menatapnya penuh lelah, penyair ini berusaha mengingatkan kita, bahwa kehidupan yang demikian riuh ini kadang kita tak tahu di mana nanti ujungnya.

Lagu Takut yang dilantunkan riang oleh bibir seksi Anggun mengiringku menyelami sajak Mengurai kata. Sajak sederhana sekilas hanya untaian kata, tetapi saya menangkap makna seperti menaiki tangga kehidupan yang selama ini saya jalani. Pakcik mengurai kata seperti para sufi mengurai di hadapan muridnya di Masjid Biru.

Mengurai kata

Seumur batu
Senafas angin
Serentak awan
Sekejap senja
Serumpun bintang
Sebongkah bulan
Sececap subuh
Seabad embun
Sepakung jamur
Serimbun perdu
Seputar dhuha
Sekutuk mentari
Seusung hari
Sebaris bukit
Setasik peluh
Sepulau mimpi
Selaksa asma
Akulah hanya

Putaran malam menjadi pagi, siang , sore dan kembali lagi menjadi malam dalam buaian mimpi setelah tua menjalani hidup akhirnya akulah hanya. Ya, kita pada akhirnya nanti hanya, hanya seonggok tanah seperti semula. Sengaja penyair tak menyudahi dengan titik, seterusnya dibiarkan mengambang terserah kita pembaca menafsirkan.

Tepuk tangan riuh pengiring penyanyi dalam In Your Mind masih dengan Anggun yang menemani malam semakin larut, tersandung sajak dengan judul Setangkup-setangkup.

Setangkup-setangkup
:abah ahmad

belikan aku buku gambar, abah
aku ingin menangkap gunung
dan mencelupnya dalam sekarung warna

belikan aku susu, abah
agar sehat badanku
kuat tulangku
terlindung hatiku

belikan aku sepatu, abah
biar kudapat berjalan ke madrasah
yang ada di lembah dan langit

tinggalkan satu saja fotomu, abah
aku telah lupa lekuk urat wajahmu
kau sudah terlalu jauh
ambenmu pun sulit kurengkuh

Malam semakin hening , tak ada suara ojek atau ambulance sesekali datang (rumah saya persis di sebelah BMC salah satu rumah sakit elite di bogor), selesai membaca sajak diatas, tiba-tiba wajah almarhum ayah terbayang. Tanpa terasa saya memutar lagu dari penyanyi kesayangan beliau.

Aku telah lupa lekuk urat wajahmu, ah ! kupandangi bingkai foto ayah tersenyum dengan lesung pipitnya, Kau sudah terlalu jauh, ya beliau sudah tenang disisiNya, ambenmu pun sulit kurengkuh, dia terbaring tenang nun jauh dikerimbunan bamboo pemakaman desa di Jember. Mata merah dengan sudut basah terjuntai, ayah saya rindu padamu.

Snow on the Sahara menerobos telinga dengan bisikan lembut, menyelami sajak-sajak pakcik seperti menemukan kembali kawan lama. Sajak-sajak pendek , kulumat habis malam itu menangkap sepintas rohnya dan kembali terus masuk dan duduk sejenak pada sajak Dari satu sumbu di Jalan Barito.

mungkin sebelum bulan merapihkan tempat tidurnya
tempat ini begitu padat dengan bebunyian
kita semeja menyantap senyap

“seperti apa suaramu?” kau memberikan bait pertama
perlahan aku mencari metafora yang belum pernah
dibuat orang dari tubuhmu

sebatang mahoni membakar getahnya tepat di sisi kami

“kau masih diam? Padahal otakmu berdetakdetak”
kau berikanku bait kedua
kusemburkan tenung terampuh agar kau diam dan aku
bisa mendapatkan metafora yang belum pernah
dibuat orang dari tubuhmu

sebatang mahoni memecahkan bebijian di langit

“apa kau bisu? Padahal matamu menusuknusuk”
kau berikanku bait ketiga
kuhunus sebilah badik agar kau takut dan diam, sehingga
aku dapat mencuri metafora yang belum pernah dibuat
orang dari tubuhmu

sebatang mahoni kini tak berdaun lagi ketika kau ratusan
langkah menuju pulang
“kopi mewasiatkanku kejujuran dan mulianya ingatan”
kuteriakkan metafora yang belum pernah dibuat orang dari tubuhmu

Entahlah, tiba-tiba wajah Cak Kusno almarhum salah satu preman di Terminal Wonokromo yang merupakan sahabat saya waktu dulu sering menemani pendakian gunung semasa di SMA di Surabaya, melintas sejenak.

Padahal jalan Barito tentu lebih ramai dari terminal Wonokromo yang gelap, pengap, kumuh. Sepintas membaca badik, mengingatkan senjata itu yang selalu terselip di balik jaket Cak Kusno kemanapun dia pergi. Dan senjata itu pula nyaris melukaiku pada suatu malam di keremangan Wonokromo ditodong orang dan ternyata ketika tahu siapa yang ditodong dan yang menodong saling kenal, maka kami berdua tertawa pedih. Penjahat dan korbannya ternyata dipisahkan dinding yang tipis.

“Kopi mewasiatkanku kejujuran dan mulianya ingatan” baris kalimat diatas itu mengingatkanku sekali lagi akan celotehan Cak Kusno menyeruput kopi hangat setelah saya tak jadi ditodong malah diajak ngopi di sudut warung dekat Kebun Binatang dan seperti biasa dia cerita tentang sepenggal nasib dan saya seperti menangkap metafora yang belum pernah dibuat orang dari tubuhnya.
Puisi di atas benar-benar mengingatkan akan sosoknya. Saya berkhidmat sebentar, mengirim do’a semoga dia tidur nyenyak disisiNya, lamat kudengar lirih dia berkata “ Ibuku rembulan dan bapakku matahari, sejak kecil aku rindu dekapan ibu dan usapan lembut tangan bapak di kepalaku, tapi aku hanya bermimpi”, ucapan itu lamat-lamat terngiang di kudukku, dan kurasakan angin dingin berhembus.

(2) Dan Kau hanya menjalankan, bulan memar, di akhir setiap perjalanan

Bilik pertama dari tiga bilik dalam kumpulan sajak ini mulai kutinggalkan, memasuki bilik kedua dari penyair Inez Dikara (satu perempuan diantara dua penyair laki-laki dalam buku ini), kaki melangkah ringan dengan diiringi lantunan The Reason dari Hoobastank membaca lirih sajak Dan Kau Hanya menjalankan. Tiba-tiba keriuhan desingan peluru dan teriakan anak kecil dan sayatan pilu orang tua membayangiku.

Sajak yang ditujukan untuk tanah Palestina yang selalu bergejolak.

Tak lagi kaurasakan butiran-btiran logam yang pecah
di tubuhmu. Segar darah yang mengalir sumber-sumber
airmata. Sedang desing timah yang membara, bagai lagu
keseharian yang kian kau hafal liriknya, serupa amarah
yang tertahan gelegar suara meriam yang ditembakkan
menikammu hingga jauh
ke dalam. Memar dada dan tapak tangan menggenggam
iman. Anak-anak terlepas dari pelukan. Merah warna
tanah perbatasan.

karena telah Ia perintahkan padamu untuk rasakan sakit
Itu. Dan kau hanya menjalankan

Penyair mengajak kita sejenak untuk merenung betapa kita masih mujur bila dibandingkan saudara kita yang ada di bumi Palestina yang selalu bergejolak oleh perang saudara yang tidak tahu kapan akan berhenti.

Perang disana sepertinya sudah biasa dijalani oleh mereka. “Sedang desing timah yang membara, bagai lagu keseharian yang kian kau hafal liriknya”. Bahkan merah tanah perbatasanpun dilumuri oleh darah anak-anak dan orang tua yang tak berdosa, perang seperti sudah merupakan takdir dariNYA “karena telah Ia perintahkan padamu untuk rasakan sakit itu. dan kau hanya menjalankan”.
Kadang bila perang berkecamuk, saya selalu bertanya “adakah tangan Tuhan ikut menyusun strategi penyerangan itu dan korbannya harus orang-orang tak berdosa? Saya tak berani menanyakan lebih lanjut, takut Tuhan akan marah dan murka, malam ini Dia bisa tembakan meriam di rumahku.

Dalam menyulam kata, Inez lebih banyak menyentuh rasa sepi, rindu tertahan kadang juga tanya. Dalam sajak berjudul Sajak Hijau

seorang anak bermain-main
di kejauhan

seorang perempuan melambai-lambaikan
tangan

setumpuk mainan teronggok di kamar
:kesepian

Barisan kata di atas tersebut yang tersusun secara sederhana namun dalam makna, berbicara tentang seorang perempuan yang telah lama mendambakan anak, bahkan dia sudah siapkan banyak mainan, namun yang ditungu-tunggu tak datang jua, tinggal sepi yang ada.

She will be loved dari Maroon 5 masih mengalun lembut, sajak Bulan Memar yang terdiri dari 2 bait dengan masing-masing bait terdiri dari 3 baris kata pendek. Puisi-puisi Inez memang tidak panjang melelahkan, namun pendek dan mudah dimengerti.

Bulan memar
Jatuh redupnya
Di teras kamar

Dua kehilangan
Berjarak Cuma
Sedegup dada

Wind cries Mary melantun lincah dari mulut Jamie Cullum, menemani lebih dalam lagi pada sajak-sajak Inez. Dan pada sajak Di akhir setiap perjalanan, saya terpaku sejenak.

malam lengang sunyi
ranting-ranting keringa
awasi hari hari pergi
menunggu di akhir setiap perjalanan
kulihat bayangmu menari-nari

Dalam sajak ini terasa sunyi semakin menyelimuti diri. Semakin hening tanpa ada swara yang menggelitik malamku, sepertinya saya harus menunggu bayang-bayangnya menari. Tapi siapa yang saya tunggu ?

(3) Bibir Ibu, Kepada embun, Kamboja menyapih sepi

Sampailah pada bilik terakhir dari kumpulan sajak ini akan kusudahi. Penyair Dedy T. Riady mengajak saya perlahan menyibak halaman pada bilik terakhir ini Sajak indah berjudul Bibir Ibu menyambut di ujung pintu masuk. Saya kutipkan sebagian :

……………………………
Suatu kali, aku mendaki
Tapi kata ibu, “lepaskan dulu sepatumu.
Di lembah lidahku tak perlu ada batu.”

Dan terciptalah puisi
Seperti api yang membakar hati

Lain dari 2 penyair sebelumnya, sajak-sajak Dedy lebih panjang, walau ada beberapa yang ditulis pendek bahkan hanya sebaris saja, namun lebih banyak menyajikan sajak dalam bentuk panjang. Sepintas bayangan penyair lain seperti berjejak di syairnya, namun pada sajak yang utuh yang kutangkap tak ada pengaruh penyair lain di sajaknya, justru kujumpai puisi yang kuat. Seharusnya penyair ini membuang baju pengaruh itu, biarkan imajinasi berkembang sesuai kata hati, karena puisi mewakili jiwa bicara.

Everytime dari Britney Spears melantun sexy ,lembut menerawang menapaki sajak berjudul Kamboja.
1/
Tak pernah musim begitu mendung
Ketika sajak luruhkan murung
Jatuh ia sebagai gerimis
Kuburkan sisa sisa tangis
2/
Di pekuburan tanpa nama
Di kuncupmu sajak berbunga
Di dada ini masih ada kata
3/
Kamboja di ujung senja
Siapa terkubur sia sia?
Sebab malam nanti
Sajakku akan terkubur di sini

Sajakku terkubur di sini bersama Kamboja, ya bunga kamboja selalu mengingatkan saya akan dara cantik dengan gemulai lesung pipit di pulau dewata dua tahun silam. Menyudahi membaca sajak kamboja ingatan akan wajahnya kembali terbayang, dua bulan yang lalu kuterima kabar, dia telah kembali pada Hyang Widi di Nirwana. Siapa terkubur sia sia?

Desah suara Usher membisikkan Burn masih setia menemani saya melirik sajak Kepada Embun.

Angin tak pernah meluruhkan
Sebagaimana hujan
Yang tak akan mengekalkan

Pada akhir sebuah malam
Engkau akan datang diam-diam

Hingga aku tak pernah tahu
Itukah kau atau hanya air mataku

Ketika membaca baris kata “engkau akan datang diam-diam”, saya celingukan, takut ada orang datang diam-diam alias maling. Terus terang saya agak lupa apa tadi pintu sudah terkunci atau belum, perasaan seperti ada kaki melangkah. “Itukah kau atau hanya air mataku”, ending yang menyentuh, luruh.

My happy ending dari si mungil Avril Lavigne, menghentak rasa kantuk yang sudah mulai memeluku. Sajak berjudul Menyapih Sepi membuat mataku terbelahak sejenak,

Ibu ajari aku menyapih sepi
Sebagaimana sungai sentuhi batu
Agar lumut sediakan tanah,
Tempat bertumbuh beringin itu

Sebab aku hanya bisa
Lesapkan senyap, seperti
Asap menuju awan. Untuk
Kembali bersama hujan

Puisi ini menghanyutkan rasaku perlahan-lahan. Ibu ajari aku menyapih sepi, sebagaimana sungai sentuhi batu. Indah nian kata kata ini, saya jadi terbayang aliran sungai yang jernih airnya, lumut tumbuh berserakan di batu dan di kejauan rimbunan pohon dan kicauan burung bersahutan.

Malam larut ini seperti lesapkan senyap, asap menuju awan, ya saya menuju kantuk yang semakin deras kembali bersama hujan. Di luar tiba-tiba hujan , angin meniup lembut di sela sela atas jendela kamar yang berpori-pori.

Bogor, sabtu malam 24.50 wib 9 agustus 2008.

Sumber: Kompas Entertainment, Sabtu, 9 Agustus 2008

No comments: