Sunday, August 31, 2008

Oase Budaya: Formalisme dan Simbolisme

-- Theresia Purbandini

BEN Sohib, penulis buku The Da Peci Code, mengatakan prosa Islami karya Hamka dan AA Navis mengandung nilai-nilai luhur, moral, etika yang baik sesuai dengan ajaran agama Islam. Namun sebuah prosa bernapaskan Islam tak melulu hanya berisikan ajaran agama Islam secara simbolik. Selama mengandung nilai-nilai yang sepaham dengan ajaran Islam, maka sebuah prosa dapat saja dikatakan prosa islami.

Menurut Ben, Robohnya Surau Kami karya AA Navis mengandung nilai kemanusiaan yang kuat. Meperlihatkan hubungan antara sesama yang bersifat universal. Di dalam cerita, integritas seseorang yang akhirnya memutuskan bunuh diri dipersoalkan; ketika seorang alim yang taat beribadah bunuh diri, karena lalai dalam kehidupan duniawinya. Melalui prosa ini, kompleksitas moral disampaikan melalui metafora.

Ahmadun Yosi Herfanda, seorang sastrawan dan redaktur di sebuah koran nasional mengatakan, prosa islami lebih bersifat substansial, tidak banyak menceritakan adegan formal keagamaan namun mengedepankan nilai-nilai Islam. ”Melalui tema dan cara penyajiannya yang eksploratif, dapat dibedakan prosa mana yang disebut prosa islami. Nilai-nilai yang tertanam dalam ajaran agama Islam seperti kasih sayang, keadilan, kemanusiaan, merupakan pendekatan nonformal prosa-prosa islami,” paparnya.

Hal ini didukung oleh Jamal D Rahman, seorang sastrawan kelahiran Madura. “Karya-karya sastra yang banyak menggali nilai-nilai keislaman seperti budaya, tradisi, ajaran dan norma-norma yang sepaham dengan Islam dapat juga dikategorikan sebagai prosa islami secara simbolik.” Menurutnya lagi, nilai-nilai Islam tak hanya dapat didekati secara formal, juga simbolis. Muncul sebagai nilai-nilai yang secara umum mencerminkan spirit Islam. Secara substansial ia mengacu pada nilai-nilai Islam yang lebih abstrak.

Berangkat dari pemahaman sastra Islam melalui dua macam pendekatan. Formal, di mana pengungkapan jalan cerita dengan syariat-syariat agama Islam, nama-nama, bahasa, latar belakang budaya dan sebagainya. Juga pendekatan simbolik dan universal, menceritakan sisi lain kehidupan yang secara implisit mencerminkan ajaran dan nilai-nilai yang berhubungan dengan agama Islam.

Dari pergulatan kedaerahan

Bila ditelusuri ke masa silam, kebudayaan Melayu sangat berpengaruh terhadap kesinambungan perkembangan sastra islami di Indonesia. Sempat terjadinya pergeseran tematik ini sekitar abad ke-17 hingga ke-18. Tema yang sangat kuat mengalir menurut Jamal adalah ajaran tasawuf. Sastra sufistik yang dimunculkan oleh sastrawan seperti, Syeikh Hamzah Fansuri, Raja Ali Haji, Haji Hasan Mustafa dan masih banyak lainnya.

Kemudian berkembang pada abad ke-20 hingga tahun 1940-an, tema keislaman yang muncul seputar pergulatan dengan kedaerahan. Jamal mengungkapkan, ”Pergumulan Islam dengan tradisi lokal yang diperlihatkan melalui karya Hamka dan AA Navis, di mana persoalan keislaman di tengah-tengah masyarakat lokal tidak berjalan seimbang. Sehingga muncul ketegangan yang memisahkan dua aliran yakni, Islam Murni dengan Islam Kedaerahan -- yang diadaptasi dari tradisi lokal,” katanya.

Belakangan ketegangan Islam antara dua kubu yang saling tarik menarik ini mulai ditinggalkan dalam sastra muktahir, sehingga mulailah hadirnya kecenderungan Islam secara formalistik yang lebih menonjol.

Beberapa kecenderungan secara formal lahir melalui karya sastra angkatan muda, diperkuat oleh fenomena Forum Lingkar Pena, seperti Habiburahman dengan karyanya Ayat-ayat Cinta (AAC) yang fenomenal hingga diangkat ke layar lebar dan menembus lebih dari tiga juta penonton yang ingin menyaksikan Fahri berpoligami.

Habibburahman atau biasa dipanggil Kang Abik hingga kini telah melahirkan enam novel. Selain Ayat-ayat Cinta, ia juga sudah menelurkan buku: Ketika Cinta Berbuah Surga, Di Atas Sajadah Cinta, Ketika Cinta Bertasbih Episode 1, Nyanyian Cinta, Ketika Derita Mengabadikan Cinta.

“Habibburahman berhasil menggambarkan latar sosial-budaya Timur Tengah dengan memandang pergaulan tokohnya secara islami dengan pendekatan secara formal, namun tetap menghadirkan konflik di dalamnya dengan perbedaan pandangan dengan agama lain antartokoh Islam sendiri serta dibumbui dengan cinta secara islami pula," ungkap Ahmadun.

Pendekatan secara Islami dalam kisah AAC menurut Ahmadun, diceritakan melalui gaya berpacaran tidak secara vulgar tapi dengan ta’aruf, sebatas perkenalan antardua orang, saling memahami dan menyemangati masing-masing pihak hingga terjadi penyesuian diri menuju jenjang pernikahan.

Mengadaptasi perkembangan zaman

Senada dengan yang dungkapkan Ben Sohib, AAC dianggap sebagai novel islami yang kental dengan mengadaptasi perkembangan semangat zaman. Bisa dikatakan hal ini merupakan suatu strategi cara bertahan. Salah satu segmentasi pembaca sastra islami-remaja, dianggap dapat diidentifikasi sebagai salah satu target yang mengikuti arus perkembangan budaya yang pesat.

Jamal berpendapat, karya Habiburahman menjawab tema sastra remaja yang dapat diangkat secara menarik dan bisa dikaitkan dengan Islam. Hal ini dibuktikan dengan lanjutan gelombang fenomena jilbab yang sempat marak sekitar tahun 80-an.

Tak hanya Habiburachman yang membidik segmen remaja, karya-karya Helvy Tiana Rosa dan Asma Nadia sebagai komunitas Forum Lingkar Pena (FLP) juga mendapat tempat dihati para pembaca sastra Islam.

Diakui oleh para sastrawan ini, Helvy memiliki nilai kelas kesusastraan lebih tinggi daripada Ayat-ayat Cinta, karena ia juga membicarakan masalah relatif berat, misalnya penindasan, pergulatan sosial, peperangan, kewanitaan, tidak terlalu formalistik namun secara implisit, walaupun tak mengacu secara langsung terhadap Islam.

Agak sedikit berbeda dengan Asma Nadia yang cenderung lebih ringan (pop), yang lebih menarik untuk kalangan remaja. “Novel Asma merupakan novel fiksi pop islami, yang romantis namun disajikan dengan pendekatan secara Islam,” kata Ahmadun.

Lebih jauh menurut Jamal, “Kecenderungan penulis seperti Gus tf Sakai, Agus R Sarjono dan beberapa penulis lainnya yang tak pernah menyebut bahwa karya mereka islami, tapi justru kaya akan nilai-nilai Islam yang lebih substansial. Sayangnya kita terjebak dalam fenomena formal ketimbang simbolik,” jelasnya.

Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 31 Agustus 2008

No comments: