Sunday, August 10, 2008

Pustaka: Lahan Batin di 'Tanah Pilih'

Judul: Tanah Pilih (Bunga Rampai Puisi Temu Sastrawan Indonesia 1)

Penulis/Editor: Dimas Arika Mihardja

Penerbit: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jambi

Tebal Halaman: 316 Halaman

DEMIKIAN buku Tanah Pilih ini dibuat untuk menghimpun karya-karya para sastrawan dari pelbagai provinsi di Indonesia, sebagai bentuk usaha kreatif yang dilandasi kerja keras dan kerja cerdas karena merupakan upaya sulit yang mengajak kita sejenak menilik ke dalam sebuah "dunia sunyi" atau "dunia batin" lewat karya seni setelah keseharian kita dihadapkan kepungan hiruk pikuk kota dan pelbagai permasalahan di dalamnya yang telah rutin atau banal.

Di buku Tanah Pilih ini kita akan mencicipi buah dari karya sastra yang tumbuh di "Lahan Batin" para penulis yang sebagian besar berbicara tentang hal-hal personal di samping sosial, budaya, politik, dan filsafat. Di sana akan kita temukan kualitas cita rasa estetik yang berbeda-beda dari realitas yang telah digarap/diolah dan disajikan dengan baik lewat kemahiran berbahasa yang dimiliki para penulis bagi pembacanya. Dan sebagai syarat utama meski pun sekadar sarana, jalan dan lengan yang menunjuk ke sebuah realitas tertentu, kemahiran berbahasa merupakan tantangan terberat bagi para penulis untuk memilah dan memilih kata, ungkapan-ungkapan serta tanda baca yang tepat, sehingga nilai estetik dari karya sastra tersebut tetap terjaga. Sebagaimana Nirwan Dewanto berkata: Puisi merupakan puncak kemampuan berbahasa (yang dituliskan), maka pada buku Tanah Pilih ini akan kita dapati seberapa jauh usaha setiap penulis menawarkan cita rasa estetik dari karya-karyanya dengan berbagai sudut pandang berbeda. Sebuah kekayaan yang barangkali masih harus kita pelajari kembali. Sebab meski pun tak semuanya, di dalam buku Tanah Pilih ini masih sering kita jumpai kalimat dalam puisi yang biasa disebut mengalami "cacat logika" dan "rasa bahasa".

Ini hampir secara keseluruhan terjadi pada sajak E.M. Yogiswara (Jambi) yang berjudul Gerhana Membakar Tulang juga dalam sajak yang berjudul Sepasang Kaki Di Atas Batu karya Edy Samudra Kertagama (Lampung) dan beberapa sajak dari penyair lainnya. Maka itu perlu kiranya sebuah karya untuk kita telaah ulang dari segi bahasanya, sehingga hal-hal yang sesungguhnya menarik kita baca atau ketahui, akan juga bisa kita nikmati sebagai sebuah pengalaman estetik.

Mungkin pada buku Tanah Pilih ini akan jarang kita dapati karya dengan tema-tema besar yang terkadang membuat kita seperti harus membaca buku yang memang mempelajari disiplin ilmu tertentu, namun bagaimana Goenawan Mohammad berkata bahwa: puisi yang baik tak mesti berangkat dari tema-tema besar karena tingkat kemahiran bahasa si penulis justru akan diuji ketika ia mampu menghadirkan hal yang tampak sia-sia menjadi begitu berharga. Sebaliknya tema dan wacana besar tersebut merupakan bekal kognitif yang dibutuhkan si penulis untuk memperluas media cakrawalanya.

Sebagai contoh, beberapa penulis dalam buku Tanah Pilih ini dengan disadari atau tidak, menghadirkan pula tema atau isu-isu post-modernisme yang dituliskan dengan cara sederhana seperti Husnul Khuluqi (Jabodetabek) dalam sajaknya yang berjudul Sebuah Jembatan. Dan tak kalah menariknya juga karya Hasan Aphani (Kepri) dengan ide sederhana yang menggelitik dalam sajaknya berjudul Masuklah, Mikael!. Kesemuanya mereka tulis dengan gaya penulisan yang khas. Selain itu, sajak-sajak lain yang sesungguhnya tak ingin menganeh-aneh, baik sebagai bentuk atau gaya penulisan dan pemilihan tema justru jadi lebih menarik kita baca, sebagaimana karya Didin Siroz (Jambi) dalam sajaknya yang berjudul Atas Nama Cinta dan Rumah Sajak atau Ziarah Hujan karya Hasan Bisri B.F.C. (Jabodetabek), Sebuah Kereta Yang Tak Pernah Kau Kenal karya Iyut Fitra (Sumbar) dan sebagainya.

Namun, hanya saja sebagian besar sajak-sajak di buku Tanah Pilih ini perlu diperhatikan citraan-citraan suasananya yang memungkinkan menuntun imajinasi pembaca memasuki lapis demi lapis realitas sehingga dunia batin dari puisi itu mampu kita temui. Secara keseluruhan, sebagai karya seni dalam hal ini sastra pada buku Tanah Pilih sebenarnya telah berupaya mempertimbangkan aspek-aspek penting yang menjaga keutuhan bangunan sebuah puisi yang tentunya berbeda dari cerpen, novel atau surat kabar harian yang bisa lebih leluasa bercerita tentang sebuah peristiwa atau bahkan demikian saja menghadirkannya secara keseluruhan realitas yang terjadi sebagaimana sebuah foto atau potret. Karena sebagai karya seni, puisi tidak boleh lepas dari cita rasa estetik yang harus ditakar di dalamnya sebab memiliki media bahasa yang lebih terbatas.

Tanah Pilih tak hanya sekadar buku yang mengajak pembaca untuk menjenguk "Lahan Batin"-nya si penulis semata atau upaya menghimpun aset daerah Republik Indonesia. Namun lebih dari itu, sebab akan selalu ada hal yang bisa kita pelajari dari sebuah kalimat yang akan tetap tinggal.

Begitu juga buku ini mencoba mengumpulkan berbagai macam peristiwa dan tema-tema tertentu yang telah dituangkan dalam sebuah karya, sebagaimana penulis kita terdahulu menanggapi tantangan dan persoalan di zaman mereka hidup. Maka penulis kita kini menanggapi segala hal dari hiruk-pikuk zaman yang tengah mereka geluti untuk menjaga "suara sunyi"/"lahan batin" yang direfleksikan lewat puisi. Karena setiap hal akan menjadi masa lalu dan masa lalu merupakan "lahan" kita di masa yang akan datang, meski semua tergantung bagaimana cara kita menggarap atau membenahinya.

Karena itu tak berlebihanlah bila Socrates berkata: Bahwa hidup yang direfleksikan adalah hidup yang pantas dijalani. Dan puisi juga merupakan media yang tidak hanya pantas tetapi juga tepat untuk hal ini.

Hendri Rosevelt, pembaca sastra

Sumber: Lampung Post, Minggu, 10 Agustus 2008

No comments: