-- Hamdy Salad*
PERDEBATAN sastra Indonesia mutakhir banyak dipenuhi oleh kutuk dan pujian yang tertuju pada dunia fiksi. Nyaris tak terdengar gema keindahan yang mengatasnamakan puisi. Bahkan tak juga menampak adanya kosa-kosa pergerakan yang memiliki aras pada kedalaman jiwa puisi. Seakan zaman menolak kehadiran puisi.Sementara dunia fiksi novel dan cerpen begitu cepat membengkak dalam ruang literasi terkini. Poster-poster kesusastraan, rehal pustaka dan toko buku dipenuhi karya fiksi yang ditulis oleh remaja dan orang dewasa. Para sastrawan bernama atau mereka yang sekedar bertahan untuk memenuhi pasar permintaan.
Berbalik dengan fenomena di atas, sosialisasi dan penyebaran puisi hanya bergerak di ruang domistik. Begitu rentan dan getas. Beragam jenis dan bentuk puisi tak pernah lagi disentuh dan dibaca sebagai sumber inspirasi budaya. Akibatnya, ratusan ribu karya tersuruk dalam ruang hampa. Seolah puisi hanya dicipta dan disusun sebagai tumpukan benda-benda mati.Para penyair dari berbagai tingkat budaya, popularitas dan legitimasinya, meski terus bertambah dan melimpah, tidak memiliki magnitasi untuk menarik wilayah publik ke dalam diri, ke dalam dunia puisi. Selebihnya, hanya mengembara antara ada dan tiada.
Pada sisi lain, proses-proses penciptaan puisi sebagai media komunikasi estetis untuk menjangkau publik tanpa batas, telah mengisyaratkan adanya konsistensi dan intensitas yang sejajar dengan aras humanitas, keyakinan dan keteguhan penyairnya.Karena itu, meski puisi yang dihasilkan tidak mampu menjalin relasi dengan dunia di sekitarnya, setidaknya masih dapat dijalankan sebagai media ekspresi yang berperan dalam entitas budaya. Sehingga aktivitas penumpukan puisi, baik dalam konteks zaman maupun sejarah kesusastraan, tidak sepenuhnya menjelma benda-benda mati.
Sebagai tertera dalam teks-teks puisi yang dihasilkan, eksistensi penyair tak bisa dilenyapkan begitu saja dari ruang estetik, dari lingkaran zaman dan sejarah kesusastraan. Sebab penyair telah digaris untuk senantiasa menjelajahi dunia dengan sikap kritis, tanpa belenggu, untuk menggali dan menemu nilai-nilai baru dengan penuh kemerdekaan. Tetapi, seperti jiwa aku lirik yang dihidupi dalam puisi, nafas penyair seringkali terlepas dari ikatan budaya. Menyendiri, tanpa pretensi untuk mengisi ruang komunikasi -- ruang estetika yang dapat dijelmakan sebagai tempat untuk mengadu, membangun dan menyusun kekuatan spiritual yang lebih sempurna.Karena itu, ketika dunia fisik sang penyair telah kehilangan maknanya, hilang juga peluang kulturalnya untuk memasuki dunia lain yang bersifat metafisik.
Beban bersama
Metamorfosa aku penyair dan aku lirik kita, kami, engkau, dan kalian terasa kian berat untuk memanggul beban secara bersama. Dan beban berat itu tidak saja menimpa nasib aku lirik, tetapi juga menyuruk pada kenyataan-kenyataan sosial di luarnya. Rumah-rumah kenyataan, peristiwa dan kejadian, seolah beku dan membatu.Sementara kini, eksistensi penyair dalam kehidupan sehari-hari, mengalami juga kenyataan yang sama. Terasa berat untuk menghindar, apalagi mengatasi, keterpurukan budaya, hiruk pikuk politik dan ekonomi, juga musibah dan bencana yang terus berganti.
Hinga, betapapun beratnya, penyair juga mesti menanggul beban yang menumpuk di dalam dan di luar dirinya. Ikut berlarat dalam rasa sakit dan nyeri yang mencengkeram jiwa bangsa di zaman ini. Namun begitu, adakah kisah sebuah zaman, betapa pun kuasanya, yang mampu memerintah penyair dan puisi untuk bunuh diri?
Melalui abstraksi di atas, setidaknya masih dapat ditunjuk bahwa penyair bukanlah sekadar manusia yang dapat menyusun kata-kata indah. Tetapi mesti dihayati sebagai bentuk perjuangan estetisme, untuk menemukan nilai dan makna budaya yang seharusnya ada tetapi tidak pernah menampakkan diri dalam kehidupan nyata.
Perjuangan itu senantiasa menuntut adanya sikap yang dapat dijadikan tauladan kemanusiaan. Landasan eksistensi kepenyairan semacam, telah menampak sebagai bagian penting dari awal pertumbuhan budaya Melayu, dengan berbagai tokoh (pujangga) yang telah disepakati validitasnya dalam sejarah kesusastraan Indonesia. Dalam sejarah itu, jejak penyair dan puisi tak pernah bisa dilenyapkan dari pertumbuhannya. Oleh karenanya, walau tidak selalu tumbuh bersama, keberhasilan penyair dan puisi akan senantiasa terberi. Untuk kemudian memperoleh kehormatan berulangkali, dihidup-hidupkan, dipuji dan diagungkan sepanjang zaman.
Jika puisi yang dilahirkan dapat berjalan melalui asumsi-asumsi publik, lembaga sastra, teori dan kritik, atau dapat memenuhi permintaan pasar ekonomi, sosial maupun politik dan ideologi, dengan sendirinya, puisi itu akan dijaga dan dipertahankan oleh jangkauan sejarah dan komunitasnya. Begitulah yang telah dirupa Chairil Anwar dalam sejarah puisi Indonesia. Namun itu tidaklah semua. Seorang penyair bisa saja lenyap dan tidak dikenal sampai akhir. Tapi tetap saja memiliki peluang sama untuk terus berlaga, mencari dan menahan eksistensi diri bersamaan dengan identitas-identitas kultural yang telah berhasil digapai.
Hal serupa dapat juga ditilik sebagai kesungguhan pena penyair. Meski zaman telah mati, dan puisi hanya dianggap semata mimpi, penyair tak mesti menyerah. Tak juga berpaling dari usaha untuk memperjuangkan wacana estetik maupun kultural yang dibentang sejarah, dalam tubuh dan jiwa kesusastraan.
Nyaris berhenti
Sejak Armin Pane dan kemudian Chairil membebaskan diri dari jeratan konvensi estetik para pendahulunya, sejarah sastra Indonesia dipenuhi oleh berbagai pencarian tentang bentuk bebas dari puisi. Perjuangan itu juga yang kemudian ditempuh oleh Sutardji, dan kemudian beberapa penyair setelahnya. Tapi kini, setelah orde reformasi bergulir di tanah air ini, pergerakan puisi nyaris berhenti. Identifikasi penyair tak bisa lagi dipertemukan dalam ruang politik, metafisikal maupun eksistensial. Posisi penyair menjadi goyah, sekaligus juga dipaksa untuk tampil dengan gagah.
Dan puisi, rupa-rupa keindahan kata yang mengelilingi, tak juga bisa dicegah untuk bercampur dengan histeria masa, kecemasan dan hiburan maya. Adakah itu semua menjadi tanda, bahwa zaman telah mati bagi puisi.
* Hamdy Salad, Dosen Seni Univ Negeri Yogyakarta
Sumber: Republika, Minggu, 27 Juli 2008
No comments:
Post a Comment