Saturday, August 02, 2008

Pertemuan Kecil, bukan "Kenangan"

-- Ahmad Syubhanuddin Alwy*

PERTEMUAN Kecil, bukanlah "kenangan". Akan tetapi, imajinasi dari segugusan mimpi yang mengantarkan para penulis puisi untuk menghidupkan kembali berbagai imajinasinya melampaui apa yang kelak ditulisnya sebagai puisi. Mungkin seperti sebuah pintu masuk, pertama-tama hendak merepresentasikan "gerbang" yang membawa seseorang mengenal lebih jauh interior suatu bangunan (bahasa) dengan struktur maupun infrastruktur di dalamnya; kemudian, berikutnya, semakin memasuki detail ruangan-ruangannya, seorang penulis puisi akan menemukan labirin panjang yang berliku-liku dan penuh misteri.

Saini KM, pengasuh dan penjaga rubrik puisi Pertemuan Kecil Harian Umum Pikiran Rakyat selama bertahun-tahun, diam-diam telah meletakkan posisinya sendiri secara terhormat menjadi guru teladan, apresiator, sekaligus kritisi bahasa (puisi) yang tak terlupakan di hadapan ratusan penyair generasi sastra pascakepenyairannya. Dengan ketekunan, ketelitian, kecermatan, ketulusan, dan kesabaran yang luar biasa, Saini telah membangun tradisi kepenyairan berangkat dari ranah akademis, juga dari lorong teori ilmu sastra. Puisi dalam rubrik itu, menjadi motivator serta spirit bagi para penulis yang relatif masih baru. Sehingga puisi menemukan mata rantai yang mengukuhkan instrumen maupun momen pemikiran yang menegaskan kepenyairan, tidak hanya berlangsung dalam suasana intuitif dan semangat moody. Lebih dari itu, merefleksikan medan pergulatan bagi seseorang menjelajahi imajinasi, gagasan, dan pemikiran yang memiliki serangkaian referensi.

Setiap minggu, seorang penulis puisi-sebelum benar-benar menjadi penyair tangguh-diajak untuk "berdialog" dan "berdiskusi" terus-menerus dengan uraian-uraian ringkas pengetahuan ilmu sastra maupun pengalamannya sebagai penyair. Dan, yang mengagumkan, guru teladan untuk banyak penyair ini, tidak pernah terjebak mengambil contoh puisinya yang ditahbiskan sendiri lebih baik dari puisi-puisi yang dikirimkan para penulis ke rubriknya.

Dalam beberapa sisi, Saini bersikap ngemong dan rendah-hati sebagaimana seorang kiai tasawuf yang zuhud sekaligus wara`. Rubrik Pertemuan Kecil, hampir menyerupai pesantren yang sangat terbuka kepada siapa pun dari daerah mana pun, untuk muthala`ah dan muhadatsah dalam menulis puisi. Bahkan, dari sanalah seorang penulis puisi yang serius dan cerdas akan memahami bagaimana puisi bersinggungan dengan konteks kehidupan yang mahaluas serta warna-warni.

Sebagai seorang guru, Saini bukan tipikal guru yang killer, otoriter, atau cerewet terhadap penulis yang mengirimkan puisi dalam rubrik yang diasuhnya. Uraian tulisannya seolah telah diniatkan menjadi pengantar ringkas untuk puisi yang dimuat. Dengan penuh kasih sayang, ia menguraikan berbagai hal dari keseluruhan gagasan dan proses kreatif penjelajahan estetika bahasa yang sering disebut dalam tulisannya sebagai rancang-bangun dari terminologi puisi. Saini menciptakan suasana bahtsul masa`il yang memungkinkan sebuah puisi dapat dianalisis dalam berbagai perspektif. Dan para penulis puisi rubrik itu, taken for granted menerima seluruh uraian yang ditulisnya menjadi bagian dalam proses pembacaan seorang guru.

Pengantar tulisannya menarik, justru karena ulasan yang dibahasnya tidak tampak menyentuh puisi yang dimuat hari itu. Puisi yang dipilihnya adalah puisi yang memang layak untuk dimuat. Dari penyair yang sudah cukup dikenal, atau seorang penulis puisi pemula. Puisi diperlakukan dengan baik dan benar, serta penyair dihadapi dalam posisi yang sama. Saini juga tidak memaksakan "selera" puisi yang menjadi gaya penulisannya selama ini. Ia berjarak dengan tendensi-tendensi personal, yang akan membentuk komunitas penulis puisi dengan segenap gaya penulisan ataupun tema-tema yang mengindikasikan adanya "keseragaman".

Saini bukan ideolog, dengan satu sistem penilaian kepada para penulis puisi yang mengirimkan ke rubriknya menjadi semacam "barisan massa" pendukung. Ia tidak perduli dengan hal-hal elementer yang mengakibatkan ketulusannya, sekadar lips service dan abang-abang lambe. Sehingga para penyair dan puisi, kehilangan independensi serta integritas dirinya dalam penjelajahan proses kreatif. Saini adalah seorang penyair sejati yang memperlakukan puisi sebagai belahan jiwanya.

Maka jika terkesan puisi sangat diagungkan posisinya, lebih karena keyakinan bahwa, puisi telah melewati suatu fase yang menuntun dan menuntut seorang penyair memasuki pergumulan personalnya menghikmati kehidupan tanpa orientasi yang materialistik. Ia percaya sepenuhnya, seorang penyair dengan puisi-puisinya, pada dasarnya, seorang spiritualis. Bahasa, tema, estetika, gagasan, ide, dan pemikiran yang ditulis seorang penyair dalam puisi merupakan representasi dari pengalaman, tafsir serta penghayatannya terhadap teks-teks kehidupan.

Puisi bukan untaian pernyataan politik untuk seseorang yang ambisius hendak mencalonkan diri sebagai presiden. Puisi juga, bukan gemuruh kalimat-kalimat yang meluncur dari cangkem (baca: mulut) seseorang di tengah publik pendukung. Atau, kata-kata yang hanya diperankan menjadi slogan untuk mengafirmasi omong-kosong dari kelicikan para pendusta. Dan, kita tahu, Saini dengan rubrik "Pertemuan Kecil" yang pernah diasuhnya selama bertahun-tahun telah mengajarkan para penulis puisi untuk memulai segalanya dengan niat tulus dan serius. Dari sanalah, tampaknya kita jadi memahami performance Saini senantiasa bersikap santun, ramah, rapi, hati-hati, meskipun seringkali dikesankan sangat formal dan normatif.

Oleh karena itu, izinkanlah untuk menghormati seorang guru teladan yang telah mengantarkan proses kreatif kepenyairan sebagai "jalan ruhani". Nama Saini KM mungkin lebih spiritual dengan di balik menjadi KM Saini, akronim dari "Kiai Muhammad Saini".***

* Ahmad Syubhanuddin Alwy, Penyair

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Sabtu, 2 Agustus 2008

No comments: