Saturday, August 30, 2008

Rumah Puisi Taufiq Ismail

-- Soni Farid Maulana/PR

KESUNGGUHAN penyair Taufiq Ismail menumbuhkembangkan daya apresiasi sastra di kalangan anak-anak sekolah, dalam hal ini di kalangan anak-anak SMA lewat program Sastrawan Bicara Siswa Bertanya (SBSB) serta program Membaca, Menulis, dan Apresiasi Sastra (MMAS) untuk guru bahasa dan sastra Indonesia tidak diragukan lagi. Program tersebut sejak diluncurkan hingga kini sudah berjalan selama 10 tahun.

"Apa yang dilakukan oleh Taufiq patut kita dukung. Hasilnya bukan untuk siapa-siapa selain untuk kita dan bangsa kita di masa mendatang," ujar novelis Putu Wijaya yang juga dikenal sebagai teaterawan dalam percakapannya dengan "PR" di sela-sela acara Lomba Lukis dan Cipta Puisi Anak-anak se-Indonesia di Istana Cipanas Cianjur, Minggu (24/8). Acara tersebut digelar Depdiknas bekerja sama dengan Depdikbud, memperebutkan hadiah dan piala dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Kesungguhan Taufiq lewat program yang digelar bersama majalah sastra Horison dan lembaga-lembaga terkait sejak 1998 hingga 2008 ini, memang pantas diacungi jempol, mengingat dalam upaya itu, Taufiq tak tanggung-tanggung mengucurkan sejumlah dana dari koceknya sendiri untuk membangun Rumah Puisi di Nagari Aie Angek, Kabupaten Tanah Datar, Sumatra Barat. Lokasi tersebut berada di pertemuan kaki Gunung Singgalang dan Gunung Merapi.

"Uang yang saya kucurkan untuk membangun Rumah Puisi itu saya dapat dari hadiah sastra Habibie Award 2007 senilai 25.000 dolar AS yang setelah dipotong pajak saya terima Rp 200 juta," ujar Taufiq Ismail dalam percakapannya dengan "PR" di tempat yang sama.

Hadiah tersebut diterima Taufiq karena ia dinilai sebagai salah seorang sastrawan Indonesia yang tiada putus-putusnya menumbuhkembangkan daya apresiasi sastra Indonesia di kalangan anak-anak sekolah dan guru.

**

TUJUAN dibangunnya Rumah Puisi, menurut Taufiq, bukan untuk menjadikan siswa dan guru menjadi penyair, novelis, atau dramawan. Akan tetapi, untuk meningkatkan kemampuan siswa dan guru dalam budaya baca buku dan budaya tulis-menulis.

"Kita bisa menyaksikan saat ini begitu banyak siswa yang kerepotan jika disuruh menulis, apalagi ketika ia jadi mahasiswa harus menulis skripsi atau tesis," kata Taufiq sambil menambahkan bahwa kecintaan membaca karya sastra merupakan awal kecintaan seseorang untuk membaca buku lainnya. Hal itu bisa menambah wawasannya dalam berbagai bidang kehidupan. Jika seseorang sudah demikian gandrung membaca buku maka pada sisi yang lain ia akan segera melirik dunia tulis-menulis untuk mengekspresikan hasil bacaannya.

"Bangsa yang kaya dengan buku yang ditulis oleh anak-anak bangsa tersebut adalah bangsa yang gemar membaca buku. Majunya sebuah bangsa dalam berbagai bidang keilmuan antara lain bersumber dari pesatnya budaya baca. Jadi, sasaran saya ke depan lewat Rumah Puisi adalah ini," tutur Taufiq yang terkenal dengan buku puisi Benteng dan Tirani.

Kedua buku puisinya itu merupakan kesaksian Taufiq atas situasi sosial politik yang terjadi pada 1966 lalu, saat rezim Orde Lama terguling dari kursi kekuasaan yang didudukinya, yang antara lain disebabkan meletusnya G-30-S PKI, selain disebabkan oleh naiknya harga-harga dan maraknya tindak pidana korupsi.

Rumah Puisi yang diharapkan selesai pada 2009 akan dijadikan tempat pelatihan guru bahasa dan sastra Indonesia dalam meningkatkan pemahamannya terhadap bahasa dan sastra Indonesia serta meningkatkan kemampuannya dalam bidang tulis-menulis. Tempat itu juga bisa dipakai untuk tempat SBSB, acara-acara pertemuan sastra, dan acara-acara lainnya. Tempat tersebut akan dilengkapi perpustakaan yang tidak hanya diisi buku-buku dari dalam negeri, tetapi juga berbagai buku terbitan luar negeri, baik karya sastra, agama, maupun buku-buku lainnya.

Digagasnya Rumah Puisi sebagai pusat pembelajaran sastra dan bahasa Indonesia antara lain berdasarkan pengalamannya selama ini bersama majalah sastra Horison dan pihak-pihak terkait yang sejak 1998 lalu hingga 2008 menyelenggarakan MMAS dan SBSB. Hingga kini lebih dari 2.000 guru yang ikut MMAS se-Indonesia yang digelar selama enam hari di 12 kota dengan tim terdiri atas 113 sastrawan dan 11 aktor-aktris yang masuk ke 213 SMA/SMA/MAN. Sedangkan untuk SBSB digelar di 164 kota yang terletak di 31 provinsi.

"Hasil dari digelarnya acara tersebut antara lain bisa dilihat lewat rubrik Kaki Langit, sisipan majalah sastra Horison. Sebagian besar halaman tersebut diisi siswa dan guru. Selain itu, ada juga rubrik yang secara rutin memperkenalkan apa-siapa sastrawan Indonesia berikut karya-karya yang dikreasinya selama ini," kata Taufiq.

**

BEGITULAH, penyair Taufiq Ismail hadir ke hadapan kita saat ini, dengan visi dan misi yang layak didukung semua pihak. Di masa mendatang apa yang dibangun Taufiq Ismail tidak hanya milik keluarga Taufiq Ismail, tetapi akan menjadi aset bangsa dan negara ini yang tak terkira nilainya dalam dunia pendidikan nonformal.

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Sabtu, 30 Agustus 2008

No comments: