-- Anwar Holid*
FAKTA ini mungkin agak mengagetkan: Beberapa blog teman saya ternyata tak di-up date sampai dua tahun. Ini membuat saya bertanya: Ke mana semangat menulis mereka? Apa mereka ganti blog atau punya kesibukan luar biasa sampai lupa menulis?Salah seorang menjawab enteng. "Saya sudah malas mengisi blog lagi." Wah, padahal tulisan dia jadi favorit sejumlah orang lho , termasuk di antaranya seorang kritikus yang menurut saya paling nyelekit se-Nusantara.
Posting kawan saya itu merupakan paduan antara kejujuran, humor, dan sinisme menyiasati kesulitan pilihan hidup. Jelas, orang yang malas menulis biasanya (sedang) kehilangan motif menulis.Seminggu lalu saya menerima email dari kawan. Dia jujur bilang bahwa belakangan ini gairah menulisnya hilang, sulit konsentrasi menuntaskan draft novel yang sudah agak lama terlunta-lunta, gelisah tak punya 'pekerjaan tetap', dan agak kehilangan orientasi karena mendadak kekasihnya dipanggil Tuhan.
Dengan merasa ikut sedih, saya berusaha menghibur, kemungkinan besar dia sulit menemukan alasan kuat yang bisa bikin dirinya semangat, penuh motivasi. Saya bilang, "Sebenarnya pekerjaan tetap penulis itu ya duduk menulis; bukan ngantor atau lainnya. Waktu ngobrol dengan Bagus Takwin, kami mendapati bahwa beberapa di antara kelemahan kita sebagai penulis ialah kita kesulitan, bahkan gagal, mengorganisasi diri, sulit mengelola kesempatan atau bikin skala prioritas. Akibatnya target tulisan gagal tercapai, dan dia frustrasi."
Bila blog lama terbengkalai, draft kisah tak kunjung selesai, bingung mau berbuat apa, itu merupakan tanda bahwa seorang penulis tengah kehilangan dorongan (motivasi):Writer's block (halangan menulis). Dia kehilangan api yang bisa memanaskan semangat berkarya. Sebagian penulis terhalang oleh kebingungan, lainnya bayang-bayang kesuksesan. Apa yang bisa diperbuat dalam keadaan seperti itu?
Dorongan (motif) menulis setiap orang lain-lain, dan itu harus sejak awal ditetapkan dengan jujur oleh dirinya sendiri. Ada orang menulis karena uang, ingin melampiaskan perasaan, mengungkapkan pikiran, bersaksi (membeberkan kejujuran), mengungkap informasi, bersenang-senang, menghibur, dan 101 motif lain. Tanpa motivasi seseorang bisa segera bosan menulis atau kehilangan alasan untuk melanjutkan keinginan menulis, apalagi jika suatu ketika dia bertemu masa sulit saat menulis misalnya mengalami writer's block , kekecewaan hidup, atau karena subjek tulisannya sulit.
Dalam kasus blog, saya berprasangka, boleh jadi si blogger bosan menulis setelah tahu ternyata blognya sepi, nyaris tak dilirik orang, dan tulisan-tulisannya didiamkan. Mungkin timbul perasaan sia-sia dirinya menulis. Padahal tujuan awal dia punya blog ialah ada media publikasi tulisan-tulisannya.
Dalam suatu wawancara, Jilly Cooper, seorang penulis novel populer dan bestseller Inggris, berkata, "Saya hanya sedikit melakukan kerja rumah tangga, karena saya mengupah orang lain untuk melakukannya. Itulah salah satu alasan utama saya ingin menulis banyak buku." Dari sana terungkap bahwa maksud dia menulis ialah mendapat uang cukup biar dia tidak melakukan sesuatu yang kurang disukainya, yaitu pekerjaan rumah tangga. Menulis membuat dia superior karena bisa meminta orang memenuhi keinginannya.
Sejumlah orang menulis karena uang. Mereka menulis dengan niat tembus ke media massa, berusaha agar tulisan itu sesuai kriteria media, dipoles, dan memenuhi idealisme tertentu. Memang belum tentu bila tulisan ditolak mereka bakal kecewa; tapi itu berarti kesempatan mendapat nafkah jadi kurang. Wartawan merupakan contoh utama menulis demi nafkah. Penulis yang saya tahu persis punya motif uang (ekonomi) antara lain Farid Gaban (saya dengar langsung ucapannya), Ajip Rosidi (dari esai dia), dan Philip Pullman (dari wawancara). Saya ingin jujur dengan hal ini. Kata Paul Arden, "Pikirkan tentang uang. Ia jujur. Uang akan membuat Anda kreatif."
Tapi, sebagian orang menulis tanpa motif uang sama sekali. Anne Frank, Franz Kafka, Emily Dickinson, tidak menulis karena uang. Baru-baru ini YF Nata, seorang suster, menerbitkan kumpulan puisi Cinta Itu Tidak Dosa sehabis mengalami kecelakaan lalu lintas parah, menyisakan tangan kanan sebagai anggota tubuh yang masih terbilang utuh. Dengan itu dia menulis, kadang-kadang bahkan lewat SMS di HP. Dia menulis sebagai terapi mental.
Orang-orang itu menulis murni untuk melampiaskan perasaan, menenangkan tekanan, menemukan pelepasan. Begitu juga dengan sejumlah blogger. Mereka menulis saja, baik untuk melatih menulis, mengungkapkan perasaan, memberi informasi, termasuk berbagi cerita. Menjaga api semangat menulis ini ternyata sulit juga, meski banyak caranya. Kita harus jujur dengan motif menulis sendiri. Kalau ingin tulisan dipublikasi, lantas mendapat honor, akui saja. Kejujuran motif akan membuat penulis mahfum untuk apa dia menulis, dan akan ketahuan apa dirinya tulus atau bohong.
Bila motif seseorang "senang menulis", dia tak akan sedih bila tulisannya ditolak media, sebab dia bisa mempublikasi tulisan itu di media lain. Bila niatnya menjual tulisan tapi media menolak, dia patut sedih, karena produknya tak laku. Oleh karena itu tulisan itu harus diperbaiki atau diteliti lagi kenapa sampai gagal dimuat. Satu hal, Horace Walpole mengingatkan bila seseorang menulis semata-mata karena uang.
"Begitu orang menulis demi keuntungan, mereka biasanya jadi kurang peka." Uang memang bisa jadi motif yang besar, sebagaimana kata Mike Price. Dia bilang, "Lebih banyak orang punya bakat daripada disiplin. Itu sebabnya disiplin dibayar lebih tinggi." Tapi, di lain pihak, Maria Yudkin pernah bilang, dia menolak "menzinahi otak" agar bisa menulis. Apa itu "menzinahi otak"? Yakni memforsir sedemikian rupa agar otak (keinginan) sampai rela berbohong agar seseorang bisa menulis.
* Anwar Holid, Editor
Sumber: Republika, Minggu, 27 Juli 2008
No comments:
Post a Comment