Monday, August 11, 2008

Semangat Kebangsaan Terdegradasi

Pengantar

Bangsa Indonesia di akhir pekan ini, tepatnya Minggu 17 Agustus 2008, merayakan ulang tahun ke-63. Tentu saja, ada banyak kemajuan yang telah diraih selama 63 tahun perjalanan bangsa yang diproklamasikan Soekarno-Hatta tersebut. Tetapi, di sisi lain, semangat kebangsaan dan rasa nasionalisme yang dimiliki para pendiri bangsa ini yang menjunjung tinggi keberagaman, sudah mulai luntur, bahkan mengkhawatirkan. Berkaitan dengan itu, wartawan SP, Eko B Harsono dan Willy Masaharu menyajikan tulisan yang diharapkan bisa direnungkan semua elemen bangsa ini.

Murid-murid SDN Gondangdia, Menteng, Jakarta, beberapa waktu lalu mengadakan upacara bendera. Menanamkan rasa nasionalisme kepada peserta didik di sekolah sejak awal dapat mencegah terdegradasinya semangat kebangsaan. (SP/Luther Ulag)

Sederet pertanyaan kritis menyeruak di dalam benak hampir seluruh masyarakat negeri ini manakala menyaksikan problematik kebangsaan Indonesia yang semakin bak benang kusut. Usia kemerdekaan Republik Indonesia tercinta ini telah mencapai 63 tahun, sebuah umur yang cukup panjang dalam menapaki sejarah, tetapi proses "menjadi Indonesia" bagaikan tidak pernah selesai, bahkan seakan mengalami reduksi dari waktu ke waktu.

Perasaan "menjadi Indonesia" atau dalam bahasa populernya oleh bapak bangsa Soekarno-Hatta disebut sebagai nation building, bagaikan retak-retak yang menyesakkan. Ada apa dengan nasionalisme Indonesia? Akan ke mana pula bangsa ini mengarah jika pluralisme dan apresiasi terhadap keragaman yang bersinergi melahirkan keindonesiaan selalu saja digugat?

Pekan ini, tepatnya Minggu 17 Agustus 2008, genap 63 tahun bangsa yang tercinta bernama Republik Indonesia yang diproklamasikan 17 Agustus 1945 lalu. Seluruh elemen dan komponen bangsa dari seluruh penjuru negeri memperingatinya dengan sukacita melalui beragam cara dan acara.

"Jika kemudian nasionalisme Indonesia dan kebangsaan mengalami gugatan dan cenderung mengaburkan visi Indonesia ke depan, maka angkatan muda sudah semestinya terpanggil untuk meluruskan perjalanan bangsa tersebut. Reformasi dan demokrasi yang diawali pada tahun 1998, yang tahun ini memasuki usia 10 tahun, seharusnya membuka perspektif baru semakin bangganya kita menjadi orang Indonesia," ujar aktivis mahasiswa 1998, Muhammad Iqbal Syam kepada SP di Jakarta, Sabtu (9/8).

Sebagai aktivis pro demokrasi yang kini menjadi dosen di Universitas Indonesia (UI), Donatus dan sejumlah rekannya prihatin, karena sekarang ini betapa nasionalisme dan bahkan keindonesiaan itu sendiri masih belum tuntas. Sejumlah persoalan politik masih perlu menjadi agenda penting untuk dituntaskan.

Kebangsaan Terdegradasi

Selain persoalan regionalisme di Papua, persoalan Peraturan Daerah (Perda) bernuansa agama di sejumlah daerah yang semakin marak juga patut menjadi keprihatinan dan perhatian. Sebab, semua itu adalah bibit memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa, yang kini diperparah dengan persoalan korupsi berikut penegakan hukum yang terkesan tebang pilih.

Sementara itu, Sekretaris Eksekutif Hubungan Agama dan Kemanusiaan Konferensi Waligereja Indonesia, Benny Susetyo Pr menilai, dalam memaknai bulan kemerdekaan ini, sebaiknya segenap komponen bangsa dan seluruh elemen masyarakat merefleksikan dan mendekonstruksi ulang soal pluralisme. "Apakah pluralisme Indonesia masih memiliki masa depan sebagaimana harapan seluruh warga bangsa?" tanya Benny.

Padahal, lanjut Benny, bangsa Indonesia lahir dari tetesan darah, keringat dan semangat seluruh warga bangsanya dari Sabang sampai Mereka yang berjuang merebut kemerdekaan tanpa melihat suku, agama, ras dan golongannya. Kekuatan pluralisme Indonesia telah teruji sejak kebangkitan nasional dan melahirkan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 bahkan sebagai kekuatan utama bagi demokratisasi pada masa kini.

Senada dengan itu, Peneliti Pusat Kajian Islam Indonesia dari Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Burhanuddin mengatakan, fenomena diskriminasi sekarang ini semakin mengental, semangat kebangsaan memang semakin terdegradasi, sementara proses demokratisasi seakan mengalami stagnasi.

"Ketika proses-proses politik seakan mengingkari akar kesejarahannya, maka fenomena diskriminasi semakin marak. Ajangnya pun menjadi semakin beragam, bukan hanya spontanitas sekelompok orang yang melakukan perusakan rumah ibadah, tetapi juga berhadapan dengan proses rekrutmen politik yang semakin menyempit dengan sentimen golongan dan kelompok agama," katanya.

Praktik-praktik peraturan daerah bernuansa agama tertentu hingga terakhir lahirnya surat keputusan pemerintah yang menimbulkan polemik, karena terbit setelah desakan kelompok tertentu menunjukkan adanya intervensi negara untuk membantu sekelompok orang menentukan apakah ini boleh dan tidak boleh, termasuk pada sektor keyakinan personal warganya.

Semuanya itu, lanjut Burhan seakan berjalan paralel dengan aksi destruktif sekelompok masyarakat untuk menyerang, merusak, membakar tempat ibadah dan melakukan teror atas praktik keyakinan masyarakat lainnya. "Karena itu, kembali dibutuhkan sebuah interupsi sistematis dan komprehensif aras keindonesiaan yang semakin bias dan kusut itu," ucapnya.

Di pentas elite yang lebih tinggi, bahkan di tingkat DPR, bukan lagi tabu menafikan keberadaan kelompok lain dalam rekrutmen politik. Pentas rekrutmen hakim konstitusi, komisi pemilihan umum (KPU), dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) merupakan episode paling baru dalam praktik rekrutmen yang berdasarkan sentimen ras, agama, suku dan golongan.

Tidak bisa dimungkiri, keindonesiaan kita memang berada pada titik nadir dan menghadapi ancaman besar. Baik karena persoalan defisit demokrasi maupun oleh persoalan kebangsaan yang semakin terdegradasi.

"Betapa pun, sejauh ini perjalanan sejarah demokrasi bangsa Indonesia sangat mungkin akan dinilai dan diapresiasikan secara berbeda oleh setiap lapisan generasi bangsa ini," ujar Presidium Gerakan Indonesia Muda, Hilman Harris.

Kemerdekaan seperti dikatakan Bung Karno bukanlah tujuan, tetapi jembatan emas untuk mencapai kesejahteraan sosial. Dengan kata lain yang terpenting dilakukan sekarang adalah memberi isi kepada semangat kebangsaan dan nasionalisme itu. Nasionalisme Indonesia tumbuh bukan, karena ikatan primordialisme maupun agama, melainkan karena perasaan senasib dan sepenanggungan untuk keluar dari seluruh ancaman perpecahan dan disintegrasi bangsa.

"Indonesia yang terdiri dari lebih 17.000 pulau dengan sekitar 638 suku bangsa dan berbagai agama serta mungkin ratusan kepercayaan telah menimbulkan banyak konsekuensi. Kemajemukan itu dapat menguatkan simbol identitas," katanya.

Tetapi, di satu sisi ia juga dapat menjadi potensi besar membentuk masyarakat yang demokratis, yang dicirikan terbangunnya civil society. Tentu saja, harapan itu akan menjadi kenyataan kalau terpenuhi sejumlah persyaratan.

Persyaratan itu berupa adanya pengakuan secara substansial, bahwa konsep dan realitas primordial merupakan energi sosial dalam mewujudkan masyarakat yang pluralistik dan demokratis. Pengakuan terhadap kemajemukan cenderung akan mencegah tindakan politik yang sewenang-wenang yang dilakukan oleh sebuah kelompok.

Sumber: Suara Pembaruan, Senin, 11 Agustus 2008

No comments: