-- Cecep Syamsul Hari*
DI usianya ke-43, pada 1961, Alexander Solzhenitsyn masih merasa yakin bahwa hingga akhir hidupnya ia tidak akan pernah melihat tulisan-tulisannya dapat diterbitkan dan ia pun tidak membiarkan sahabat-sahabat dekatnya membaca karya-karyanya itu. Perasaan ini melelahkannya benar.
Akan tetapi, habent sua fata libelli. Solzhenitsyn, seperti umumnya para penulis besar percaya bahwa setiap buku memiliki nasibnya sendiri. Pada tahun itu juga, setelah kongres partai komunis Uni Soviet ke-22 yang diisi pidato Tvardovsky, ia memutuskan menyerahkan naskahnya, Odin den Ivana Denisovicha (Sehari dalam Kehidupan Ivan Denisovich) kepada Tvardovsky. Ia sadar jalan yang ditempuh ini sangat berisiko, karena bukan saja dapat kehilangan naskahnya melainkan juga naskah itu bisa jadi akan membawa kehancuran pada dirinya sendiri.
Setelah upaya yang berlarut-larut, Tvardovsky akhirnya menerbitkan naskah itu setahun kemudian. Di luar dugaan Solzhenitsyn, novel pendek yang diangkat berdasarkan kehidupannya sebagai tawanan barak kerja paksa era rezim Stalin itu, beberapa tahun kemudian ikut mengantarkannya ke haribaan hadiah Nobel Kesusastraan.
Alexander Isayevich Solzhenitsyn lahir 11 Desember 1918 di Kislovodsk, Rusia. Ayahnya gugur 1918 sebagai sukarelawan dalam Perang Dunia I, enam bulan sebelum Solzhenitsyn lahir., dan ia diasuh ibunya.
Solzhenitsyn masuk ke perguruan tinggi Rostov-na-Donu dan lulus sebagai sarjana matematika. Kemudian ia mengambil kursus jarak jauh, dalam bidang kesusastraan di Universitas Moskow. Mengikuti jejak ayahnya, ia menerjunkan diri ke medan pertempuran, kali ini dalam Perang Dunia II dan mencapai pangkat kapten artileri di Tentara Merah.
Namun, meskipun berjasa pada negara, 1945 Solzhenitsyn ditangkap karena mengirim surat yang mengkritik Joseph Stalin. Setelah itu, Solzhenitsyn diusir sebagai seorang exile selama tiga tahun. Ia direhabilitasi 1956 dan diizinkan tinggal di Ryazan, Rusia tengah.
Nama Solzhenitsyn langsung meroket, setelah penerbitan Sehari dalam Kehidupan Ivan Denisovich. Namun, namanya yang mulai menjadi pujaan publik sastra singkat saja usianya, karena ia segera dianggap sebagai musuh berbahaya bagi politik pemerintahan yang represif.
Pemublikasian sejumlah novelnya di luar negeri, termasuk dua novelnya yang terbit pada 1968, V Kruge Pervom (Lingkaran Pertama) dan Rakovy Korpus (Bangsal Kanker), mengamankan reputasi internasional Solzhenitsyn. Pada 1970, ia dianugerahi Nobel Kesusastraan meskipun ia menolak pergi ke Stockholm , karena cemasa tidak akan diizinkan kembali ke negaranya. Ketika bagian pertama Arkhipelag Gulag (Kepulauan Gulag) dipublikasikan di Paris, Desember 1973, Solzhenitsyn diserang habis-habisan pers Rusia dan pemerintah kembali menahannya. Ia diusir ke luar Uni Soviet Februari 1974.
Di tempat pembuangannya, di Cavendish, Amerika Serikat, Solzhenitsyn terus menulis dan memfokuskan perhatiannya menyelesaikan satu seri buku kolektif yang diberinya judul Krasnoye Koleso (Jentera Merah), satu sejarah epik yang berisi kumpulan peristiwa sosial politik yang berujung pada Revolusi Rusia 1917. Pada 1983, versi revisi dan diperluas karyanya, Agustus 1914, muncul di Rusia sebagai bagian dari seri itu. Jilid lain dari Jentera Merah adalah Oktyabr `16 (Oktober 1916), Mart `17 (Maret 1917), dan Aprel `17 (April 1917).
Pada 1980-an, karya-karya Solzhenitsyn mengalami revitalisasi dan perhatian baru di Uni Soviet. Pada 1989, majalah sastra negara itu, Novy Mir, menerbitkan petikan-petikan dari Kepulauan Gulag. Karya-karyanya yang lain yang sebelumnya dipublikasikan di luar negeri, diterbitkan kembali di negaranya. Pada 1990, kewarganegaraannya dipulihkan dan empat tahun kemudian ia pulang ke Rusia.
Seorang tokoh dalam Lingkaran Pertama Solzhenitsyn berkata, "Bagi satu negeri, mempunyai seorang penulis besar adalah seperti memiliki satu pemerintahan yang lain".
Menjadi pemerintahan yang lain, itulah yang mungkin ditakutkan Stalin pada diri Alexander Solzhenitsyn, sehingga mengirimnya ke kamp kerja paksa dan membuangnya ke luar negeri. "Pemerintahan yang lain" itu menghabiskan tahun-tahun terakhir hidupnya jauh dari sorotan publik dan memusatkan perhatiannya pada penerbitan 30 jilid karya lengkapnya. Ia wafat di rumahnya, Minggu, 3 Agustus 2008, pada usia 89 tahun.***
* Cecep Syamsul Hari, Penyair, Redaktur Majalah Sastra Horison.
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Sabtu, 9 Agustus 2008
No comments:
Post a Comment