-- Akhmad Baihaqie*
SETELAH membuka-buka Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi III, saya bangga sekaligus miris. Bangga karena semakin hari, jumlah lema kamus andalan penutur bahasa Indonesia ini kian bertambah. Miris sebab lema tersebut lebih banyak berupa jelmaan bahasa asing, terutama bahasa Inggris dan Arab.
Dalam beberapa artikel mengenai bahasa memang diakui bahwa perkembangan teknologi yang demikian cepat telah mendorong serangkaian istilah baru tercipta. Sebut saja mikroskop dan televisi. Pakar bahasa di pelbagai belahan dunia menyerap istilah itu, kemudian membakukannya menjadi bahasa standar nasional. Tak terkecuali pakar kita.
Sayang, migrasi konsep teknologi baru yang dibungkus dalam sebuah kata itu membuat pemakai bahasa Indonesia terlena dengan sekadar menyerapnya, untuk tak mengatakan mengalihaksarakannya, agar sesuai dengan lidah penutur asli: (c)omputer jadi (k)omputer.
Bagus juga bila kita mencontoh apa yang tengah dilakukan Majma Lughah al-Arabiyah (Pusat Bahasa Arab) dengan selalu menyaring kosakata bahasa asing untuk kemudian mengarabkannya, baik fonologis maupun substantif. Penggunaan kata hatif, misalnya, untuk telepon. Hatif adalah bahasa Arab arkais yang berarti ’wujud suara tanpa ada wujud rupa’.
Konsep hatif serupa dengan konsep telepon: wujud suara tanpa wujud sang pembicara.
Majma Lughah berusaha menghidupkan lagi kosakata arkais dalam khazanah kebahasaan yang mereka miliki untuk diterapkan dan dipopulerkan kembali. Misal lain adalah telepon genggam yang dialihbahasakan jadi mahmul, secara literal bermakna ’alat yang bisa dibawa ke mana saja’, komputer jadi alat al-hisab ’alat hitung’, dan mobil jadi sayyarah ’rombongan orang’.
Baik juga di kemudian hari, sebelum menetapkan sebuah kata jadi lema baku serapan, para pakar bahasa yang duduk di Pusat Bahasa mencari-cari padanan kata yang sesuai dengan konsep kata baru itu. Sumber rujukan bahasa Indonesia cukup beragam. Bisa saja kita menyerap bahasa lokal (daerah) yang jumlahnya ribuan.
Salah satu misi yang diusung Majma Lughah adalah mempertahankan keaslian bahasa Arab karena faktor agama bahwa bahasa Arab adalah bahasa Al Quran dan keasliannya tetap terjaga. Tentu tak lantas kita jadikan Pusat Bahasa bergerak tanpa misi dan ideologi. Semangat persatuan dan kesatuan, kebhinnekaan, dan kebersamaan dalam perbedaan bisa dimulai dengan bentuk terkecil budaya, yaitu bahasa. Itu bisa dimulai dari konsep bahasa serapan.
Dengan mempertimbangkan berbagai bahasa daerah yang konon hampir punah (Kompas, 21/3/2008), maka menjadikannya sebagai bahan rujukan lema baru merupakan usaha untuk mengakui, menghargai, serta mempertahankan keberadaan bahasa daerah. Raja Ali Haji dalam pasal lima Gurindam Dua Belas menyatakan ”jika hendak mengenal orang berbangsa, lihat kepada budi dan bahasa”.
Bayangkan di kemudian hari kita bangga bahwa sekian persen lema yang ada di KBBI serapan dari bahasa Nusantara: Ambon, Bali, Banjar, Batak, Bugis, Jawa, dan lain-lain. Bahasa Indonesia niscaya kukuh sebagai bahasa pemersatu.
* Akhmad Baihaqie, Lulusan Bahasa dan Sastra Arab, Universitas al-Azhar
Sumber: Kompas, Jumat, 1 Agustus 2008
No comments:
Post a Comment