-- Dwi Fitria
MAKNA kepahlawanan pernah begitu bias profesi dan gender. Para penyair merebutnya.
Menurut kritikus sastra Kris Budiman ada pembahasan yang harus ditambahkan dalam membicarakan puisi-puisi bertema kepahlawanan. “Orde Baru menyebabkan ada bias militer dan bias gender dalam konsep kepahlawanan kita,” katanya.
“Taman makam pahlawan hanya diperuntukkan bagi militer, sementara sebagian besar pahlawan nasional berasal dari kasta ksatria. Ini adalah fakta dalam tanda petik,” ujar Kris yang juga berprofesi sebagai dosen di beberapa perguruan tinggi ini.
Sifat militeristik tersebut menyebabkan bias gender yang kemudian berujung pada kecenderungan male oriented dalam pemahaman konsep pahlawan. “Oleh karena itulah disebut pahlawan, bukannya pahlawati. Nilai-nilai maskulin amat mendominasi.”
Sementara kritikus sastra Ribut Wijoto memberikan penjelasan yang lebih sederhana. “intrepretasi kepahlawanan telah direbut pemerintah. Kepahlawanan bukan lagi milik masyarakat. Lihat saja, siapa yang berwenang menentukan jenazah yang boleh dimakamkan di taman makam pahlawan? Jawabnya pemerintah.”
“Faktanya Taman Makam Pahlawan lebih banyak dihuni oleh bekas tentara. Itu artinya kepahlawanan bukan lagi milik masyarakat. Masyarakat menjadi asing dengan istilah pahlawan.”
Sayangnya saat ini, puisi-puisi yang eksplisit berbicara tentang kepahlawanan seolah hanya bisa ditemukan dalam kegiatan-kegiatan seremonial semisal acara peringatan kemerdekaan. Melalui lomba baca puisi atau penulisan puisi kepahlawanan. “Secara verbal dunia puisi kepahlawanan kita hanya berupa kegiatan Agustusan,” kata Ribut.
Kemungkinan untuk mengekplorasi tema-tema kepahlawanan di luar kerangka militeristik tadi selalu terbuka, dan ini telah dilakukan banyak penyair. Semisal Subagyo Sastrowardoyo dalam Monginsidi. “Puisi itu mendudukkan tokoh sebagai manusia biasa, yang tidak dipuja-puji, tanpa semangat militeristik yang penuh slogan,” kata Kris Budiman.
Hal yang sama dilakukan oleh Rendra dalam buku kumpulan puisinya Balada Orang-Orang Tercinta. Di dalam buku kumpulan puisi yang diterbitkan pada 1957 itu Rendra memberikan suara bagi orang-orang terpinggirkan yang tergilas kemiskinan dan tekanan.
Ode di mancanegara
Di mancanegara, ode adalah bentuk puisi yang banyak digunakan untuk mengangkat pahit getir perjuangan seorang tokoh. Bentuk puisi ini telah berkembang sejak zaman Yunani dan Romawi kuno. Bentuk ode berkembang di wilayah Britania, juga di Amerika.
“Ode juga banyak ditulis para penyair Indonesia, tetapi isinya bukan kepahlawanan dalam arti perjuangan di bidang kenegaraan maupun pemerintahan. Ode lebih mengarah ke hal-hal yang bersifat personal,” kata Ribut.
Para penulis mancanegara yang pernah menulis ode-ode yang masih menjadi bagian penting dalam perkembangan sastra di negaranya antara lain Percy Bysshe Shelley dari Inggris yang menulis To The West Wind, Mark Twain dari Amerika yang menulis Ode to Stephen Dowling Bots. Juga penyair Amerika, Walt Whitman yang menulis O Captain My Captain.
Ode To Stephen Dowling Bots kerap dijadikan model dalam puisi-puisi di Amerika. Kekuatan penggunaan metafora, repetisi kata, juga rimanya, membuat karya Mark Twain itu jadi salah satu contoh kuat puisi Amerika.
Penerima Nobel Sastra 1971, Pablo Neruda membangkitkan kembali minat mencipta ode di Spanyol lewat karya-karyanya. Tak mengangkat tokoh tertentu sebagai sumber inspirasinya ode-ode gubahan Neruda ditujukan untuk berbagai hal, konsep, benda mati, juga mahluk hidup. Pembuatan ode yang mengangkat tema semacam ini, amat jarang dilakukan para penyair sebelum dirinya.
Ode-ode Neruda diterbitkan dalam tiga buah buku Odas Elementales (Ode-Ode Elemen) pada 1954, Nuevas Odas Elementales (Ode-Ode Elemen Baru) pada 1956 dan Navegaciones y regresos (Perjalanan dan Kepulangan) pada 1959.
Tetap relevan
Tema-tema patriotik tetaplah sesuatu yang relevan. Bahkan senantiasa ada dalam puisi-puisi yang diciptakan oleh para penyair Indonesia. Ribut Wijoto menarik garis yang cukup jauh dalam hal ini. “Ada dua puisi besar tentang kepahlawanan yang diwarisi oleh para penyair, terutama yang berasal dari Jawa, yaitu Mahabarata dan Ramayana. Hal ini bisa dilihat dalam puisi para penyair seperti Subagio Sastrowardoyo, Shindunata, Sapardi juga Goenawan Mohamad. Artinya pada suatu hari nanti akan muncul puisi kepahlawanan yang istimewa.”
Eksplorasi tema-tema patriotik menurut Kris Budiman, adalah sesuatu yang selalu relevan. “Kita kekurangan patriot, ada terlalu banyak koruptor dan orang-orang munafik," kata Kris Budiman. “Sepanjang puisi tersebut mengangkat tema pembelaan tanah airnya maka puisi itu adalah puisi yang patriotik”
Tetapi tema-tema tersebut tidak muncul secara eksplisit. Saat ini tidak ada penyair yang secara khusus hanya menekuni kepahlawanan. Yang membuat para penyair ogah mendalami tema-tema ini lagi-lagi karena ada terlalu banyak campur tangan pemerintah di dalamnya. “Kalau ada sedikit singgungan dengan kinerja pemerintahan atau negara, para penyair justru menuliskannya sebagai bentuk protes. Dan memang, puisi protes atau perlawanan lebih diminati dibanding puisi kepahlawanan,” ujar Ribut.
Tidak eksplisit
Meskipun tidak eksplisit, tema-tema patriotik muncul dalam puisi banyak penyair berbagai generasi. Semisal Zen Hae lewat puisi-puisi dalam bukunya Paus Merah Jambu. “Dia menulis tentang sebuah kota yang terasa begitu asing, dengan segala macam ekses perkembangan industri dan budaya konsumsi, bagi saya itu amatlah patriotis,” kata Kris Budiman. “Berbicara nilai-nilai patriotis, berarti berbicara di tataran tema, yang berarti kita membicarakan struktur maknanya.”
Sementara Ribut Wijoto mengambil contoh puisi Dongeng Marsinah gubahan penyair Sapardi Djoko Damono. Puisi yang berkisah tentang buruh pabrik arloji yang ditemukan terbunuh akibat penganiayaan pada 8 Mei 1983 itu, memaparkan kepahlawanan seorang Marsinah. “Saya kira perjuangan seorang buruh melawan kebusukan kapitalisme juga bisa dijadikan tema puisi kepahlawanan.”
Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 24 Agustus 2008
No comments:
Post a Comment