Sunday, August 17, 2008

Indonesia Bukan Komunitas yang Dibayangkan

-- Rahmat Sudirman*

SETAHUN setelah Di Bawah Bendera Revolusi cetak ulang keempat, Taufiq Ismail menyusun rantaian ironi bangsa kita yang tengah mengisi kemerdekaan. Bukan saja menyesakkan, ironi itu terasa subversif karena menggoyah gelora besar yang tengah dipompakan Pemimpin Besar Revolusi, Bung Karno. Kala itu Indonesia baru 21 tahun memproklamasikan kemerdekaan.

Taufiq mengemas ironi itu dalam larik-larik sajaknya: Kita Adalah Pemilik Sah Republik Ini (1966). Larik-larik itu menggedor kesadaran kita sebagai bangsa merdeka. Ada amarah dahsyat yang membuat tubuh gemetar hingga sastrawan kelahiran Bukittinggi, 25 Juni 1935 itu tidak kuasa menahan larik-larik ini: Tidak ada pilihan lain/Kita harus/Berjalan terus/Karena berhenti atau mundur/Berarti hancur//

Taufiq yang bergumul dengan kesadaran post-kolonial dan semangat gerakan mahasiswa 60-an seperti merasakan sakitnya hidup sebagai bangsa merdeka yang tak berdaya menata masa depan. Kita merdeka tapi tidak kuasa menatap dengan kesadaran terbuka. Kita seperti "manusia bermata sayu, yang di tepi jalan/Mengacungkan tangan untuk oplet dan bus yang penuh/Kita adalah berpuluh juta yang bertahun hidup sengsara/Dipukul banjir, gunung api, kutuk dan hama/Dan bertanya-tanya inikah yang namanya merdeka".

Ironi itu menampar wajah bangsa yang tengah mempraktekkan format negara-bangsa, nation state, yang dikonstruksikan bersama. Mau dibawa ke mana Indonesia setelah dua dekade merdeka; apakah terus bergerak dalam semangat "sosialis-marhaenis", sebagai nation state berbasis agama ataukah "negara kesejahteraan" yang dibangun atas tatanan politik dan keamanan yang mapan.

Apakah Taufiq "sadar atau tidak" melahirkan sajak itu, faktanya larik-larik Kita Adalah Pemilik Sah Republik Ini keluar hanya setahun setelah Panitya Penerbit Di Bawah Bendera Revolusi membukukan pernyataan Sang Putra Fajar dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi. Pada waktu itu, dilandasi semangat rebut Irian Barat, yang menggemuruh pada tahun 1963, Soekarno menulis: "...Adakah orang Indonesia sekarang ini, yang melihat sukses-sukses kita di lapangan politik dan di lapangan pembangunan segala macam, tidak bangga bahwa ia orang Indonesia? Tidak bangga bahwa Republik ini adalah Republiknya?"

Faktanya juga, gugatan yang menyeruak dari sajak itu sejalan dengan krisis ekonomi-politik Orde Lama yang makin memanas pada akhir 1965. Harga-harga membubung, inflasi tidak terkendali, negara dan pemerintahan makin personalistis, primus interpares menguat, sedangkan kemiskinan di mana-mana. Lalu, gelora antirezim pun mengerucut dalam tiga tuntutan: Bubarkan PKI, rombak kabinet, turunkan harga.

Andai kita sepakat, inilah ironi pertama dalam perjalanan bangsa Indonesia pascakemerdekaan. Kemerdekaan yang diproklamasikan 21 tahun lalu ternyata tidak "semerdeka" yang dibayangkan. Kemerdekaan yang begitu cepat memunculkan gugatan.

Setiap babakan sejarah negeri ini menorehkan tatanan sendiri. Tatanan yang berdampingan dengan ironi-ironi sejarah. Begitu juga yang terjadi pada kita, 63 tahun kemerdekaan membentuk tatanan-tatanan itu. Tatanan yang secara apresiatif kita sejajarkan dengan episteme--meminjam istilah Michel Foucault--karena kehadirannya yang direproduksi terus-menerus oleh individu berpengaruh, secara aktif dilembagakan, dan secara persuasif menarik rakyat masuk alam kesadaran itu.

Praksis Menjadi 'Nation-State'

Pada masa kebangkitan nasional, para cendekiawan terpusat pada kesadaran dan praksis membentuk satu kesatuan hidup yang kini kita terima sebagai "Indonesia". Periode 1908--1945 adalah masa-masa, meminjam konstruks Benedict Anderson, gelora kemerdekaan terangkum dalam semangat membentuk imagined community.

Yang terbentuk waktu itu adalah tatanan kesadaran yang mengarahkan intelektual seangkatan Sutomo, Ki Hadjar Dewantara, Cipto Mangunkusumo, Ahmad Dahlan, dan Samanhudi bergerak pada satu praksis yang sama: Membangun Indonesia. Kesadaran ini terus bergerak, mencari bentuk untuk mengonkretkan komunitas imajiner itu dalam satu wadah yang diterima bersama bernama Republik Indonesia.

Berbagai kekuatan bertemu di sini untuk mengisi negara yang secara resmi memiliki konstitusi UUD 1945. Kita ketahui, dasar negara ini disahkan PPKI pada 18 Agustus 1945, sehari setelah Soekarno-Hatta membacakan teks Proklamasi, 17 Agustus 1945, di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta.

Pada awal-awal kemerdekaan, kesadaran dan tatanan sejarah terfokus pada praksis mereformulasikan negara baru untuk mewadahi bangsa baru. Bagi Anderson, tahapan ini termasuk fase menentukan kekuatan nation state Indonesia, yang de facto keberadaannya didahului satuan-satuan politik-kepentingan yang tersebar dari Sabang sampai Marauke. Ada yang berdasar pada kekuasaan tradisional, kepentingan daerah, perbedaan kesadaran historis, ideologi sampai agama.

Negara baru yang secara de jure dikukuhkan sebagai Republik Indonesia juga berada dalam tahapan menentukan. Republik baru itu, demikian Andersen, mau tidak mau harus berjuang keras mencabut kekuasaan 350 tahun kolonial Belanda yang lebih dahulu menanamkan praktek bernegara. Ini tentu sebuah kerja raksasa karena pemimpin-pemimpin kita waktu itu tidak semuanya bersentuhan dengan praktek negara modern dan birokrasi pemerintahan.

Praktek bernegara dengan kesadaran membangun nation state terjadi pada masa Orde Lama: 1945--1966. Selama 21 tahun itu, berbagai peristiwa politik dan pemerintahan terjadi. Ada konflik berlatar keagamaan, suku, dan kelas seperti dicatat William Liddle dalam Pemilu-Pemilu Orde Baru (1992). Konflik-konflik dengan kesadaran separatisme juga tidak terhindarkan.

Sejarah juga mencatat, Indonesia sempat menjadi negara serikat tahun 1949 dan gonta-ganti sistem pemerintahan: Demokrasi parlementer (1950--1957) dan demokrasi terpimpin (1959--1965). Pada periode itu juga bermunculan partai-partai politik dengan beragam latar ideologi, yang pada tahun 1955 bermuara pada pemilihan umum pertama kali di Indonesia.

Tarik-menarik kekuatan negara versus serakan kepentingan primordial yang muncul pada periode 1945--1955 menemukan bentuk baru pasca-Pemilu 1955. Ini menarik dicermati karena pemilu yang pertama itu menjadi awal masuknya tata demokrasi dalam sistem pemerintahan Republik Indonesia. Tatanan yang terbentuk juga berbeda dengan masa prakemerdekaan maupun masa 1945--1955. Pasca-Pemilu 1955, Republik Indonesia yang baru berumur 10 tahun memulai babakan baru, yang ditandai dengan hadirnya ruang bagi kepentingan-kepentingan beragam di negeri ini mengelola pemerintahan. Bangsa Indonesia yang mulanya dibayangkan sebagai imagined community mulai mendapat isi keindonesiaan, setidaknya ini terepresentasi dari peserta Pemilu 1955 yang berjumlah 172 kontestan partai dan perseorangan. Indonesia sebagai nation state mengalai proses pembumian dengan hadirnya ratusan partai berlatar agama, ideologi, organisasi, daerah, etnis, dan perorangan.

Hasil Pemilu 1955 seperti memperlihatkan wajah Indonesia sebagai nation state. Dari 172 peserta, empat partai menyerap suara terbesar dari 37,7 juta suara sah pemilih waktu itu. Partai Nasional Indonesia (PNI) meraih 22,3%, Masyumi 20,9%, Nahdlatul Ulama 18,4%, dan PKI 15,4%.

Di bawah empat besar itu, suara pemilih terserap ke partai-partai berbasis Kristen, Katolik, Sosialis, dan Islam. Partai yang mengangkat sentimen lokal etnik seperti Partai Persatuan Daya dan Raja Keprabonan tidak mencapai 1 persen.

Jejak pemerintahan demokrasi ini hanya berlangsung satu periode. Tarik-menarik kekuasaan antara Soekarno dan kekuatan-kekuatan yang terepresentasi di DPR akhirnya memuncak dengan ditolaknya usulan anggaran pemerintah oleh DPR hasil Pemilu 1955. Kondisi politik yang tidak harmonis antara Soekarno dan DPR akhirnya memunculkan kebijakan yang membuat sejarah bergerak memusat ke Soekarno.

Pada 4 Juni 1960, Pemimpin Besar Revolusi membubarkan DPR hasil Pemilu 1955, lalu membentuk DPR Gotong Royong dan MPR Sementara, yang semua anggotanya diangkat Soekarno.

Apa yang terjadi pada awal 1960 memperlihatkan proses menjadikan Indonesia nation state adalah sesuatu yang berlangsung dalam tarik-menarik kekuasaan, ideologi, dan need to power yang tecermin dalam sosok Soekarno. Indonesia belum tumbuh sebagai state dengan penopangnya-penopang rasional-objektif yang kuat, baik militer, birokrasi, kepartaian, maupun sistem trias politikanya.

Sedangkan keinginan menjadikan Indonesia sebagai stateÿ20sangat besar karena bagaimanapun hidup dalam jajahan adalah sesuatu yang berlawanan dengan semangat zaman. Bangsa yang dibayangkan pun lambat-laun mulai menjelma entitas yang diterima bersama. Maka itu, membiarkan Indonesia tanpa state adalah pilihan yang sulit diterima. Problematika ini terasa kuat dalam babakan sejarah 1960-an hingga terus memunculkan ironi-ironi sejarah kebangsaan.

Negara-Bangsa-Kedaerahan

Jika nasionalisme awal adalah praksis mewujudkan suatu komunitas, identitas, dan bangsa yang dibayangkan, nasionalisme kini adalah praksis mewujudkan stateÿ20yang menyejahterakan. Praksis yang bergerak atas kesadaran bersama bahwa Indonesia adalah negara yang wajib menyejahterakan, mempekerjakan, menyediakan lapangan kerja, berlaku adil, dan menjadikan 32 provinsi di negeri ini daerah maju.

Pascareformasi 1998, kesadaran yang menjadi episteme negeri ini bergerak ke arah yang sophisticated. Di mana-mana muncul teriakan anti kolusi, korupsi, dan nepotisme. Di mana-mana juga muncul gerakan antikorupsi. Dan kini, kesadaran-kesadaran itu mengerucut dalam semangat membersihkan Indonesia dari para koruptor.

Namun sayang, kesadaran yang mencirikan keberadaban hidup bangsa Indonesia ini sulit dianggap sebagai main discourse. Secepatnya kita akan masuk perangkap-perangkap kekuasaan jika semangat antikorupsi, semangat meminta pertanggungjawaban negara pada rakyat, serta semangat meminta pertanggungjawaban eksekutif-legislatif sebagai kekuatan utama pada babakan sejarah pascareformasi ini.

Karena faktanya, negara pasca-Orde Baru tetap memberi tempat pada politisi partai menata pemerintahan dan negara ini. Ini juga yang menjadikan discourse tersebut sesuatu yang abu-abu.

Apakah kita membiarkan realita kebangsaan dan kebernegaraan ini terus abu-abu? Jawabnya, "tidak". Disadari atau tidak, fenomena golongan putih (golput) yang terus mengalir pascapemilihan umum pertama era Orde Baru adalah tatanan yang menghadirkan suara lain. Tatanan yang menuntut pertanggungjawaban elite untuk tidak semaunya memimpin negara ini. Untuk tidak semaunya menggerakkan pemerintahan, untuk elite yang berada di legislatif maupun eksekutif.

Jika dikatakan golput sebagai satu episteme yang hadir di tengah upaya state menarik partisipasi politik rakyat melalui pemilu, pilpres, dan pilkada, sepertinya bukan sesuatu yang berlebihan. Trauma-trauma Orde Baru yang diharapkan hancur pada era reformasi faktanya berproses menjadi kesadaran dan praksis yang menuntut elite tidak main-main dengan kata-kata. Tidak main-main dengan janji.

Jika koreksi kekuasaan pada masa Orde Lama dan Orde Baru berproses dalam kesadaran ideologis, koreksi kekuasaan kini berproses dalam kesadaran rasional: Jika Anda ingin berkuasa, ingin menang, berikan juga kami kekuasaan dan kemenangan! Jika Anda bermanis-manis kata, jangan salahkan jika kami mengabaikan Anda. Praktek bernegara yang dijalankan Orde Baru dan dua pemerintahan era reformasi juga yang memunculkan kesadaran ini.

Pemilihan langsung kepala daerah juga menjadi satu aparatus yang memberi tempat tumbuh pada kesadaran rasional. Desentralisasi kekuasaan yang mendapat pembenaran legal pascareformasi ini, disadari atau tidak, menjadi kekuatan yang membuat Indonesia hadir sebagai entitas tiga dimensi: Negara-bangsa-kedaerahan! Entitas tiga dimensi yang menuntut negara berjalan pada jalur yang benar, yang membuat bangsa sesuatu yang riil, dan pada akhirnya menjadikan negara-bangsa wadah ideal bagi daerah.

Bisa dibayangkan, jika kesadaran rasional ini tidak mampu menjadi episteme dalam konteks negara-bangsa-kedaerahan, mungkin kita akan terus menyaksikan ironi-ironi kebangsaan yang menyakitkan. Tentu kita ingin menunjukkan diri sebagai orang yang bangga menjadi Indonesia, bukan menutup muka karena Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia, seperti kata Taufiq Ismail sepuluh tahun lalu. n

* Rahmat Sudirman, Wartawan Lampung Post

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 16 Agustus 2008

No comments: