Sunday, August 24, 2008

Toto

-- Arie MP Tamba

TOTO Sudarto Bachtiar adalah tipikal seorang penyair Indonesia yang cukup dikenal, justru karena puisi Pahlawan Tak Dikenal kerap dibawakan dalam pembacaan puisi bertema pahlawan. Dari sisi resepsi sastra, bisa dikatakan bahwa puisi Toto itu terus mengalami penerimaan dan pemaknaan ulang, oleh banyak pembaca yang datang dengan persepsi dan cakrawala sastra masing-masing.

Karena banyak mengalami ’kelahiran kembali’ dalam setiap pembacaan, puisi Toto tentu saja berpeluang mengalami pemerkayaan (atau pengabadian) makna. Bila pemahlawanan yang dilakukan Toto, cukup berhasil ditonjolkan oleh berbagai aspek puitiknya, tentu keberhasilan puisinya pun terus terjaga atau bahkan meningkat di tangan pembaca yang semakin aktif.

Pahlawan adalah istilah yang dipakai untuk menyosokkan seseorang, yang memiliki sikap moral – membaktikan (termasuk mengorbankan) kehidupannya – bagi tegaknya kemerdekaan (atau berhasilnya perjalanan) sebuah bangsa. Dengan pengertian seperti ini, tentu saja banyak penyair yang telah menggunakan kata ’pahlawan’, dalam judul maupun puisi-puisi mereka, sejak lahirnya puisi Indonesia pada masa Angkatan Pujangga Baru hingga sekarang.

Namun, dari keberhasilan puisi Toto selalu jadi salah satu pilihan wajib, secara longgar bisa dikatakan – secara puitika boleh jadi puisi Toto lebih berhasil mengekspresikan ide dan penerjemahan makna pahlawan tersebut. Sekalipun, pada kenyataannya, Toto hanya menggunakan istilah pahlawan dalam judul puisinya: Pahlawan Tak Dikenal.
Selebihnya, isi puisinya adalah rangkaian larik narasi, suasana, dramatika, yang menggambarkan seorang pemuda gugur terlalu muda, untuk mempertahankan kemerdekaan bangsanya:

Pahlawan Tak Dikenal

Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring
Tetapi bukan tidur, sayang
Sebuah lubang peluru bundar di dadanya
Senyum bekunya mau berkata, kita sedang perang

Dia tidak ingat bilamana dia datang
Kedua lengannya memeluk senapan
Dia tidak tahu untuk siapa dia datang
Kemudian dia terbaring, tapi bukan tidur sayang

wajah sunyi setengah tengadah
Menangkap sepi padang senja
Dunia tambah beku di tengah derap dan suara merdu
Dia masih sangat muda

Hari itu 10 November, hujan pun mulai turun
Orang-orang ingin kembali memandangnya
Sambil merangkai karangan bunga
Tapi yang nampak, wajah-wajahnya sendiri yang tak dikenalnya

Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring
Tetapi bukan tidur, sayang
Sebuah peluru bundar di dadanya
Senyum bekunya mau berkata : aku sangat muda

Soebagio Sastrowardoyo (1997) memberikan catatan yang menarik tentang perpuisian atau dunia kepenyairan Toto. Bertolak belakang dengan ”pribadi” dinamis Chairil Anwar, yang selalu tegang menghadapi nasib – mengedepan dari puisi-puisinya yang menggelora – yang muncul dari puisi-puisi Toto yang tenang, sabar, meresapkan rasa sakit – adalah seorang ”pribadi” yang pasrah menerima dan mengenali nasib.

Namun, penyerahan diri pada nasib ini, menurut Soebagio, rupanya tidak terdorong oleh kekecutan atau kelemahan hati, melainkan datang dari kesediaan menerima derita dengan sabar. Hingga, bisa dikatakan, corak individualitas yang jadi ideologi perpuisian Angkatan 45 yang dimotori Chairil Anwar – pada Toto tampak lebih tenang dibandingkan Chairil yang meradang. Sebagaimana dinyatakan Toto dalam puisi Temarang:

Lembut dan kesucian adalah:
Rada hibur bagi dunia bencana kita
Kita akan menghapus air mata
Atau kesabaran merangkai karangan air mata

Tampak jelas: Toto tidak ingin mengubah keadaan apalagi melawannya. Tapi, Toto ingin menjalaninya, menerimanya sebagaimana adanya, lalu mencatatnya dengan detail. Toto juga tampak lebih setia dan mesra menyatukan dirinya dengan nasib dan sikap sesamanya, dan bersedia menghadapi kemungkinan dirinya termasuk jadi ”korban” dalam identifikasi tersebut.

Namun dengan pilihannya, Toto membuka langkah baru dengan mendekati perkembangan zaman dan masyarakatnya sendiri – meskipun melalui tema-tema yang boleh jadi masih dimuati semangat mitologis – seperti pemahlawanan seorang manusia, simpati yang tanpa batas atas persoalan kemiskinan, penderitaan, dll. Ia, lagi-lagi berhasil menunjukkan nilai lebihnya sebagai salah satu penyair unggulan dari zamannya.

Toto misalnya, tidak serta-merta tergoda seperti Chairil Anwar atau Sitor Situmorang, yang mengadopsi pemikiran dan sikap hidup eksistensialisme dari para penyair Eropa yang mereka kagumi, seperti Marsman atau Sartre. Toto muncul sebagai dirinya, dengan mengusung dan mengekspresikan persoalan konkret lingkungannya.

Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 24 Agustus 2008

No comments: